“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
“Benar seperti itu … Mas?” Nirma mendekati sang suami dan juga kakaknya.
“Bohong! Mbak mu lah yang berusaha merayu!” dusta Yasir, segera merangkul pundak istrinya.
Nirma masih sukar percaya, apalagi melihat ekspresi wajah kakaknya yang tenang berbanding terbalik dengan mimik gugup Yasir.
Amala mundur dua langkah agar bisa melihat jelas dua manusia yang satu pendusta, satunya lagi begitu mudah diperdaya. Kemudian ia memalingkan wajah, tersenyum miring penuh maksud tersembunyi.
“Kau lebih percaya siapa, Nirma? Aku, atau suami mesum mu itu?” tanyanya sengaja memancing emosi.
“AMALA! JANGAN ASAL CAKAP KAU!!” Yasir maju mengikis jarak, tetapi Amala mundur teratur.
“Hei warga baru! Kau yang jangan asal menuduh! Jelas-jelas tadi kau menghalangi jalan Amala. Walaupun aku tak mendengar percakapan kalian, bukan berarti mataku buta ya!” Bude Tin meletakkan kedua tangan di pinggul. Dia menghampiri Amala dan lainnya.
Amala memasang mimik memelas, ia menoleh menatap wanita ber daster motif Ayam jago. “Bude tadi lihat betul ‘kan? Kalau bukan saya yang memulai?”
“Hei Nirma! Akulah saksinya. Lakik kau ini!” Tunjuknya pada Yasir menggunakan jari telunjuk bekas mencongkel upil.
“Begitu dia turun dari motornya, langsung berjalan cepat untuk mencegat Amala. Bukan cuma itu saja! Dia juga mencondongkan tubuhnya pada kakak mu!” jelasnya menggebu-gebu. Hatinya begitu senang mendapatkan bahan gosip baru. Ternyata tak sia-sia berdiam diri di rumah.
Bibir Nirma langsung mencebik, matanya sudah berkaca-kaca. Sekuat tenaga ia dorong badan Yasir. “Keterlaluan kamu, Mas!!”
Setelahnya berlari kecil memasuki rumah sambil membanting pintu. Yasir segera menyusul, sebelumnya terlebih dahulu menatap nyalang penuh permusuhan pada Amala dan bude Tin.
“Udah segitu saja? Tak ada adegan tampar atau menjambak? Minimal tendang lah Burung murahannya. Memang bodoh betul kau Nirma! Bisanya cuma menangis!” Bude Tin terlihat begitu kecewa, padahal dia sudah membayangkan keributan besar.
Amala terkekeh kecil mendengar gerutuan bude Tin, lalu ia pamit pulang.
Tak seberapa lama, Amala pun sampai rumah bagian dapur.
“Sudah dapat surat rujukan nya, Nak?” Mak Syam menghampiri Amala yang sedang minum air putih.
“Sudah, Mak,” jawabnya berbohong.
“Mala, besok siang ada acara arisan di rumah calon kakak iparmu,” beritahu Mak Syam.
“Lalu?”
“Em … itu. Tadi pagi sewaktu di ladang, Mamak ketemu calon ibu mertuamu. Beliau minta tolong, agar kau mau membuatkan kue basah seperti tempo hari,” sambung Mak Syam, ia tak berani menatap Amala.
Amala sedikit keras membanting gelas diatas meja. Bertambah saja daftar orang yang membuatnya kesal hari ini.
“Apa Bi Rahma ada menitipkan uang?” tanyanya tenang mencoba menahan emosi.
Mak Syam menggeleng.
“Lantas, mengapa Mamak bilang ke Mala?”
“Mamak tidak tega melihatnya memelas, Mala. Apalagi ia memuji masakanmu setinggi langit,” tukas Mak Syam.
Amala menggeleng kepala, mencoba menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
“Mak … Mala nggak haus pujian, tapi butuh uang. Kalau mereka menginginkan kue buatan Amala, ya bayar! Bukannya terus-menerus mengharapkan gratisan. Dua kali, Mak! Dua kali Mala membuat 200 biji kue basah untuk Bi Rahma, tak sepeserpun mereka kasih imbalan. Kita ini jualan, Mak ... bukannya bersedekah! Kalau begini terus ya alamat gulung tikar.”
“Tapi, tak bisakah kau usahakan untuk terakhir kalinya, Nak?” Mak Syam menatap sendu wajah sang anak.
'Astaghfirullah … Astaghfirullah.' Amala terus beristighfar dalam hati, terkadang ibunya ini sebelas dua belas dengan Nirma. Mudah sekali dikelabui, apalagi kalau melihat orang yang memasang tampang menyedihkan.
“Tidak bisa. Besok pun, Mala mau menjenguk Dhien dan ibunya di rumah sakit umum. Bilang ke calon besan Mamak itu! Cari penjual kue lainnya!” Amala melangkah hendak ke depan, tetapi dia berbalik lagi.
“Satu lagi, Mak. Mala harap mulai besok … Mamak tak lagi membawakan bekal untuk Bi Rahma dan Hendi. Rumah kita bukan warung makan gratisan! Daripada memberi mereka, lebih baik bersedekah kepada orang yang lebih membutuhkan.”
Mak Syam meraih tangan Amala. “Maaf, Nak. Mamak cuma ingin menjaga silaturahmi dengan calon ibu mertua mu agar tak terulang lagi kegagalan yang sama seperti tempo hari.”
Amala melepaskan cekalan Mak Syam, dia sudah kehabisan kata menanggapi kalimat ibunya yang mulai tak masuk akal.
Brak.
Amala membanting pintu kamar yang sudah jadi gudang, menutupnya kembali lalu memutar anak kunci. mendekati meja dan membuka laci, mengambil secarik kertas berisi nomor telepon.
‘Apa sudah waktunya, aku menghubunginya …?’
Tanpa Amala sadari, banyaknya tekanan yang didapatkannya belakangan ini, membuat dirinya semakin berani menyuarakan, mempertahankan, memperjuangkan apa yang diinginkan dan jalan mana yang hendak dilalui.
.
.
Pagi hari.
Selepas sholat tahajud, Amala tak lagi tidur. Dia langsung berkutat di dapur, memasak menu untuk jualan dan yang akan dibawanya menjenguk ibunya Dhien.
Mak Syam ikut membantu, tetapi didiami oleh Amala. Bukan maksud durhaka, hanya saja ia memang sengaja, agar ibunya tak lagi terus-terusan menekan dirinya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Di luar sudah ada paman Budi, pakcik Leman dan dua rekan lainnya yang menunggu sayur matang Amala.
Usaha kecil-kecilan Amala mulai berkembang, kini ada 4 orang bakul sayur yang setiap hari mengambil dagangannya untuk dijual lagi. Atap rumah Mak Syam pun sudah rapat, bila hujan tak lagi bocor. Lambat namun pasti, perekonomian Amala mulai merangkak naik.
Selepas kepergian bakul sayur, Amala bersiap-siap mandi. Hari ini ia tidak berjualan keliling.
Mak Syam menatap sendu punggung Amala, sepertinya anaknya itu benar-benar kecewa. Marahnya Amala yang sesungguhnya bukan lagi berteriak, tetapi diam.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Mak Syam, ia juga bersiap pergi ke ladang. Tak juga membawa rantang, hanya sebungkus makanan untuk dirinya sendiri.
***
Amala mengayuh sepeda ontelnya, perjalanan panjang pun ia terjang demi bertemu sang sahabat dan juga menelepon seseorang. Sehabis melalui jalan menanjak, ia berhenti sebentar untuk beristirahat.
Hari ini begitu cerah, sang surya sudah hampir meninggi, sinarnya tak lagi hangat melainkan panas.
Setelah satu jam lebih mengayuh sepeda melewati jalan rata serta berbukit, Amala sampai juga di kota kecamatan. Ia memarkirkan sepedanya di tempat khusus. Lalu membawa rantang dan menyandang tas selempang.
Sebelum ke rumah sakit, Amala terlebih dahulu singgah di Wartel (Warung telekomunikasi umum). Ia memasukkan beberapa uang koin, setelahnya menekan tombol nomor.
Amala merasakan saat-saat penantian yang penuh ketegangan, jantungnya berdegup kencang. Setengah mati mencoba mengendalikan diri agar ketika bersuara nanti tak bergetar.
“Assalamualaikum,” sapa suara bariton di seberang sana.
Bukannya menjawab, Amala malah menitikkan air mata. Tangannya mencengkram erat gagang telepon. Suara isakan yang sedari tadi ia tahan, lolos sudah.
“Nur ... Kau kah ini?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu
karya ini luar biasa