Adelia Adena, seorang gadis SMA yang ekstrover, ceria dan mudah bergaul dengan siapa saja, tiap harinya selalu di isi dengan keceriaan dan kebahagiaan.
Hingga suatu hari hidupnya berubah, ketika sang Ayah (Arsen Adetya) mengatakan bahwa mereka akan pindah di perkampungan dan akan tinggal disana setelah semua uang-nya habis karena melunasi semua utang sang adik (Diana).
Ayahnya (Arsen Aditya) memberitahukan bahwa sepupunya yang bernama Liliana akan tinggal bersama mereka setelah sang Ibu (Diana) melarikan diri.
Adelia ingin menolak, tapi tak bisa melakukan apa-apa. Karena sang Ayah sudah memutuskan.
Ingin tahu kelanjutannya, simak terus disini, yah! 🖐️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khairunnisa Nur Sulfani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adelia Adena
Hai, perkenalkan namaku Adelia Adena. Kata orang, hidupku sangatlah sempurna, memiliki orangtua kaya yang cukup loyal dan baik juga anak tunggal, hingga tidak perlu repot-repot memperdebatkan tentang orang tua yang pilih kasih pada anaknya. Benar, hidupku amatlah sempurna.
Memiliki teman-teman yang baik, dan satu hobi. sebagai anak tunggal aku diperlakukan dengan sangat baik, tapi tidak di manjakan. Meski tidak memiliki saudara, papa selalu mengajariku menjadi anak yang mandiri, dalam artian aku tidak boleh bergantung pada orang lain, aku harus pandai mengerjakan ini itu sendiri.
Aku tidak keberatan, karena kurasa itu tidak bertentangan dengan karakterku yang bisa di bilang suka mencoba segala hal baru dan aku tidak keberatan jika hal itu membuatku harus keluar dari zona nyaman. Aku mudah berteman dengan siapa pun sehingga aku memiliki banyak teman yang ada di sisiku.
"Del, kapan nih kita naik gunung lagi? Dah lama kan kita gak muncak?."
"Hmm, iya banget, ya. Nanti deh, kita obrolin lagi sama anak-anak yang lain, biar bisa atur waktu."
"Ok, siap, Bu Boss." ujar Erika yang merupakan sahabat dekatku. Sebagai tambahan, aku dan Erika sangat suka sekali bepergian seperti mendaki ke beberapa gunung, dan itu sering kami lakukan ketika memasuki masa liburan sekolah.
Aku sekarang menginjak kelas II SMA, aku bersekolah di Sekolah Swasta yaitu SMA Kartini yang ada di Jakarta. Sekolah ini merupakan sekolah khusus untuk anak perempuan yang di dirikan oleh sebuah yayasan.
Meski begitu tidak berarti bahwa aku tidak memiliki teman laki-laki. Aku punya beberapa teman lelaki yang aku kenal, di antaranya ada Janied, kairav dan Kailash yang merupakan saudara kembar, juga ada kenzie yang aku sukai. Mereka adalah teman yang memiliki hobi yang sama yaitu mendaki.
Secara penampilan, aku gadis yang cantik, memiliki postur tubuh tinggi dan aku suka berpenampilan menarik dan cukup cantik. Ketika keluar aku lebih suka memakai Hotpants dan tank top, meksi lebih sering kena ultimatum dari papa, hahaha. Tapi anak dewasa, kau pasti tahu, sedikit lebih sulit diberitahu.
Tapi tenang, aku sesekali tetap memperhatikan gaya berpakaianku ketika keluar rumah. Meski belum menutup auratku secara sempurna sebagai seorang muslimah, aku tetap mengutamakan berpakaian sopan ketika keluar rumah, seperti menggunakan baju yang menutupi dada dan celana panjang, atau leggings.
Kami tinggal disebuah rumah yang cukup besar, berlantai dua dengan nuansa bergaya eropa modern. Aku suka tinggal disini, dan kuharap selamanya kami akan tinggal disini.
"Adelia, minggu depan adekmu akan kesini. Kamu tidak akan keberatan, kan?." tanya Mama selepas aku pulang sekolah.
"Sayang, biarkan Adelia berganti pakaian terlebih dahulu." itu suara Papa yang baru saja keluar dari kamarnya dan segera menghampiri Mama.
"Oh, iya, sayang. Maaf." ujar Mama membentuk dua jari tanda peace. Atau meminta maaf karena tidak sadar dengan pertanyaannya baru saja.
"Hmm, baik, Ma. Tidak apa-apa. Adel ke kamar dulu." sahutku segera berlalu, melepas seragam sekolahku dan kemudian segera menuju kamar mandi untuk mandi agar sedikit lebih segar karena hari ini melelahkan sekali. Aku tidak selalu di jemput oleh supir ketika pulang sekolah, hal tersebut karena aku sendiri yang menolaknya, dengan alasan aku lebih suka jika bersepeda.
Ya, terkadang ketika aku malas bersepeda, baru kemudian aku akan menelepon agar segera di jemput, selebihnya aku selalu bersepeda bersama beberapa sahabatku yang bernama Erika juga Shanaz.
Hal tersebut biasa bagiku, karena aku suka berpetualang. Jika aku manja, maka ketika mendaki aku hanya akan ditinggal atau tertinggal, atau bisa saja aku hanya akan menjadi beban bagi rekan yang lain. Sebagai anak yang terbiasa mandiri, hal tersebut sangat jarang ada di kamus hidupku.
Aku segera menyelesaikan ritual mandiku dan segera mengenakan pakaian, aku memakai sebuah dress berwarna putih bermotif bunga Lily dibagian ujung bawahnya, sementara rambutku, aku biarkan tergerai begitu saja dan kutambahkan sebuah jepitan dari motif yang sama seperti dress yang kukenakan agar serupa.
Berjalan menuruni anak tangga, karena memang kamarku ada dilantai bawah. Kulihat Mama dan papa tengah asik bercengkrama. Aku bahagia, karena keduanya harmonis. Hampir tidak pernah aku menyaksikan keduanya berdebat didepan mataku sendiri. Erika bilang, orangtuaku adalah couple idola banyak orang, terlebih bagi ia sendiri.
Karena orangtua Erika sering kali bercekcok, meski masih bersama. Kurasa itu salah satu alasan Erika sering menginap di rumah selain karena ia memang sahabatku. Orangtua Erika juga sepertinya tidak begitu peduli pada Erika.
Erika punya dua saudara, kakaknya bernama Elana dan Elina. Ia adalah anak terakhir, sebagai anak terakhir, ia seringkali harus mengalah dari kedua kakak-kakaknya. Sebab itu, setiap bercerita ia selalu mengatakan iri akan kehidupanku. Iri akan aku yang menjadi anak tunggal dan berharap jika ia bisa sepertiku, menjadi satu-satunya.
"Ma, maaf membuat kalian lama menunggu." ucapku menghampiri Mama dan papa. mendengar ucapan ku mama dan papa hanya membalasnya tersenyum.
"It's ok, sayang. No problem." jelas papa agar aku tidak merasa bersalah, mama yang mendengar itu hanya menghembuskan nafasnya.
"Kamu saja, Ma. Yang bicara pada Adelia." kata papa lagi.
"Kok mama sih, Pa. Berdua dong." sahut mama penuh penekanan. Sementara aku hanya geleng-geleng kepala karena keduanya tampak lucu dimataku.
"Baiklah." ujar papa setuju.
"Kamu ingat Liliana, Sayang?." tanya Mama menatapku lekat seolah menuntut jawaban segera.
"Liliana?." tanyaku memastikan yang seolah otakku sedang bekerja untuk mengingat nama itu. Walau aku tidak berhasil mengingatnya. Aku menggeleng tanda bahwa aku tidak berhasil mengingat satu nama itu. Sedang papa hanya mengangguk-ngangguk.
"Maaf, Ma." jawabku menunduk lesu.
"Oh, bukan salahmu, Nak. Wajar jika kamu tidak ingat." tambah Mama. Menatapnya menunggu jawaban.
"Jadi, siapa itu Liliana?." tanyaku tidak sabar.
"Dia sepupumu, Sayang. Anak Tante Diana!." kata Mama.
"Adik papa." tambah Papa seolah khawatir aku tidak mengingat nama itu.
"Oh, baiklah. Jadi ada apa dengan Liliana?" tanyaku agar segera menuju ke inti pembicaraan.
"Dia akan kemari Minggu depan." ucap Mama.
"Tepatnya akan tinggal disini!" tambahnya lagi.
"Jadi?." tanyaku bingung. Karena sebenarnya aku tidak mengerti apa yang mereka obrolkan. Liliana akan kemari Minggu depan dan akan menginap. Jadi apa masalahnya?
"Apa masalahnya? Biarkan saja dia menginap." sahutku cuek, karena sebenarnya aku tidak begitu peduli.
"Tidak hanya menginap, Sayang. Tapi dia akan tinggal disini bersama kita." itu Papa yang berbicara.
"Selamanya." tambahnya kemudian. Papa dan Mama kemudian menjelaskan jika alasan mereka Memberitahukan hal tersebut padaku adalah untuk menanyakan bagaimana pendapatku apa aku setuju atau tidak. Sebenarnya aku agak terkejut dan sedikit bingung, mengapa anak yang bernama Liliana itu harus tinggal kemari.
Benar, aku mungkin berharap memiliki saudara tapi kupikir itu benar-benar saudaraku, anak yang juga lahir dari rahim mama dan juga anak dari papaku. Agak aneh rasanya, meski aku mengatakannya bahkan sebelum mencobanya.
"Kenapa Liliana harus tinggal bersama kita? Memangnya kemana Ayah dan Ibunya?" tanyaku bergantian menatap keduanya. Kini gantian mama dan papa yang berpandangan.
"Oh, ayolah. Katakan saja dengan cepat." tuntutku tidak sabar.
"Tante Diana kabur sayang dengan meninggalkan sejumlah hutang yang cukup besar." jawab mama nampak frustasi.
"Lalu, kenapa ia tidak membawa anaknya serta?." tanyaku yang berhasil membuat Papa tersedak minumannya sendiri karena mendengar pertanyaan ku yang sedikit cuek.
"Biar bagaimana pun, Diana itu adik papa, sayang." jawab Papa seolah tidak ingin ada yang keberatan akan hal itu. Meski aku hanya gadis SMA. Tapi aku tidak bodoh, dan sudah dari dulu setiap ada hal yang dirasa penting mama dan papa akan membicarakannya dahulu padaku, mungkin agar aku tidak terkejut.
Entah akhirnya papa menolak adanya penolakanku dengan alasan agak klasik, bahwa papa adalah kepala keluarga yang harus di hormati keputusannya.
Kali ini, benar. Sepertinya ini kali pertama aku melihat Papa sepertinya tidak suka pendapatku dan mama.
"Jadi sebagai walinya, papa juga harus membayarkan segala hutang-hutangnya?" tanyaku kali ini.
"Adelia," panggil Papa sedikit agak ketus. Yang berhasil membuat mama terkejut. Karena sama sepertiku, ini mungkin juga kali pertama Mama melihat papa seperti ini.
"Benar, papa yang akan membayar hutangnya dan sudah papa lakukan. Serta Liliana akan tinggal disini, mungkin sampai Diana mendapatkan pekerjaan bagus!."
"Dia akan menjemput anaknya? Jadi maksudmu, setelah dia mendapat pekerjaan yang layak, dia akan mengambil anaknya. Lalu bagaimana hutangnya, dia akan menggantinya?." Itu suara Mama. Mungkin beginilah perasaan Erika, sedikit tidak nyaman dan aku merasa cukup sedih.
"Dia iparmu, Hana. Tolong, kalian berdua jangan mendebatku." suara Papa kemudian hendak berlalu. Tapi segera di tahan oleh Mama dengan mencekal sebelah tangan papa.
"Apalagi, Hana?" tanya Papa sepertinya tak suka.
"Apalagi katamu? Kita bahkan belum memberitahu Adelia apa intii sebenarnya dari ini semua." ungkap Mama dengan nada cukup tinggi yang berhasil membuat Papa mengurungkan niatnya untuk pergi dan kembali duduk ke meja semula.
"Kita akan pindah dari sini." kata Papa nyaris tak terdengar. Bagai petir di siang bolong, aku cukup terkejut, tapi masih berusaha terlihat tenang.
"Hutang Diana ada banyak, bahkan mencapai milyaran, sebab itu kita akan pindah dari sini ke desa, kita sudah tidak punya apa-apa." ujar Mama geram menatap Papa yang kini hanya diam saja. Kemudian berlalu dari sana.
Aku benar-benar terkejut, merasa bahwa ini hanya omong kosong belaka, dan bahwa mereka hanya sedang ingin mengerjaiku saja. Tapi melihat mereka yang tidak kembali lagi, membuat aku merasa yakin bahwa semua ini nyata, dan aku tidak sedang salah dengar. Aku tidak tahu harus meresponnya seperti apa, karena aku benar-benar begitu terkejut.