Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Lolipop
Nadin mengerjap pelan, dia memang cerdas, tapi bukan berarti logikanya seluas Zain. Perbedaan usia dan pengalaman membuat pikiran mereka tidaklah sama. "Lebih manis dari jus apel?"
Zain mengangguk, pandangannya sudah tertuju pada bibir mungil semerah cherry yang sejak tadi Nadin gigit berkali-kali lantaran berpikir keras. "Hm, lebih manis."
Kodenya sudah sangat amat jelas, harusnya Nadin tidak perlu berpikir panjang lagi. Namun, harapan Zain pupus kala Nadin tiba-tiba berlalu pergi dan memintanya untuk menunggu sebentar.
Entah apa keperluan Nadin, kemungkinan besar mengambil sesuatu yang katanya lebih manis dari apel. Tak berselang lama, sang istri kembali dengan dua lolipop di tangannya.
"Nih, Mas, bisa dipastikan lebih manis dari apel ... Onad sampai sakit gigi saking manisnya," ucap Nadin kemudian menyerahkan benda itu pada sang suami.
Zain yang tadi sudah berekspetasi terlampau tinggi, mendadak terdiam kala melihat hadiah yang Nadin berikan. Matanya terlihat begitu tulus, dan Zain tidak kuasa untuk menolaknya walau jujur saja bukan hal semacam ini yang dia mau.
"Oh iya? Apa iya semanis itu?"
"Hm, mas coba sendiri kalau tidak percaya ... sini aku bukain." Tidak hanya memberikan, tapi dia juga bersedia menyiapkannya hingga Zain siap menikmati.
Namun, secepat mungkin Zain menggeleng. Sejak kapan dia suka permen, bahkan sewaktu kecil saja musuh terbesarnya adalah permen, berbeda dengan Zeshan yang memang sangat menyukainya.
"Loh kenapa? Biar bisa buktiin kalau memang lebih manis dari jus apel," rayu Nadin lagi, entah kenapa mendadak dia penasaran dan ingin melihat dosen killer yang menguji mentalnya tiga bulan terakhir ini menikmati lolipop layaknya anak kecil.
Sialnya, rasa penasaran Nadin mungkin tertangkap jelas oleh Zain hingga pria itu menolak tawaran konyol dari sang istri. "Aku tahu, tapi yang kumau bukan ini," ucapnya meletakkan dua lolipop itu ke atas meja.
"Lalu apa? Aku masih punya cokelat kalau mas mau, tapi dark chocolate jadi ada pahit-pahitnya." Pemberian pertama ditolak, Nadin masih punya opsi kedua yang mungkin bisa Zain terima. "Mau ya?"
Zain tertawa kecil seraya menggeleng, cara Nadin menawarkan penggantinya justru semakin lucu. "Tidak suka juga."
"Lalu apa maunya?"
Menggunakan kode agaknya memang tidak tepat. Otak istrinya belum begitu peka ke arah sana. Untuk itu, Zain terang-terangan mengikis jarak hingga Nadin perlahan mundur beberapa langkah.
Semakin lama, Nadin refleks saja menghindar tanpa sadar langkahnya justru membawa Nadin berakhir di tempat tidur. Jarak keduanya sudah begitu dekat, Nadin terduduk di tepian ranjang sementara kaki Zain sudah menyentuh lututnya.
Perlahan, pria itu menunduk dan meraih dagunya agar lebih mendongak. Tangan kiri Zain juga berakhir membuka kaki Nadin agar jarak keduanya lebih dekat. Setelah di hadapkan dengan suasana semacam ini, mustahil Nadin masih tidak mengerti.
"Aku mau ini," ucap Zain kemudian memberanikan diri mengusap bibir lembut Nadin dengan jemarinya.
Cukup lama Zain pandangi, senyum pria itu terbit sekalipun Nadin terus terlihat kaku menghadapinya. "Ma-mau di bagian mana?" Zain tidak salah dengar, istrinya mengerti apa maunya.
Awalnya Zain tidak berencana mengerjainya terlalu lama, andai Nadin tidak bertanya mungkin dia akan mengecup sekilas saja. Namun, berhubung sang istri justru bertanya, jelas saja dia berubah pikiran saat itu juga.
Layaknya kucing ditawari ikan asin, jelas saja mau. Mendengar pertanyaan sang istri, Zain menunjuk pipi kanannya. Awalnya Zain kira Nadin akan malu, tapi ternyata dia menuruti perintah Zain dengan begitu mulusnya.
Satu kecupan di pipi kanan berhasil Zain dapatkan tanpa hambatan. Berlanjut, pipi kiri dan juga keningnya juga aman-aman saja. Hingga, tiba di detik-detik terakhir Zain menunjuk bibirnya dan Nadin berhenti seketika.
"Ayo, kenapa berhenti?"
"Belum selesai ya, Mas?"
"Satu lagi, setelah itu selesai ... aku tidak akan minta lainnya."
Nadin memerah, dia tampak ragu walau akhirnya menurut juga. Tak ubahnya seperti balita, dia patuh sekali. Bedanya, untuk kecupan yang kali ini Zain menyambutnya berbeda.
Niat hati hanya mengecup, Nadin terjebak karena kini Zain justru menahan tengkuk lehernya dan memperdalam ciumannya. Berbeda dengan yang Zain lakukan malam itu, kali ini lebih lembut dan penuh perasaan.
Walau memang tanpa balasan, dia tahu Nadin belum mampu karena kala mengecup saja gugupnya bukan main. Namun, untuk ciuman pertama dalam keadaan sama-sama sadar sudah termasuk berkesan, bahkan sangat amat berkesan.
Cukup lama Zain lakukan, dia terlena dengan tangan yang kini mendadak tidak bisa dikondisikan. Sementara Nadin berusaha melepaskan diri lantaran sesak yang dia rasa, pukulan di dada tidak membuat Zain melepas pagutannya.
Terpaksa, walau tahu sang suami mungkin akan marah, Nadin menggigit bibir sang suami hingga Zain berhenti detik itu juga. "Aawwh, Nad ... kenapa harus digigit?"
Masih dengan napas yang memburu, Nadin menatap lesu Zain yang kini mengusap bibirnya. "Aku bisa mati, Mas."
Alih-alih marah, Zain hanya tertawa pelan sebelum kemudian menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Dengan posisi ini, dia bisa memandangi punggung sang istri.
Nadin tidak berontak, dia juga tidak menatap Zain dengan sorot kebencian. Hanya sedikit kekesalan dan sebenarnya wajar saja, Zain tidak terlalu mempermasalahkannya.
"Tarik napas makanya."
"Gimana mau napas? Orang diciumnya begitu," gerutu Nadin seraya merapikan pakaian yang sempat acak-acakan akibat ulah sang suami.
Jujur dia katakan, sebenarnya sangat amat malu. Namun, hendak bagaimana lagi memang benar harus dia bahas agar Zain tidak memojokkannya.
Bukannya merasa bersalah, Zain justru tertawa mendengar pembelaan dirinya. "Ciuman masih bisa napas, Sayang, kamu saja yang tidak tahu tekniknya."
Ingin Nadin tanya bagaimana, tapi dia tidak mau terjebak untuk kedua kali karena tahu kemungkinan besar Zain justru akan menawarkan jasa untuk mengajarinya, dan Nadin tidak mau.
"Oh."
"Oh?" Zain mengerutkan dahi, dia beranjak bangun kala mendengar jawaban super singkat dari sang istri. "Oh saja?"
"Iya, mau apalagi memangnya?"
Zain gagal di siasat kedua dan dia kesal sebenarnya. Ingin sekali dia perpanjang, tapi ponselnya kini berdering beberapa kali hingga Zain terpaksa mengurungkan niat.
Entah siapa yang tiba-tiba menghubunginya, Zain tidak tahu juga. Sedikit kesal pada awalnya, tapi mata Zain seketika membola kala melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
"Umi?"
Firasat Zain mendadak tidak enak, yang menghubunginya adalah sang mertua. Seketika, dia menoleh ke arah Nadin yang tampak duduk manis di tepi ranjang.
"Selamat Sore, Pak ... benar ini dengan keluarga Bu Fatimah?"
.
.
- To Be Continued -
"kian menjadi (mereda/reda) sembari"