🏆 Juara 3 YAAW 2024 Periode 2🏆
"Permisi Mas, kalau lagi nggak sibuk, mau jadi pacarku?"
———
Daliya Chandana sudah lama memendam rasa pada sahabatnya, Kevin, selama sepuluh tahun. Sayangnya, Kevin tak menyadari itu dan malah berpacaran dengan Silvi, teman semasa kuliah yang juga musuh bebuyutan Daliya. Silvi yang tidak menyukai kedekatan Daliya dengan Kevin mengajaknya taruhan. Jika Daliya bisa membawa pacarnya saat reuni, ia akan mencium kaki Daliya. Sementara kalau tidak bisa, Daliya harus jadian dengan Rio, mantan pacar Silvi yang masih mengejarnya sampai sekarang. Daliya yang merasa harga dirinya tertantang akhirnya setuju, dan secara random meminta seorang laki-laki tampan menjadi pacarnya. Tak disangka, lelaki yang ia pilih ternyata seorang Direktur baru di perusahaan tempatnya bekerja, Narendra Admaja. Bagaimana kelanjutan kisah mereka?Akankah Daliya berhasil memenangkan taruhan dengan Silvi? Atau malah terjebak dalam cinta segitiga yang lebih rumit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Pacar Dua Setengah Jam
Daliya melirik Ren yang duduk di sampingnya dengan gelisah. Di depan mereka duduk seorang wanita berusia hampir lima puluh tahunan yang masih sangat cantik. Dari percakapan Ren dengan wanita itu tadi, Daliya bisa menebak kalau wanita itu adalah mama Ren.
"Mama kok bisa ada di sini?" Ren bertanya keheranan. "Jangan-jangan..Mama ngikutin aku?"
Wanita itu berdehem sejenak sebelum menjawab pertanyaan putranya. "Habisnya, selama ini Mama selalu dapat laporan kalau kamu nggak pernah dateng ke pertemuan yang udah diatur Mama. Jadi Mama sekalian mau memastikan," Mama Ren kemudian beralih menatap Daliya. "Kalau dari awal kamu bilang udah punya pacar, Mama kan nggak perlu bikin pertemuan-pertemuan kaya gitu lagi,"
Ditatap seperti itu, Daliya hanya bisa tersenyum salah tingkah. Dia kebingungan. Haruskah ia mengaku kalau dirinya tidak pacaran dengan Ren?
"Jadi, nama kamu siapa nak?" Mama Ren bertanya dengan nada lembut.
"Daliya Tante," jawab Daliya takut-takut.
"Kamu beneran pacarnya Ren?"
"Eng, itu—"
"Iya, dia pacarku," sambar Ren yang membuat Daliya langsung melotot.
"Oh ya? Berarti yang hamil tadi beneran?" Mama Ren menutup mulutnya tidak percaya. "Kalau begitu kalian langsung menikah saja!"
"Kalau itu tidak benar Mama," lagi-lagi Ren yang menjawab. "Daliya melakukan itu hanya untuk mengusir cewek tadi,"
"Yahh.." Ada raut kecewa terlihat di wajah Mama Ren. "Padahal Mama kira sebentar lagi Mama akan punya cucu,"
Daliya ternganga. Astaga, kenapa Tante ini santai sekali? Apakah pendidikan orang kota memang berbeda? Kenapa mamanya Ren merasa tidak masalah kalau pacar anaknya hamil duluan? Coba saja kalau bapak dan ibu di kampung yang mendengar ini, pasti Daliya sudah dihajar habis-habisan.
"Kalau gitu, kalian ada rencana untuk menikah secepatnya nggak?" Tanya Mama Ren lagi. Ren sontak menggelengkan kepala.
"Kami masih baru pacaran sebentar Ma,"
"Ya terus kenapa sih? Kalian kan bisa saling mengenal setelah menikah,"
"Astaga Mama.." Ren menghela napas panjang. "Urusannya nggak semudah itu. Menikah itu kan butuh banyak persiapan. Selain finansial juga butuh kesiapan mental,"
"Memangnya Daliya umur berapa?" Mama Ren kembali menatap Daliya, dan setiap itu terjadi Daliya merasa jantungnya berpacu sangat cepat.
"Dua lima Tante," Daliya menjawab lirih.
"Aduh, udah pas banget itu!" Mama Ren tersenyum lebar. "Ren kan 29, Daliya 25. Udah mateng banget buat nikah! Nanti setahun lagi kalian punya anak di umur 30 dan 26. Terus kalau anak kalian masuk TK, umur kalian.."
"Mama.." Ren memanggil sang Mama dengan suara rendah, mengisyaratkan agar mamanya itu berhenti bicara. Kalau diteruskan, bisa-bisa mamanya akan menghayal sampai anaknya masuk kuliah.
"Iya deh iya.." Mama Ren mengerucutkan bibir. "Daliya, lihat tuh, pacar kamu galak banget sama mamanya," adu Mama Ren pada Daliya.
Daliya hanya bisa tersenyum canggung. Sejujurnya, dia bingung mau merespon apa, takutnya malah salah bicara. Jadi ia memilih diam saja dan hanya menjawab jika ditanya.
"Tapi Mama heran deh. Ren kan baru pulang ke Indonesia dua minggu yang lalu, tapi kok tiba-tiba udah punya pacar orang Indonesia? Kalian kenal dimana? Apa Daliya juga kuliah di Inggris?"
"Nggak Tante,"
"Iya Ma,"
Daliya dan Ren menjawab bebarengan, dan sontak hal itu membuat mereka saling tatap. Masalahnya, jawaban mereka berbeda satu sama lain!
"Loh, yang bener yang mana nih?" Mama Ren menatap mereka bergantian. "Jadi Daliya kuliah di Inggris apa nggak?"
"Nggak Tante, saya kenal sama Ren di sosmed waktu dia masih di Inggris," Daliya mengarang cerita.
"Oh gitu.." Mama Ren menganggukkan kepalanya. "Sudah kenal berapa lama?"
"Setahun Ma,"
"Tiga bulan Tante,"
Daliya dan Ren saling melotot ke satu sama lain. Kenapa jawaban mereka selalu beda sih?
"Maksudnya, kami kenal setahun, tapi pacarannya tiga bulan yang lalu," kali ini Ren yang mengarang cerita. "Udah ah Ma, nggak usah tanya-tanya lagi, kaya lagi sensus penduduk aja,"
"Ya kan Mama penasaran aja Ren," Mama Ren merengut sebal. "Oh ya, Daliya sekarang kerja dimana? Atau masih lanjut S2?”
Tanpa menunggu Daliya menjawab, Ren sudah meraih tangan Daliya dan beranjak dari duduknya.
"Ayo kabur,"bisik Ren. Daliya yang tangannya ditarik oleh Ren mau tidak mau mengikuti pria itu berlari keluar dari restoran.
"Hey!" Mama Ren berteriak dari belakang mereka. "Jangan kabur!"
"See you Ma!" teriak Ren sambil berlari.
Mereka berdua terus berlari sampai tiba di parkiran. Dengan cepat Ren membukakan pintu untuk Daliya, dan Daliya menurut. Segera setelah itu Ren menancap gas dan pergi dari area itu secepat mungkin.
"Ya ampun.." Daliya baru bisa menghela napas lega setelah mobil yang mereka tumpangi masuk ke jalan raya. "Yang tadi itu horor banget,"
"Maaf ya," Ren terkekeh. "Mamaku lumayan cerewet orangnya,"
"Ibu-ibu memang begitu," Daliya tertawa. "Tapi, apa nggak masalah kita kabur begini? Nanti Mama kamu marah,"
"Santai aja," jawab Ren enteng. "Mamaku nggak akan mempermasalahkan ini,"
"Oh.." Daliya mengangguk-angguk. Tapi masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di kepalanya. "Em.. Kalau boleh tahu, kenapa tadi kamu ngaku sama mamamu kalau kita lagi pacaran?"
"Oh itu." Ren menoleh sekilas ke arah Daliya sebelum kembali fokus menyetir. "Akhir-akhir ini mamaku lagi getol banget menyuruh aku menikah. Entah lagi kesambet setan apa, tiba-tiba setiap ngobrol pembahasannya selalu ke arah sana. Karena nggak sabar, Mama sampai mengatur kencan buta buat aku. Tapi aku nggak suka dijodoh-jodohin, makanya aku memanfaatkan momen itu supaya Mama nggak nyuruh kencan buta lagi,"
"Ya ampun," Daliya tergelak. "Ternyata masalah semua orang tua yang punya anak umur 25 ke atas itu sama ya? Akhir-akhir ini Ibuku juga setiap nelpon pertanyaannya selalu gitu. Kapan nikah? Kapan bawa calon ke rumah?"
"Kesel kan? Padahal menikah nggak sesimpel itu,"
Daliya manggut-manggut. Ia setuju dengan perkataan Ren. Masalahnya sebenarnya bukan di menikahnya, tapi seperti apa kehidupan setelah pernikahan itu. Kalau bukan dengan orang yang tepat, bisa-bisa malah menderita seumur hidup. Masalahnya, seumur hidup itu lama!
"Aku anter kemana nih?" Ren bertanya setelah mobilnya melewati lampu merah. "Belok Kanan? Kiri? Apa lurus?"
"Oh, aku anterin ke halte aja," Daliya menunjuk halte bus yang berada tak jauh dari sana. "Aku bisa pulang naik bus,"
"No," Ren menjawab tegas. "Ini udah malem, bahaya. Apalagi aku juga nggak bisa membiarkan pacarku pulang sendirian begitu aja,"
"Astaga," Daliya tertawa terbahak-bahak. "Kalau kamu ngomong begitu, bisa-bisa orang menganggap kamu pacarku beneran. Kalau gitu, kita belok ke jalan ini," Daliya menyebutkan jalan menuju kos-kosannya. Ren menurut dan memutar setirnya berbelok ke jalan tersebut.
Sampai di depan kos-kosannya, Daliya turun dari mobil. Ren mengikuti dan mengantar gadis itu sampai ke depan gerbang.
"Terimakasih banyak," Daliya terlebih dulu berdiri di depan gerbang sebelum masuk. "Hari ini kamu membantu aku banget,"
"Sama-sama, nggak cuma aku, tapi kamu juga sudah membantu aku. Jadi kita berdua impas,"
Daliya dan Ren saling berpandangan sambil tertawa.
"Kita belum berkenalan secara resmi, tapi tiba-tiba malah udah pacaran," Daliya mengulurkan tangannya pada Ren. "Namaku Daliya Chandana,"
Ren tersenyum dan balas menjabat tangan gadis itu. "Aku Narendra Admaja, salam kenal."
"Admaja?" Daliya bergumam. Sepertinya dia pernah mendengar nama itu disebut sebelumnya. Tapi dimana?
"Apa ada masalah?" tanya Ren saat ia melihat wajah bingung Daliya. Daliya buru-buru menggelengkan kepala.
"Nggak. Aku hanya berpikir kalau sayang banget ya, hari ini berakhir sangat cepat. Padahal aku masih menikmati waktu kebersamaan kita,"
Ren tersenyum lebar. "Aku juga menyayangkan hal itu. Hari ini terlalu indah untuk diakhiri begitu saja,"
"Kalau begitu.." Daliya terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Kita putus?"
Ren terdiam cukup lama, tapi kemudian ia tersenyum. "Oke. Terimakasih untuk dua setengah jamnya, mantan pacarku,"
"Hahahaha!" Daliya tidak bisa menyembunyikan tawanya. "Ini sejarah pacaran tersingkat sih, waktunya cuma dua setengah jam,"
"Tapi aku menikmati ini," Ren berkata sungguh-sungguh. "Aku harap, saat kita bertemu lagi, kamu masih mau menyapa aku,"
"Tentu saja, kenapa tidak? Kamu kan mantan pacarku," Daliya berkelakar. "Kalau begitu, selamat tinggal. Hati-hati di jalan,"
"Kamu juga," Ren melambaikan tangan dan berjalan masuk ke mobilnya. Daliya balas melambaikan tangan sampai mobil Ren menghilang dari pandangan.
Sepeninggalnya Ren, tiba-tiba Daliya merasa ada rasa kehilangan di sudut hatinya. Ia sebenarnya merasa berat saat berpisah dengan pria itu begitu saja. Apalagi mereka sepertinya tidak akan pernah bertemu lagi. Dengan langkah gontai, Daliya membalikkan badan dan melangkah memasuki gerbang kos-kosannya.
Sementara itu, Ren menyetir mobilnya dengan kecepatan pelan. Sepanjang jalan, ia masih memikirkan tentang Daliya. Ia sendiri juga merasa berat karena perkenalan mereka berlangsung sangat singkat.
"Sial, kenapa aku tidak minta nomor teleponnya tadi?" sesal Ren merutuki kebodohannya sendiri.
tulisannya juga rapi dan enak dibaca..
semangat terus dlm berkarya, ya! 😘
ujian menjelang pernikahan itu..
jadi, gausah geer ya anda, Pak Direktur..
tanpa gula tambahan, tanpa pemanis buatan..