Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patah Hati
Veltika berbaring di tempat tidurnya, pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Bayangan seorang lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya kembali menghantui. Lelaki itu, dengan senyum manis dan kata-kata penuh janji, pernah membuatnya percaya bahwa cinta bisa membawa kebahagiaan. Namun, kenyataan berkata lain.
"Aku mencintaimu, Vel. Aku akan selalu ada untukmu," janji lelaki itu yang kini terasa seperti racun yang menyakitkan. Kata-kata yang dulu membuat hatinya berdebar kini hanya menyisakan luka yang sulit sembuh.
Mereka pernah merencanakan masa depan bersama. Veltika, dengan segala mimpinya, merasa bahwa akhirnya ia menemukan seseorang yang bisa ia andalkan. Tapi, semua itu runtuh ketika ia menemukan pesan singkat yang menghancurkan kepercayaannya. Lelaki itu berselingkuh, meninggalkan Veltika dalam kehancuran.
Malam itu, Veltika menangis tanpa henti. Sejak saat itu, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mudah percaya pada cinta, apalagi lelaki yang datang dengan kata-kata manis tanpa bukti nyata.
Dan kini, Denis hadir dalam hidupnya. Dengan sikap lembut dan perhatian yang membuat pertahanan Veltika kembali goyah. "Apakah Denis akan sama seperti dia?" pikir Veltika, merasa cemas jika cerita lama akan terulang.
Ia menutup matanya, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, perasaan takut dikhianati kembali menghantui, membuatnya sulit untuk benar-benar percaya, bahkan kepada dirinya sendiri. "Aku tidak boleh jatuh lagi... Aku tidak akan membiarkan diriku terluka lagi," bisiknya pelan, meski hatinya tahu, Denis sudah mulai mengisi ruang yang kosong itu.
Veltika duduk di tepi ranjangnya, memandangi jendela yang memantulkan cahaya lampu malam kota. Namun, pikirannya tak bisa teralihkan dari kejadian di restoran siang tadi. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Denis masuk bersama seorang wanita muda yang cantik, tangan mereka saling menggenggam erat.
"Dia bahkan tidak melirikku sedikit pun," batin Veltika, rasa perih menyeruak di dadanya. Denis, yang selama ini begitu perhatian padanya, kini terlihat seolah-olah Veltika adalah orang asing.
Denis melangkah masuk ke restoran dengan percaya diri, senyum tipis menghiasi wajahnya. Wanita di sampingnya tampak menikmati perhatian yang Denis berikan, sementara Veltika hanya bisa memperhatikan dari kejauhan, merasa seperti seorang pengamat yang tidak diundang dalam drama kehidupan Denis.
Dina, sahabatnya, mencoba mengalihkan perhatian Veltika dengan obrolan ringan, namun Veltika hanya menjawab dengan senyuman hambar. Tatapannya terus tertuju pada Denis, berharap ia akan menoleh dan menyapanya. Tapi, Denis tidak melakukannya. Dia berjalan melewati meja mereka tanpa sepatah kata pun, tanpa satu pun tatapan yang mengarah padanya.
"Apakah aku hanya permainan baginya? Atau semua ini memang bagian dari rencananya?" pikir Veltika.
Pulang ke rumah malam itu, Veltika merasa hatinya semakin dingin. Setiap langkah menuju kamarnya terasa berat. Saat melewati meja makan yang telah disiapkan Denis, ia tidak menghiraukannya. Bau harum makanan yang biasa membuatnya merasa nyaman kini terasa hambar.
Denis menyambutnya dengan senyuman hangat, seperti biasa, seolah tidak ada yang terjadi. "Kak Vel, kau sudah pulang?" sapanya lembut, tetapi Veltika tidak menanggapi. Ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan langkahnya menuju kamar tanpa berkata apa-apa.
Di balik pintu yang tertutup rapat, Veltika merasa dadanya sesak. Ia menghempaskan diri di tempat tidur, memejamkan mata sambil mencoba menyingkirkan bayangan Denis dan wanita itu. Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin kuat ingatan itu menyerangnya.
"Aku tidak boleh lemah," gumamnya. "Aku harus mengingat siapa aku sebelum semua ini. Denis tidak akan bisa menghancurkanku seperti yang lain." Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa Denis telah menggoyahkan pertahanannya lebih dari yang ingin ia akui.
Pagi itu, Veltika membuka laci meja di kamarnya dengan niat mengambil dokumen yang ia simpan. Namun, matanya terpaku pada sesuatu yang selama ini ia hindari—sebuah foto lama yang terselip di antara kertas-kertasnya. Foto seorang lelaki berwajah oriental, dengan senyum yang dulu mampu membuatnya merasa aman, tapi kini hanya menyisakan luka.
Tangannya gemetar saat meraih foto itu. Jemarinya menyentuh permukaan foto yang sedikit usang, seolah berusaha mengingat kembali momen-momen yang pernah mereka lewati bersama. Lelaki di foto itu adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati, seseorang yang menjanjikan masa depan indah bersamanya, sebelum akhirnya menghancurkan segalanya.
Veltika menatap lekat-lekat wajah pria itu. "Kenapa aku masih menyimpannya?" batinnya berperang. Ia tahu seharusnya foto itu sudah lama ia buang, seperti semua kenangan yang ia coba lupakan. Namun, entah mengapa, ia tak pernah benar-benar bisa melepaskannya.
Setetes air mata jatuh, membasahi ujung foto. Hatinya terasa perih, bercampur antara rasa sakit dan kerinduan yang tak pernah ia akui. Lelaki itu adalah luka pertama yang mengajarinya arti pengkhianatan, luka yang membuatnya membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya.
Veltika menyandarkan diri ke tepi tempat tidur, menggenggam foto itu dengan erat. "Apakah aku belum move on? Atau aku hanya takut mencintai lagi?" pertanyaan itu terus bergema di pikirannya.
Bayangan Denis tiba-tiba melintas di benaknya. Tatapan hangat Denis, cara Denis menyentuhnya, dan semua perhatian yang diberikan selama ini. Namun, Veltika segera mengusir bayangan itu. "Aku tidak bisa jatuh lagi… Tidak dengan cara yang sama."
Dengan tarikan napas dalam, Veltika berdiri dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap ke luar, ke langit pagi yang cerah, mencoba mencari kekuatan dari cahaya yang menyapa.
"Aku harus melepaskan," gumamnya. Tapi tangannya masih enggan melepaskan foto itu.
Veltika masih berdiri di dekat jendela ketika suara lembut terdengar dari bawah pintu kamarnya. Sebuah kertas perlahan masuk, menyelinap tanpa suara. Ia memandanginya sejenak, jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat. Siapa yang mengirimnya? Mengapa dengan cara seperti ini?
Rasa penasaran mengalahkan semua pikiran yang membebaninya. Dengan langkah perlahan, Veltika mendekati pintu dan mengambil kertas itu. Tangannya gemetar saat membuka lipatan sederhana yang membungkus pesan di dalamnya.
Tulisannya singkat, namun cukup untuk mengguncang perasaannya.
"Aku tahu kau marah. Tapi aku di sini, menunggumu. — D"
Tatapan Veltika membeku pada huruf terakhir. D. Tidak mungkin ada orang lain selain Denis. Ia merasa tubuhnya sedikit melemas. Kenapa Denis melakukan ini? Bukankah Denis sudah cukup jelas dengan sikapnya di restoran?
Veltika menggenggam kertas itu erat, lalu berjalan kembali ke tempat tidurnya. Dia melemparkan diri ke atas kasur, pandangan kosong menatap langit-langit. Ingatan tentang Denis menggandeng wanita lain di restoran kembali menghantui.
"Menungguku? Untuk apa?" gumamnya dengan nada sinis, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
Namun, jauh di dalam hati, ada bagian kecil dari dirinya yang ingin tahu. Apa yang sebenarnya Denis pikirkan? Mengapa Denis tidak membiarkannya menjauh seperti yang ia rencanakan?