Aisha berjalan perlahan mendekati suaminya yang terlihat sedang menelepon di balkon, pakaian syar'i yang sehari-hari menjadi penutup tubuhnya telah dia lepaskan, kini hanya dengan memakai baju tidur yang tipis menerawang Aisha memberanikan diri terus berjalan mendekati sang suami yang kini sudah ada di depannya.
"Aku tidak akan menyentuhnya, tidak akan pernah karena aku hanya mencintaimu.."
Aisha langsung menghentikan langkahnya.
Dia lalu mundur perlahan dengan air mata yang berderai di pipinya, hingga ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, Alvin tidak tahu jika Aisha mendengar percakapan antara dirinya dengan seseorang di ujung telepon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Kota
Alvian menyudahi pembicaraannya di telepon, dia lalu membalikkan tubuhnya, sedikit mendongakkan kepala ke dalam kamar untuk mencari Aisha yang tidak nampak olehnya, dia lalu melihat pintu kamar mandi yang masih tertutup.
Alvian tak peduli walaupun sebenarnya dia tahu ini sudah terlalu lama bagi istrinya itu berada disana, tapi sekali lagi dia tak peduli karena sekarang yang ada di pikirannya hanya sang kekasih yang saat ini sedang hancur hatinya.
Ya. Saat ini wanita yang dicintainya pasti tengah merasa hancur karena Alvian telah menikahi wanita lain.
Demi baktinya pada orang tua membawanya pada kepasrahan untuk dijodohkan, bersedia menikahi wanita yang bahkan melihat wajahnya saja Alvian tak pernah.
Menolak perjodohan sudah pernah dia coba utarakan, namun seperti biasanya keputusan sang Ayah bersifat mutlak, tidak bisa diubah atau di ganggu gugat.
Alvian ingin sekali memberontak tapi lagi-lagi rasa baktinya mengalahkan gejolak penolakan di hatinya, hingga kepasrahan menjadi titik terakhirnya menerima perjodohan paksa ini.
Padahal bukan wanita ini yang dia inginkan, ada wanita lain. Ya! Wanita lain yang sangat dicintainya yang sebenarnya dia inginkan untuk menjadi pendamping seumur hidupnya.
Ceklek.
Alvian mendengar pintu kamar mandi terbuka.
Wanita itu akhirnya keluar juga, pikirnya.
Alvian tersenyum kecut, ketika dia melirik Aisha keluar dengan pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya.
Cadar!
Alvian menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Aisha tetap memakai cadar di malam hari seperti ini, bahkan di dalam kamar disaat tidak ada orang lain selain dirinya yang notabenenya kini adalah suaminya, orang yang sudah halal bukan hanya melihat wajahnya saja tapi bahkan seluruh tubuhnya jika dia mau.
Tapi sejurus kemudian dia kembali tak peduli, ketika Alvian melihat Aisha berjalan mendekati tempat tidur pun dia tampak acuh.
Alvian hanya bergegas memasuki kamar mandi, segera menutup pintunya dengan sedikit kasar hingga membuat Aisha kaget.
Di balik cadar yang dikenakannya, bulir-bulir air mata Aisha kembali mengalir, sembari mengambil satu bantal di atas tempat tidur, Aisha menahan kesakitan yang teramat dalam.
Aisha merutuki nasibnya, bukan saja akan diabaikan, apalagi berharap untuk diterima sebagai istri dan dicintai, suaminya justru memperlihatkan sikapnya yang dingin dan kasar.
Beberapa saat kemudian.
Mendapati Aisha sudah berbaring di sofa ketika dia keluar dari kamar mandi membuat Alvian merasa lega, seolah wanita itu tahu akan keinginannya jika malam ini tidak akan terjadi sesuatu.
Bukan! Bukan hanya malam ini, Alvian memastikan jika tidak akan pernah terjadi sesuatu diantara mereka juga di malam-malam berikutnya, dia sudah berjanji pada Anita jika istrinya tidak akan pernah disentuhnya. Semuanya dia lakukan sebagai bukti cintanya pada Anita dan bukti bahwa pernikahan ini bukanlah kehendaknya.
Lagi pula, sebenarnya bagaimana dia bisa menyentuh Aisha, ikatan pernikahan saja yang menyatukan mereka, hingga membuat keduanya berstatus suami istri, namun baginya wanita itu adalah orang asing yang tidak dikenalnya.
Alvian menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, dengan cepat memiringkan badannya membelakangi Aisha.
Hingga malam itu, tidak ada sepatah katapun perbincangan di antara keduanya semenjak mereka telah sah menjadi suami istri.
Mereka terlalu sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Alvian sibuk memikirkan Anitanya.
Sementara Aisha dengan kesedihannya.
***
Keesokan harinya.
Pada saat sarapan, Alvian berbicara kepada kedua orang tuanya jika dirinya harus segera kembali ke kota.
Tentu saja orang tuanya kaget karena sepengetahuan mereka masa cuti putranya belum habis.
"Rumah sakit membutuhkanku, tiba-tiba banyak pasien yang harus menjalani operasi," jawab Alvian ketika ibu menanyakan alasan kepulangannya ke kota dipercepat.
"Baiklah. Cepatlah kembali ke kota kalau seperti itu." Ayah ternyata cukup mengerti.
Alvian terlihat senang. Dia langsung berdiri dari duduknya.
"Aisha. Sebelum pergi sebaiknya sekarang kalian pergi dulu ke Pondok Pesantren, pamitan kepada Ummi dan Abah." Ayah melihat Aisha yang sedari tadi hanya terdiam saja.
Alvian terlihat kaget mendengar perkataan ayahnya, dia kembali duduk sambil melihat sang ayah dengan tidak percaya.
"Kenapa?" tanya Ayah melihat kekagetan putranya. "Jangan katakan kalau kamu tidak berniat mengajak istrimu ke kota."
Alvian terlihat gelagapan.
"Iya ayah, aku pikir Aisha sebaiknya tinggal disini saja bersama kalian. Jarak dari sini ke kota hanya sekitar dua jam saja, aku akan pulang seminggu sekali."
Ayah mengerutkan keningnya.
"Bagaimana bisa seperti itu, kalian suami istri tapi akan tinggal berjauhan?" tanya Ayah dengan nada sedikit meninggi.
Alvian terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk dijadikan alasan pada sang ayah agar Aisha bisa ditinggalkannya disini.
"Iya Nak. Jangan seperti itu, kalian suami istri harus selalu bersama-sama, lagi pula kamu juga ada yang mengurus jika Aisha ikut bersamamu ke kota," ucap ibu yang sependapat dengan suaminya.
Aisha yang diperdebatkan hanya bisa terdiam dengan rasa sakit mengetahui jika suaminya sendiri enggan untuk mengajaknya tinggal bersama dan dia tahu pasti alasan dibalik semua itu.
"Tapi ibu. Aku hanya merasa kasihan pada Aisha, pekerjaanku sangat banyak, waktu kerjaku tidak tentu, aku akan sering menghabiskan waktu di Rumah Sakit, kalau seperti itu, Aisha akan sendirian di rumah, jadi lebih baik dia disini bersama kalian."
Apapun alasan Alvian, kedua orang tuanya tetap tidak setuju, mereka ingin agar Alvian mengajak Aisha bersamanya.
Akhirnya, Alvian menyerah. Dia mengikuti kemauan ayah dan ibunya walaupun dengan berat hati Alvian memutuskan untuk mengajak Aisha ke kota.
***
Walaupun jarak antara rumah mertuanya dan Pondok Pesantren tidak begitu jauh, namun Aisha memilih untuk berpamitan kepada Ummi dan Abah melalui telepon saja.
Dia tak ingin bertemu sang ibu, karena dengan melihat wajahnya saja, ibunya akan tahu akan kesedihan yang sedang dirasakannya.
Sudah setengah perjalanan dan keduanya terus diam membisu, tetap tak ada sepatah katapun yang keluar diantara suami istri itu.
Sementara Alvian sibuk menyetir, Aisha yang duduk di sampingnya hanya terus melihat ke arah jendela di sampingnya.
"Satu tahun," ucap Aisha tiba-tiba tanpa melihat sang suami di sampingnya.
Alvian terlihat kaget, dia melirik Aisha, tidak mengerti dengan maksud ucapannya.
"Setelah satu tahun mari kita bercerai," ucap Aisha datar dengan tatapan kosongnya melihat jendela mobil di sampingnya.
Alvian terlihat lebih kaget lagi, dia langsung menepikan mobilnya.
"Apa maksudmu?" tanya Alvian sembari mencoba melihat wajah istrinya yang tertutupi oleh cadar.
"Orang tua kita akan mengerti, pernikahan karena perjodohan banyak yang tidak berhasil," jawab Aisha dengan tenang masih tanpa melihat suaminya.
Alvian termenung sejenak.
Kini dia sedikit mengerti, rupanya bukan dirinya saja yang merasakan keterpaksaan pernikahan ini, namun nyatanya Aisha juga merasakan hal yang sama sepertinya.
"Baiklah kalau begitu," jawab Alvian kemudian sambil menghidupkan mesin mobilnya dan melajukan kembali kendaraannya, kembali menyetir dengan perasaan sedikit lega dan senang tentunya, karena keputusan Aisha barusan seperti memberikan angin segar untuk hubungannya dengan sang kekasih.
Sementara itu dibalik cadarnya, Aisha sedari tadi berusaha nampak tenang dan tegar, walaupun pada kenyataannya hatinya sangatlah rapuh dan pedih.
Pedih karena akan banyak hati yang terluka akan keputusannya ini, sudah terbayangkan olehnya bagaimana reaksi kedua orang tuanya ketika mengetahui perceraian mereka nanti, ayahnya akan merasa bersalah karena kegagalan perjodohan ini, sementara ibunya akan terluka karena putrinya menjadi seorang janda.
Tapi keputusannya ini sudah dipikirkannya secara matang, dan menurutnya ini yang terbaik, karena bagaimana bisa mempertahankan rumah tangga jika salah seorang diantara mereka mencintai orang lain.
Di sisa akhir perjalanan mereka, dihabiskan kembali dengan kesunyian, setelah di sela dengan percakapan pertama mereka yang justru membicarakan tentang perceraian.