Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 14
Sulur-sulur terdengar lantunan ayat suci al-quran dari arah mushola, sejuk suaranya menentramkan jiwa yang tengah dahaga. Menembus gelapnya malam membawa kedamaian, bagi insan yang dilanda nestapa.
Narendra duduk di samping mushola, sengaja menyendiri sambil mendengarkan para santri mengaji. Malam ini keluarga kyai Usman sedang pergi ke kota, menjenguk putrinya yang sedang sakit di pesantren. Dan menitipkan para santri kepadanya.
“Ren, ngajinya sudah selesai, anak-anak sudah dijemput orang tuanya dan santri putri juga udah masuk ke kamar, kita masuk juga yuk. Jangan ngelamun aja disini,” tegur Dafa, rekan sekamarnya. Rendra mengangguk, keduanya berjalan beriringan kembali ke kamar.
“Woy, tungguin. Kalian berdua ya bisa-bisanya tinggalin aku,” teriak Indra. Ia ketiduran saat mengaji, dan Dafa sengaja tak membangunkannya.
Dengan perasaan dongkol, Indra berusaha mengejar kedua temannya yang sudah masuk ke wilayah kamar santri putra, sementara dirinya masih sibuk merapikan sajadah dan sarungnya yang melorot.
“Eits, mau kemana?”
“Astaghfirullah, Nadira! apa yang kamu lakukan? kalau tadi sarungku copot gimana coba?” omelnya saat tiba-tiba saja Nadira berdiri di depannya.
“Ih, biarin aja copot, apa juga yang bisa dilihat. Palingan juga kecil,” jawab Nadira tengil.
“Ka-kamu.. jaga ucapanmu ya, astaghfirullah ini anak. Ada apa? mau minta aku panggil Rendra?”
Nadira mengangguk penuh semangat.
“Mimpi saja sana!” ucap Indra seraya berlalu.
“Eh eh, kak Indra… tolong lah Kak, aku sendirian ini, pak lek nggak bisa jemput malam ini, kalau sampe ada apa-apa sama aku kak Indra mau tanggung jawab?”
Indra menghentikan langkahnya, berbalik badan menatap gadis dengan wajah memelas itu. Lantas memastikan bahwa di sekitar mereka memang hanya tinggal Nadira sendiri.
“Beneran kang Jaya nggak bisa jemput?”
“Beneran, ngapain aku bohong. Nih!” Nadira menunjukkan ponsel berisi chattingan terakhir dirinya dengan Wijaya, disana tertulis pak leknya itu minta maaf karena tidak bisa menjemput, sebab harus mengantar neneknya kondangan ke desa sebelah. Meminta Dira matur pada abah kyai untuk mengutus santri mengantarnya pulang.
“Abah Kyai lagi nggak ada di ndalem, gimana dong,” rengeknya.
“Hah, ya udah tunggu sini. Aku antar kamu pulang!”
“Eh eh, nggak perlu repot. Gimana kalau, kak Indra minta kak Rendra aja yang ngantar aku, please… bantuin ya Kak,” pintanya.
“Dira, kamu nggak ngerti apa yang aku katakan tadi pagi?”
Nadira ingat saat Indra bilang bahwa di hati Rendra masih ada seseorang yang tak akan bisa dengan mudah tergeser oleh gadis lain. Tapi, baginya hal itu tak akan menyurutkan niatnya begitu saja, apalagi Indra bilang mereka sudah tak bisa bersatu lagi, meski Dira tidak tahu apa alasannya.
“Bukankah kak Indra bilang mereka sudah nggak bisa bersama?”
“Hmm, iya sih.”
“Nah, terus boleh dong aku mengejar kak Rendra?”
“Seharusnya boleh, tapi kayaknya itu nggak mudah deh. Aku cuma takut kalau kamu patah hati nanti Nadira. Sebab…” Indra menelisik tajam pada tampilan gadis di depannya dan kembali berkata, “kalian sungguh berbeda.”
“Apanya yang beda? aku cukup percaya diri dengan diriku, aku cantik, aku pintar. Memangnya seperti apa wanita itu,” gumam Nadira kesal.
“Jangan salah, wanita yang disukai Rendra itu unik, cantik, dan yang jelas dia seorang santri sejati. Dia pandai mengaji…”
“Aku juga bisa mengaji, kak Indra lihat sendiri kan kalau abah kyai minta aku baca di depan, mengajiku sudah mulai lancar kan?”
Indra bersidekap dada, baru kali ini ia berjumpa dengan gadis penuh percaya diri seperti Nadira, bahkan bisa dikatakan nekat dan tak tahu malu.
“Aku belum selesai bicara, selain pintar ngaji dia shalihah, dia berhijab. Nggak lepas copot kayak kamu, bisa nggak?”
Nadira diam sejenak, sebenarnya nenek pernah memintanya istiqomah berhijab karena dirinya sudah menjadi bagian dari santri kyai Usman, tapi Nadira saja yang belum siap. Ia masih suka merasa gerah jika harus mengenakan hijab terus menerus.
“Kalau itu… bukankah lebih baik jika aku hijrah karena Allah? bukan karena lelaki.”
“Nah itu tahu, jadi… menurutku ya perbaiki diri aja dulu kalian, kamu belajar yang rajin dulu, pantaskan diri masing-masing, kelak kalau memang jodoh nggak akan kemana.”
Nadira mendadak kesal, menurutnya Indra sangat cerewet. “Sudah ceramahnya? bisa panggilkan kak Rendra nggak? apa perlu aku masuk sendiri dan panggil kak Rendra?”
“Eits, jangan sembarangan kamu. Aku beritahu ya, Dafa tak seperti diriku, dia tipe patuh pada aturan bisa-bisa dilaporkan ke kyai kamu kalau nekat.”
“Makanya cepet panggilin kak Rendra, aku mau pulang nih.”
Indra menghela nafas kasar, menggeleng heran atas sikap keras kepala keponakan Wijaya itu. Ia lantas mengangguk dan meminta Nadira menunggu sejenak, sementara dirinya bergegas kembali ke kamar untuk memanggil rekannya.
“Ren, dicari Nadira tuh,” ucapnya begitu sampai di ambang pintu, Rendra yang tengah membaca buku melirik sekilas. Namun, tak berminat untuk meladeni ucapan temannya itu. “Rendra, dia mau diantar pulang. Kang Wijaya nggak bisa jemput malam ini,” ujar Indra lagi.
Rendra meletakkan buku di atas pangkuan, lantas memandang Indra yang tengah meletakkan sajadah di atas lemari pakaian. “Ya udah sih, sama kamu aja kenapa? ajak itu Dafa.”
“Maaf Bro, aku ngantuk,” seloroh Dafa berguling di atas kasur lantai.
Rendra menghela nafas dalam, sementara Indra berkata jika Nadira menunggu sendirian di luar, bisa berbahaya jika mereka tak mengantarnya malam-malam begini. Bukan tanpa alasan Rendra malas membantu gadis itu, pasalnya akhir-akhir ini Nadira menunjukkan gelagat suka di depannya, dan ia belum siap membuka kisah baru. Apalagi usia mereka jauh berbeda.
“Kita aja udah Ren, tapi aku mau ganti baju sebentar. Kamu tunggu di depan aja sama Dira ya.”
Rendra mengangguk, terpaksa ia bangkit menemui Nadira yang menunggunya di samping mushola.
***
Cukup lama Nadira menunggu, ia memainkan sebuah gantungan kunci karakter game favoritnya dan Rendra, ia membeli benda itu saat ke kota dulu, dan berencana memberikannya pada Rendra disaat yang tepat. Gadis itu tersenyum lebar kala melihat Rendra berjalan mendekat. Seperti biasa pandangan mata Rendra tajam menatapnya, itu salah satu daya tarik lelaki itu menurut Dira.
“Hai Kak Rendra, bisa antar aku pulang? pak lek nggak bisa menjemput malam ini,” ucapnya kala Rendra berada tepat di depannya.
“Boleh, tapi dengan Indra.”
“Kenapa? aku… ada yang ingin kukatakan kepada kakak, boleh nggak jika hanya berdua.” Nadira memohon, dua tangannya tertangkup di depan dada.
“Katakan saja sekarang, karena keputusanku masih tetap sama. Kami akan mengantarmu bersama, kalau kamu menolak silahkan pulang sendiri,” ucapnya tegas.
Senyum di bibir Nadira perlahan pudar, ia tahu keputusan lelaki di depannya sudah tak bisa diganggu gugat, selama masa pendekatan ini sedikit banyak ia tahu sifat Rendra, lelaki itu akan terlihat menyeramkan jika sedang marah. Tapi lelaki itu masih menahannya.
“Baiklah, aku katakan. Ehm… Kak Rendra, a-aku… aku dengar bahwa kakak punya masa lalu yang tak mudah dilupakan, maksudku seseorang dari masa lalu. Tapi, aku dengar juga, kalian sudah tidak bisa lagi bersama. Aku tidak akan bertanya kenapa, dan aku tisak keberatan akan hal itu, hanya saja… bisakah kakak memberikan aku kesempatan menggantikan posisinya?”
Rahang Rendra mengeras, tangan terkepal di dalam saku jaket. Lelaki itu membuang muka, mengalihkan pandangan dari wajah gadis di depannya yang menuntut sebuah jawaban. Ia tahu betul ulah siapa ini, yang telah membocorkan rahasianya pada Nadira.
“Kamu pikir, kamu siapa? Dia tak akan pernah terganti dengan siapapun! meski kami tak bisa bersama bukan berarti aku akan melupakannya begitu saja! sudahlah, lebih baik kamu pulang diantar Indra saja!” Rendra mengucapkan kalimat dengan penuh penekanan. Sorot matanya menggambarkan amarah yang memuncak di dalam dada.
“Indra! indra!!” teriaknya. Rekan sekamarnya yang sengaja bersembunyi dibalik pintu mau tak mau keluar juga, dengan takut-takut lelaki itu berjalan mendekat. Ia tahu rekan sekamarnya yang satu ini bisa sangat kejam dan menyeramkan jika sedang marah.
“I-iya, ada apa Bro?”
“Antar dia pulang!”
“Ba-baik, maaf ya Bro,” ucapnya menarik tas Nadira yang menempel di pundak, gadis itu terpaksa mengikutinya meski dengan air mata berlinang. Indra tak tega sebenarnya, tapi ia tahu disini dirinya lah yang salah karena tak bisa menjaga rahasia.
Setelah berjalan kaki cukup lama, akhirnya mereka berhasil sampai rumah, meski sepanjang perjalanan kebekuan menyelimuti keduanya. Indra tak berani membuka percakapan, apalagi saat melihat gadis yang biasa ceria itu hanya diam menunduk, seolah tanah yang dipijak mereka jauh lebih menggoda daripada berbincang dengan dirinya.
“Ehm, kita sudah sampai. Kamu masuk saja, aku akan pulang,” ucap Indra. Nadira tak menjawab, ia memilih abai dan masuk ke dalam rumah.
Rasa iba Indra menguap begitu saja saat menyadari betapa tak sopannya gadis itu. Ia memutuskan berbalik badan hendak kembali ke pesantren. Namun, tiba-tiba saja ia mendengar sebuah jeritan dari dalam rumah.
“Aaah!!”
“Ibu!”
.
Tbc