Anson adalah putra tunggal dari pemilik rumah sakit tempat Aerin bekerja. Mereka bertemu kembali setelah tiga belas tahun. Namun Anson masih membenci Aerin karena dendam masa lalu.
Tapi... Akankah hati lelaki itu tersentuh ketika mengetahui Aerin tidak bahagia? Dan kenapa hatinya ikut terluka saat tanpa sengaja melihat Aerin menangis diam-diam di atap rumah sakit?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dirumahnya, Aerin menangis. Hujan turun dengan derasnya di luar, tetapi sederas apapun hujan itu, tak akan mampu mengalahkan rasa sedih dihatinya yang remuk redam. Ia duduk meringkuk di sudut kamar sambil memeluk lutut.
Aerin sangat sedih beberapa hari ini karena teringat mendiang kakaknya. Lebih sedih lagi ketika mengingat perkataan-perkataan Anson padanya. Dari dulu pria itu memang tidak punya hati. Aerin tahu itu. Tapi hatinya begitu sakit diperlakukan seperti itu. Apalagi mengetahui banyak orang di rumah sakit hanya memandangnya sebagai dokter rendahan.
Kejadian tadi siang sungguh membuatnya tidak bisa menahan kesedihannya. Tapi ia tidak bisa menangis di depan mereka bukan? Mereka pasti akan menertawai dan menganggapnya lemah. Aerin menghapus air matanya mencoba tegar.
Tidak boleh, ia tidak boleh lemah. Ia harus jadi gadis yang kuat. Anggap saja semua adalah proses yang dia lewati untuk tumbuh menjadi lebih dewasa.
Sementara itu dalam perjalanannya pulang, Anson mengumpat-umpat sepanjang perjalanan, hujan deras ini membuat perasaannya makin kacau. Ia makin frustrasi mengingat kejadian siang tadi. Apa dirinya terlalu terburu-buru mengambil keputusan? Anson sadar siang tadi dirinya marah besar karena merasa Aerin sangat tidak profesional hingga emosinya sampai ke ubun-ubun. Sudah melakukan kesalahan, tapi tidak ada rasa bersalah sedikitpun. Tindakan seperti itu memang harus di disiplinkan. Tapi, kenapa sekarang dirinya malah menyesali keputusannya?
Anson tidak sadar mobilnya malah berhenti di depan rumah Aerin. Astaga, ada apa dengannya? Sudah beberapa kali ini ia berhenti di depan rumah gadis itu tanpa mengerti apa yang sebenarnya ia mau. Akhir-akhir ini dirinya selalu mengamati Aerin diam-diam, seperti seorang penguntit.
Rumah Aerin sangat sepi dan terasa dingin. Ia hanya pernah masuk sekali dulu karena diajak oleh Kyle, waktu masih SMA. Sebelum terjadi peristiwa ketika dirinya marah besar pada gadis itu dan memutuskan pindah sekolah, bertahun-tahun yang lalu.
Anson tersenyum hambar, kenapa dia malah datang ke tempat ini, jelas-jelas ia tahu sekarang sudah sangat larut dan cuaca pun berhujan. Tidak mungkin Aerin akan keluar dari rumah itu malam-malam begini dalam keadaan hujan deras pula.
Pandangan pria itu naik ke atas sana, ke sebuah ruangan bertingkat di rumah Aerin yang lampunya masih menyala. Itu adalah kamar Aerin. Ia masih mengingatnya dengan jelas. Lalu ia melirik jam tangannya sebentar dan mengerutkan kening. Apa yang gadis itu lakukan tengah malam begini? Kenapa belum tidur? Pada saat yang sama, lampu dalam ruangan tersebut mati. Anson tersenyum tipis, kebetulan sekali. Ia lalu pergi meninggalkan rumah itu.
®®®®®®
Paginya, Aerin tetap datang ke rumah sakit. Dia memang tidak diijinkan untuk menangani pasien minggu ini, jadi tak ada kerjaan. Beberapa staf yang melewatinya sesekali berbisik. Mungkin membahas tentang dirinya yang dikeluarkan dari tim Anson. Meski begitu, Aerin tetap terlihat santai. Ia malah tenang-tenang saja tidak mempedulikan pandangan orang lain tentang dirinya.
Lagipula ia tidak tahu mau kemana. Kesehariannya selalu dia habiskan di rumah sakit, aneh rasanya berada di rumah jam begini. Lebih baik ia melihat para orang-orang yang berseliweran di rumah sakit, daripada berhadapan dengan para pembantu rumahnya yang menyebalkan. Ya, walau akhir-akhir ini mereka tidak berani padanya lagi namun tetap dia bosan melihat wajah munafik mereka.
"Oh, lihat siapa ini. Seorang dokter tidak kompeten yang baru saja di keluarkan dari tim."
Laras tersenyum dengan raut wajah meledeknya ke Aerin. Namun Aerin tidak terlihat peduli. Ia bahkan tidak melirik Laras sama sekali. Pandangannya fokus ke depan sana, ke pasien-pasien yang tengah menikmati waktu santai mereka. Bagi Aerin, meladeni wanita sirik Seperti Laras itu percuma saja. Jadi lebih baik tidak usah di ladenin.
"Bagaimana rasanya dikeluarkan? Sakit kan pasti? Kalau itu aku, aku pasti akan malu setengah mati. Bahkan datang lagi ke sini sepertinya aku tidak sanggup." Laras terus berbicara dengan gaya merendahkan. Ia sangat puas melihat Aerin yang kena amukan habis-habisan oleh Anson kemarin.
Aerin tetap diam. Hingga Laras kesal sendiri merasa dirinya diperlakukan seperti batu. Sialan. Perempuan sombong. Tidak tahu malu. Percaya diri sekali dia tetap menampakkan diri di rumah sakit ini padahal banyak sekali staf yang menggosipkan dia.
"Aerin,"
Andrea berjalan mendekati Aerin. Ia sempat bingung melihat ada Laras juga di dekat situ. Andrea tahu Laras tidak menyukai Aerin, seperti Logan. Pasti wanita itu sengaja mau meremehkan Aerin. Saat Andrea menghentikan langkahnya di depan Aerin, Laras memutuskan pergi. Wanita itu melemparkan tatapan sinis-nya pada Aerin sebelum benar-benar menghilang dari situ.
"Dia mengganggumu?" Andrea bertanya. Aerin tersenyum tipis.
"Tidak aku ladeni." katanya. Andrea menghela nafas kasar.
Aerin selalu membuatnya gemas karena terlalu masa bodoh dengan orang-orang yang sengaja bersikap buruk dan senang menjatuhkannya. Kalau Andrea jadi wanita itu, ia tidak akan pernah membiarkan orang-orang seperti Laras menindasnya. Andrea tahu Aerin hanya ingin menghindari masalah, tapi kalau dengan keputusannya yang diam saja seperti ini malah akan membuat orang lain makin salah paham, itu hanya akan merugikan diri sendiri.
"Rin, kau tidak merasa terganggu? Semua orang membicarakanmu sekarang." ujar Andrea. Kepalanya sampai sakit mendengar gosip-gosip di rumah sakit ini. Sebagian besar mereka menggosipkan Aerin yang lalai dan dimarahi habis-habisan oleh Anson. Bahkan dipindahkan kembali ke bagian umum. Itu memalukan.
Aerin memiringkan kepalanya melirik Andrea.
"Kau mau minum?" tawarnya. Ini pertama kalinya Aerin ingin mencoba menghilangkan stres dengan minum-minum. Yah, wanita itu sedang stres sekarang. Bukan karena gosip tentang dirinya di rumah sakit ini. Lebih ke hatinya yang entah kenapa terasa begitu sesak dengan sikap Anson kemarin. Belum lagi masalah perjodohan yang dilakukan oleh kedua orangtuanya. Otaknya penuh. Dia butuh sesuatu untuk membuat perasaannya sedikit membaik.
Andrea sendiri masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Apa dia salah dengar? Aerin mengajaknya minum? Ia tahu persis minum seperti apa yang Aerin maksud.
"Kau yakin mau minum? Tapi aku masih ada satu pasien yang harus di urus sampai sore." kata Andrea.
"Aku bisa menunggu," suara Aerin terhenti karena ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia mengernyitkan dahi, melihat ponselnya dengan saksama apa dia salah lihat atau tidak. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini mamanya menelpon. Refleks Aerin langsung angkat.
"Halo?"
"Aku sudah mengirim alamat padamu. Kau harus ke sana tiga puluh menit lagi." ucap mamanya dari seberang sana dengan nada tegas. Aerin makin tidak mengerti. Apa maksud mamanya? Jangan-jangan wanita itu salah telpon lagi.
"Maksud mama apa?"
"Jangan banyak tanya. Sebaiknya kau bergegas ke alamat yang aku kirim sekarang juga."
Lalu telpon tertutup.
Aneh.
Aerin bergumam dalam hati.
Bertindak secara impulsif dan sulit mengontrol emosi.
Pendarahan selama Operasi Buruknya sangat beresiko dapat menyebabkan Infeksi setelah operasi . Gumpalan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung, stroke, atau masalah paru-paru .
Satu bab buruk dalam hidup itu tidak berarti itu adalah akhir, tetapi itu adalah awal dari babak baru dalam hidupmu..
Namun jika situasinya seperti ini tingkat Lithium yang sangat tinggi dalam darah dapat mengganggu fungsi ginjal dan organ tubuh lainnya jika dikonsumsi berlebihan.