PLAK
Dewa menatap kaget campur kesal pada perempuan aneh yang tiba tiba menampar keras pipinya saat keluar dari ruang meeting.
Dia yang buru buru keluar duluan malah dihadiahi tamparan keras dan tatapan garang dari perempuan itu.
"Dasar laki laki genit! Mata keranjang!" makinya sebelum pergi.
Dewa sempat melongo mendengar makian itu. Beberapa staf dan rekan meetingnyaa pun terpaku melihatnya.
Kecuali Seam dan Deva.
"Ngapain dia ada di sini?" tanya Deva sambil melihat ke arah Sean.
"Harusnya kamu, kan, yang dia tampar," tukas Sran tanpa menjawab pertanyaan Deva.
Semoga suka ya... ini lanjutan my angel♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21 Tahun Yang Lalu
Di parkiran perusahan tekstilnya, Juhandono menatap acuh pada seorang perempuan muda yang sedang menggendong seorang bayi. Sepertinya sudah cukup lama dia menunggu kedatangannya.
Wajahnya nampak layu, dia terlihat belum cukup sehat. Tapi wajahnya masih nampak cantik
"Ambil bayi ini atau lebih baik kamu buang saja. Aku ngga mau mengurusnya. Aku harus nyari uang untuk hidupku." Perenpuan muda itu langsung menempelkan bayi perempuan yang sepertinya baru hitungan hari itu ke dada Juhandono yang reflek meraihnya.
Dua orang pengawalnya bergerak bermaksud mengamankan perempuan muda yang berpakain cukup terbuka itu ketika mendekati bos mereka.
Tapi Bos mereka mengangkat tangan dan menggoyangkannya, membuat langkah keduanya terhenti.
"Setelah malam itu, aku tidak bekerja lagi sampai aku tau kalo aku hamil. Sembilan bulan aku off agar bayi itu tidak tercemar oleh sp e rma yang lainnya. Jadi aku minta kompensasi padamu karena sudah melahirkan anak itu dengan selamat," ucap perempuan muda itu dengan wajah datarnya.
Juhandono memberi isyarat pada pengawalnya untuk segera mendekat.
"Berapa yang kamu minta."
"Tentukan saja sendiri nominalnya. Ingat, aku menjaga be n ih mu dengan sangat hati hati. Aku sampai off, tidak menerima pelanggan lain."
"Ambilkan buku cekku."
Salah seorang pengawalnya mengambil buku cek dan pulpen mahalnya.
"Satu milyar cukup?" Juhandono menatap wanita yang menjadi kesalahannya ini dengan tajam.
"Ya."
"Tapi kamu juga harus berjanji tidak akan pernah muncul di hadapanku lagi, juga di hadapan anak ini. Selamanya."
"Tentu. Aku akan melupakannya," tandasnya.
"Buatkan sekarang surat perjanjiannya," titahnya pada pengawalnya.
Pengawalnya segera mengambil tablet di dalam mobil dan segera mengetikkannya isi klausul perjanjiannya.
"Mana kartu identitasmu. Pengawalku membutuhkan data data dirimu."
Perempuan muda itu pun memberikan kartunya yang segera diterima sang pengawal yang langsung mengolah datanya.
"Silakan tanda tangan tuan," ucap pengawalnya sambil memberikan tablet dan stylus pennya.
"Kamu baca dulu sebelum tanda tangan." Juhandono menatap perempuan yang ngga sengaja dia tiduri.
Perempuan itu sepertinya ngga butuh waktu lama membacanya. Karenanya dia segera mengambil stylus pennya dan segera menandatanganinya.
Setelahnya Juhandono pun menandatangani di sebelahnya.
"Pergilah jauh jauh. Jangan pernah mendekat atau coba coba mengancam."
Perempuan itu tidak menjawab, dengan tenang memeriksa m-bankingnya.
Tanpa melihat bayinya lagi, perempuan itu langsung berbalik pergi.
Setelah perempuan muda itu pergi, Juhandono menatap bingung pada wajah bayi yang kemerahan dan masih pulas tertidur.
Seolah olah gangguan tadi tidak bisa mengusik kenyamanan tidurnya.
"Apa yang harus aku lakukan padamu," gumamnya. Satu tangannya pun membelai pipi gembul itu.
Awalnya dia berniat menitipkan bayi ini ke panti asuhan saat perempuan itu menghubunginya.
Tapi setelah melihatnya, ada keterikatan yang kuat dalam hatinya terhadap bayi ini.
Baiklah, dia akan menanggung apa pun resikonya.
*
*
*
Istrinya yang baru melahirkan tentu saja seperti mendengar ledakan petir yang sangat keras di telinganya ketika mendengar pengakuannya.
Bahkan kedua orang tua mereka pun meradang.
"Papa tidak sudi memelihara bayi dari perempuan rendah!" semprot papanya setelah terlebih dulu menempelengnya.
"Aku ngga sengaja melakukannya, Pa. Aku dijebak," jelasnya cepat. Pipinya masih terasa panas. Tamparan papanya sangat keras.
"Apa pun alasannya, aku tidak mau cucuku dekat dekat dengannya," seru mamanya nggak kalah marahnya.
Apalagi melihat menantu kesayangannya sedang ditenangkan oleh orang tuanya.
"Dia cucu mama juga," bantah Juhandono membuat yang lainnya tercekat.
"Jaga bicaramu, anak kurang ajar!" sentak mamanya sangat emosional.
"Buang bayi itu ke panti," semprot papanya lagi
"Tidak, papa. Aku akan mengasuhnya bersama Nagita."
"Kamu bicara apa?!" Maminya jadi histeris mendengarnya.
Papanya dan mertuanya menatap Juhandono dengan sorot mata nanar.
"Sayang, aku mohon. Kasihani anak ini. Dia anakku juga." Juhandono bersimpuh di depan istrinya yang masih bersimbah air mata.
"Juhandono! Kamu menyakiti hati putriku," geram papa mertuanya.
"Maafkam aku, Pa. Tapi aku ngga bisa membiarkan dia sendirian di panti. Dia masih punya aku."
"Baiklah. Aku ijinkan bayi itu tinggal.di sini. Tapi dia akan diasuh pengawal yang ikut bersamamu." Mamanya memberikan solusi.
"Ma.....," isak istri Juhandono terkejut dengan solusi yang diambil mama suaminya.
"Kita terpaksa, sayang," bujuknya lembut.
"Aku tidak setuju Okelah kalo kamu tidak mau mengurusnya, aku tidak marah. Biarkan Bik Tina yang mengurusnya. Dia putriku juga.," ngeyel Juhandono sambil bangkit.
"Juhandono!" bentakan papanya sangat menggelegar. Emosinya sudah naek ke ubun ubunnya.
"Aku tetap dengan keputusanku, Papa."
Semuanya melengak kaget dengan kekeraskepalaan Juhandono.
"Terserahlah! Tapi cucu papa hanya Nagita. Ngga ada yang lain," tandas papanya dengan mada suara penuh tekanan.
Kemudian beliau berjalan pergi meninggalkan ruangan yang terasa pengap. Mama dan mertuanya juga ikut melangkah pergi.
Setelah hanya tinggal berdua saja, Juhandono mendekati istrinya.
"Sayang, aku hanya mencintaimu. Tolong jangan jauhkan bayi ini dariku," mohon Juhandono dengan suara bergetar.
Istrinya ngga menjawab, hanya isakannya saja yang terdengar.
"Apa pun permintaanmu, katakan saja. Asal kamu mau membiarkan bayi ini di dekat kita."
Istrinya tau suaminya ngga seratus persen bersalah. Tapi dengan melihat wajah bayi itu yang akan tumbuh besar bersama putrinya, hatinya merasa tercabik cabik. Terbayang pengkhianatan yang dilakukan suaminya bersama dengan seorang perempuan malam.
*
*
*
21 Tahun Kemudian
"Nona Emily, papa tuan sedang menunggu nona."
Emiliy yang masih mematut dirinya di cermin menghela nafas kasar.
Dia ngga betah berada di sana. Ngga ada yang menginginkan keberadaannya. Kecuali papanya.
"Ayo, nona," bujuk Bik Tina dengan sabar.
Terpaksa Emily menuruti permintaan Bik Tina.
Suasana ruang makan yang penuh canda tawa berubah kaku. saat dia mendekat.
"Hai, Emily," senyum Nagita membuat Emily juga membalas senyumnya.
"Ayo, sekarang kita sarapan dulu," ucap Juhandono dengan tatapan lembut pada putrinya.
Emily ngga membantah.
"Jangan lupa malam ini ada pernikahan yang harus kamu datangi, Juhan," tegas kakeknya.
"Iya, pa."
"Kalian datang bertiga. Jangan lupa. Bertiga!" pungkas kakeknya dengan suara beratnya.
Ketiganya ngga menjawab. Memfokuskan pada sarapan masing masing
Emily merasakan sakit yang amat sangat di dalam hatinya. Biarpun sudah sering latihan agar mentalnya tetap bisa sekokoh karang, tapi hal hal ngga penting itu selalu membuatnya insecure.
Ngga ada yang membantah perkataan kakeknya.
Sudahlah. Dia juga ngga berminat datang, batinnya gusar.
Jangankan acara pernikahan relasi papanya yang ngga pernah dia hadiri.
Acara acara kumpul keluarga besar pun, dia selalu ditolak Kedatangannya.
Setelah melewati usia tujuh belas tahun, Emily baru tau kenapa kedua kakek san neneknya ngga menyukainya.
Ternyata dia hanya anak dari kupu kupu malam yang mana ibu kandungnya pun membencinya.
Emily berusaha tetap kuat sampai acara sarapan yang malah membuat perutnya mulas berakhir.
emang. kamu tu aneh Deva...
baru nyadar...????
🤣🤣🤣🤣🤣
Aaron modusin Nagita
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Aaron Pepet Trs Nagita
Om Ocong Vs Mbak Kunti Ngasih iklan
Aaron... udah lega nih ternyata dewa sukanya sama Emily... ayo Ron bikin dewa cemburu... biar gercep..