Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Payung yang Terbang
Beberapa hari kemudian
Secangkir kopi pahit menghangatkan tangan Karin, uapnya mengepul tipis di udara dingin kafetaria. Alunan musik patah hati dari earphone miliknya bergema pelan, seolah menyapa luka yang sesungguhnya masih basah di hatinya. Di luar jendela, hujan gerimis turun perlahan, seolah mendukung keadaan yang masih tak baik-baik saja.
Karin menunduk, matanya menatap permukaan kopi yang beriak lembut. Pikirannya kembali melayang ke kejadian beberapa hari yang lalu.
Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar kaca mobil. Karin dan Tara duduk berdampingan, suasana begitu sunyi, yang terdengar hanya detak jantung Karin yang masih berdebar kencang tak beraturan karena perdebatannya dengan Widuri juga ucapan Tara yang membuatnya terkejut.
Gara-gara ucapan itu Widuri setuju untuk pulang setelah usai bekerja. Dia berjanji hanya akan bekerja hari ini saja. Tara juga menitipkan sejumlah uang kepada Widuri untuk mengganti biaya kerusakan akibat perkelahian yang ditimbulkannya di tempat spa.
Dengan perlahan Karin mengolesi obat merah ke luka yang ada di wajah Tara. Wajah Tara jadi memerah dan lebam akibat terkena banyak pukulan.
"Bicaralah, Karin." Suara Tara tiba-tiba memecah kesunyian.
"Saya tahu kamu ingin menanyakan sesuatu."
Karin menunduk sejenak, Tara sepertinya sadar kalau sedari tadi Karin ingin bicara, tapi terlalu sulit untuk melakukannya.
"Iya, Mas ... sebenarnya saya masih enggak mengerti kenapa Mas Tara mengatakan hal tadi di hadapan Widuri?"
"Mas enggak sungguh-sungguh akan menikahi saya kan?"
"Terlalu tak masuk akal bagi saya, laki-laki yang baru kenal beberapa hari langsung mau menikah begitu saja. Mas Tara pasti hanya asal bicara kan?" tanya Karin bertubi-tubi.
Tara tersenyum tipis, lalu menggeleng. "Saya tak asal bicara, Karin. Saya memang akan menikahi kamu."
"Apa?" Karin terkekeh kecil. "Tolong jangan bercanda, Mas. Ini enggak lucu."
"Saya serius, Karin. Saya memang akan menikahi kamu, karena saya memang tertarik sama kamu."
Karin membulatkan mata tak percaya. "Kenapa, Mas? Apa yang membuat Mas tertarik sama saya? Saya ini cuma perempuan biasa, dari kalangan biasa loh."
Tara menghela napas. "Saya juga enggak tahu pasti apa alasannya."
"Yang pasti saya hanya enggak bisa berhenti mikirin kamu sejak saya menolong kamu sore itu ... dan saya juga merasa senang sekali saat bisa bertemu kamu lagi pada saat menolong ibu."
Tara lalu menggenggam tangan Karin dengan lembut. "Jadi masuk akal kan kalau saya mau menikahi kamu?"
"Lagipula, kamu sudah menjawab iya kan tadi depan Widuri?" Tara terus menimpali ucapannya.
"Tadi kupikir Mas Tara hanya asal bicara agar Widuri mau pulang," ucap Karin.
"Jadi, sebenarnya kamu enggak mau menerima perasaan saya dan menikah dengan saya?" tanyanya kecewa.
Karin menatap wajah Tara cukup lama, lalu menarik tangannya dari genggaman Tara dengan perlahan. "Enggak begitu, Mas. saya hanya takut."
"Takut kenapa Karin? Saya ini bukan laki-laki yang brengsek yang suka mempermainkan wanita."
"Iya Mas, saya tahu, tapi ...."
Getar ponsel membuyarkan lamunan Karin. Dia meraihnya, dan senyumnya seketika menyungging melihat pesan masuk dari Mas Tara.
"Lagi apa Rin, sudah pulang kerja kah?" tulis Tara.
"Saya masih di kafe dekat kantor Mas, lagi ngopi sambil nunggu hujan reda," jawab Karin.
Komunikasi keduanya masih berjalan lancar sampai sekarang, tapi tak pernah membahas masalah serius, apalagi soal menikah. Sebenarnya, Karin juga mulai merasa nyaman setelah beberapa hari mengenal Tara. Namun, untuk sebuah hubungan lebih serius, dia terlalu ragu. Cakra saja yang sudah bertahun-tahun bisa berkhianat. Apalagi Tara yang baru mengenalnya dalam waktu sebentar. Tak menutup kemungkinan dia tak akan melakukan hal yang sama, dan Karin tak mau mengalami luka yang sama setelah menikah.
Karin memikirkan itu sambil mengaduk-aduk kopi di hadapannya. Lalu tak lama terlihat sosok Sabrina berjalan masuk ke area kafe, lalu memesan. Perempuan yang sibuk menatap layar ponsel itu tampaknya belum menyadari keberadaan Karin.
"Mbak Sabrina!" panggil Karin.
"Loh, Karin, kok kamu belum pulang?"
"Belum, Mbak. Pengen ngopi cantik dulu nih," jawab Karin.
"Wah pas banget, aku juga pengen ngopi dulu sambil nunggu suamiku datang untuk jemput," ucap Sabrina lalu duduk di samping Karin.
Mereka berdua akhirnya menikmati kopi bersama sambil bercengkrama. Seraya menikmati rintik gerimis yang masih setia menyirami jalanan.
Tak lama mata Sabrina yang tajam itu mulai mengamati wajah Karin dengan seksama.
"Kenapa Mbak? Apa ada yang aneh di wajahku?" tanya Karin refleks mengeluarkan cermin kecil.
"Enggak, Rin. Cuma aku perhatiin hari ini wajah kamu tuh agak lesu. Aku mau nanya sebenarnya pas di kantor, tapi aku lupa karena saking banyaknya kerjaan."
"Kamu lagi ada masalah lagi kah? Terus soal Widuri bagaimana? Apa dia udah ada kabar?" tanya Sabrina terlihat begitu mengkhawatirkan Karin.
"Alhamdullilah aku udah ketemu sama Widuri, Mbak. Cuma ...."
"Cuma kenapa?" tanya Sabrina, menunggu penjelasan.
"Dia meminta aku segera menikah, Mbak. Kalau dalam waktu dekat ini aku enggak menikah, dia mengancam akan pergi lagi," jelas Karin.
"Astaga, bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Dia tahu kan kamu sama Cakra baru putus." Sabrina begitu geram mendengar penjelasan Karin.
"Widuri itu sepertinya pemikirannya masih labil, dia pikir menikah itu main-main apa. Mencari calon suami itu juga tidak semudah membalikkan telapak tangan kan?" tambah Sabrina emosi.
Sabrina menepuk bahu Karin pelan, "Kamu harus bisa lebih tegas pada adikmu, Rin."
Karin mengangguk, "Iya Mbak, aku akan coba untuk tegas."
"Tapi sebenarnya ada hal lain yang lebih mengganggu pikiranku sekarang, Mbak."
"Hal apa?" tanya Sabrina penasaran.
Karin membatin ragu. "Haruskah aku menceritakan tentang Mas Tara kepada Mbak Sabrina? Aku butuh nasihat yang bijak, tapi aku juga takut memberitahu hal ini. Kalau Mbak Sabrina menganggap aku perempuan yang gampangan gimana?"
Setelah menimbang beberapa saat Karin pun memutuskan untuk bercerita. "Ada laki-laki yang ingin menikahiku, Mbak. Namanya Mas Tara."
"Mas Tara?" Sabrina mengerutkan keningnya, lalu terdiam.
"Iya, aku kenal dia baru-baru ini, tapi tiba-tiba dia bilang tertarik dan mau menikahi aku, Mbak. Aku sebenarnya merasa nyaman sama dia. Dia itu kayak obat yang datang disaat yang tepat... cuma untuk menikah aku masih ragu," ucap Karin bercerita.
"Menurut Mbak aku harus bagaimana? Haruskah ku terima, atau kutolak dia?" tanya Karin meminta pendapat.
Namun, Sabrina yang biasanya begitu responsif mendadak berubah. Perempuan itu hanya terpaku dan menatap Karin dengan tatapan yang kosong.
"Rin, maaf kalau boleh tahu nama lengkap laki-laki itu siapa?" Alih-alih menjawab, Sabrina juga malah menanyakan nama lengkap Tara.
"Ada apa ya Mbak? Kenapa nanya nama lengkap dia? Apa Mbak mau nanya ke horoskop jodoh?" tanya Karin bercanda untuk menutupi rasa curiga yang tetiba muncul di hatinya.
"Ah, itu ... namanya kayak enggak asing. Siapa tahu aku memang kenal," jawab Sabrina lalu meminum kopinya dengan cepat.
"Oh aku kira kenapa hehe. Nama lengkap Mas Tara itu--" Ucapan Karin terpotong oleh dering ponsel milik Sabrina.
Sabrina melonjak, lalu mengambil ponselnya yang ada di atas meja. "Eh, sebentar ya Rin. Suamiku telpon."
"Iya Mbak, terima dulu aja."
"Iya halo Mas... Oh, Mas udah nyampe. Ya udah, Mas kesini. Tolong bawa payung dua sekalian ya." Sabrina menatap ke luar jendela, ke arah mobil putih yang terparkir dekat kafe.
"Sudah dijemput ya Mbak?" tanya Karin.
"Iya, suamiku udah datang Rin. Kamu aku antar sekalian ya." Raut wajah Sabrina mulai terlihat biasa lagi.
"Enggak usah Mbak, rumahku kan lebih jauh."
"Iya enggak apa-apa, kamu ikut aja. Ntar dari rumahku, kamu baru pesan ojol. Biar menghemat biaya."
"Ah, baiklah kalau Mbak maunya begitu."
Karin mengikuti langkah kaki Sabrina keluar dari kafe. Di luar, Pak Wijaya, suami Sabrina, sudah menunggu dengan payung di tangannya.
"Sayang, boleh ya kalau Karin ikut kita sekalian? Rumahnya kan searah," kata Sabrina.
"Boleh, aku enggak keberatan kok," jawab laki-laki berusia 45 tahun itu, sambil memberikan satu payung lagi kepada Sabrina.
"Ini payungnya Karin," kata Sabrina sambil menyerahkan payung itu pada Karin.
"Makasih Mbak," ucap Karin.
Karin pun mengikuti sepasang suami istri itu berjalan ke arah mobil mereka.
"Aku duduk di belakang aja ya sama Karin," kata Sabrina.
Saat Karin hendak masuk ke mobil, tiba-tiba sebuah mobil lain membunyikan klakson dari arah berlawanan. Karin tersenyum, karena dia tahu persis bahwa itu mobil Tara.
"Loh, itu kan Mas Tara," ucap Karin.
Sabrina menatap ke arah Karin. "Mas Tara yang tadi kamu ceritakan?"
"Iya, Mbak. Dia kayaknya mau jemput aku."
Tara keluar dari mobil sambil memayungi dirinya. Dia melambai sambil menghampiri Karin. Tara tersenyum seperti biasa, tapi tiba-tiba senyum itu memudar, bahkan hilang dari wajahnya. Lalu payung di tangannya juga terlepas begitu saja terbawa angin.