> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Seburuk Itu: Bagian 1
Bagian 1: Awal yang Buruk
Langit di atas SMA Nishigawa terlihat mendung, seakan menyambutku dengan rasa dingin yang menempel di tulang. Aku berdiri di depan gerbang sekolah dengan seragam yang terasa asing di tubuhku. Namaku... atau setidaknya nama karakternya adalah Takumi Hirano.
“Lagi-lagi SMA…” gumamku sambil menghela napas.
> “Ini adalah lingkungan ideal untuk meningkatkan kemampuan sosial Anda, Rei.”
Suara AniGate terdengar jelas di kepalaku. Formal, datar, dan tanpa emosi.
“Apa kau serius?” tanyaku, mencoba menahan rasa frustrasi. “Setelah semua yang terjadi di dunia sebelumnya, kau pikir ini langkah yang tepat? Menyuruhku jadi siswa SMA lagi?”
> “Lingkungan ini dirancang untuk memaksimalkan pengembangan karakter Anda.”
“Aku nggak butuh pengembangan karakter!” Aku melambaikan tangan ke udara, seolah-olah itu bisa membuat suara AniGate menghilang. “Aku butuh waktu untuk pulih!”
> “Manusia sering kali menyalahartikan potensi mereka sendiri. Dengan kata lain, Anda salah.”
Aku mendengus. Percakapan ini jelas tidak akan berakhir dengan baik, jadi aku menyerah.
...****************...
Kelas itu penuh dengan suara. Diskusi, tawa, bahkan gumaman kecil. Aku memasuki ruangan dengan kepala tertunduk, berusaha agar tidak menarik perhatian. Tapi seperti biasa, guru sudah menunggu di depan kelas.
“Anak-anak, kita punya siswa baru,” kata guru itu sambil memberi isyarat padaku untuk maju.
Aku melangkah ke depan kelas, merasa seperti hewan peliharaan yang dipajang di etalase.
“Perkenalkan dirimu,” lanjutnya.
Aku menatap wajah-wajah di depanku. Beberapa terlihat ramah, yang lain tampak bosan, dan sisanya benar-benar tidak peduli.
“Namaku… Takumi Hirano,” kataku, mencoba terdengar percaya diri meski sebenarnya tidak.
Guru itu tersenyum dan menunjuk sebuah meja kosong di barisan belakang. “Kau bisa duduk di sana.”
Aku mengangguk dan berjalan menuju meja itu, merasa semua mata tertuju padaku.
...****************...
Selama beberapa jam pertama, aku hanya duduk diam di tempatku, memperhatikan sekitar. Kelas ini tampak seperti SMA pada umumnya: siswa yang sibuk dengan ponsel mereka, beberapa yang serius mencatat, dan yang lain mencoba mengobrol tanpa ketahuan guru.
Di sebelahku, seorang cowok berambut keriting tampak sibuk menggambar sesuatu di buku catatannya. Di depanku, seorang gadis dengan rambut hitam lurus sedang mencoret-coret ujung pulpennya, tampak setengah tidur.
“AniGate, ini terlihat sangat normal,” bisikku dalam hati.
> “Normalitas adalah titik awal dari perjalanan luar biasa.”
Aku tidak menjawab. Percakapan dengan sistem ini selalu terasa seperti berbicara dengan dinding.
Ketika bel istirahat berbunyi, kelas langsung berubah menjadi pasar. Semua orang berhamburan keluar, meninggalkan hanya beberapa orang di tempat mereka. Aku tetap duduk di kursiku, mencoba menyusun rencana untuk misi pertama.
> “Rei, misi pertama Anda: cari satu teman baru dalam waktu seminggu.”
Aku menghela napas. Tentu saja. Tugas sederhana yang terasa seperti mendaki gunung Everest untuk seseorang sepertiku.
...****************...
Setelah beberapa menit mengumpulkan keberanian, aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengan cowok di sebelahku. Dia masih sibuk menggambar, seolah dunia luar tidak ada.
“Hai,” sapaku pelan.
Dia menoleh, matanya menyipit seperti mencoba mengenaliku. “Apa?”
Aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Kau suka menggambar, ya?”
Dia mengangkat bahu. “Ya, terus kenapa?”
“O-oh, tidak apa-apa. Gambarmu bagus,” kataku, meski aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dia gambar.
Dia menatapku lagi, kali ini dengan alis terangkat. “Makasih, kurasa?”
Aku bisa merasakan pembicaraan ini berantakan. “Eh, namaku Takumi Hirano. Kau siapa?”
“Renjiro,” jawabnya singkat, sebelum kembali ke bukunya lagi.
Aku ingin melanjutkan percakapan, tapi otakku kosong. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku menyerah dan kembali duduk.
...****************...
Ketika jam terakhir selesai, aku memberanikan diri untuk pergi ke perpustakaan. Jika aku tidak bisa membuat teman di kelas, mungkin aku bisa menemukan seseorang yang lebih “sejalur” denganku di sana.
Perpustakaan itu sepi, dengan hanya beberapa siswa yang sibuk membaca atau mengetik di laptop mereka. Aku berjalan menuju rak buku di sudut, mencoba terlihat sibuk.
“Buku itu cukup menarik.”
Aku menoleh, terkejut mendengar suara seseorang.
Seorang gadis berdiri di sebelahku, rambut hitamnya terikat rapi, dan dia memegang sebuah buku tebal di tangannya. Dia tampak tenang, tapi matanya memandangku dengan penuh minat.
“Eh, iya, kurasa,” jawabku gugup, bahkan tanpa tahu buku mana yang dia maksud.
Dia tersenyum kecil. “Kau siswa baru, kan? Hirano, bukan?”
Aku mengangguk, merasa aneh karena dia tahu namaku.
“Namaku Haruka Minami,” katanya. “Aku baru pindah ke sini minggu lalu.”
“Oh, aku juga siswa baru,” kataku, merasa sedikit lebih santai.
“Benarkah?” Dia tersenyum lebih lebar. “Kita punya kesamaan, rupanya.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa percakapan ini tidak sepenuhnya sia-sia.
aku mampir ya 😁