Seorang wanita bernama Puteri mempunyai masa lalu yang kelam, membuatnya berubah semenjak kematian sang ayah, membuat dirinya berkamuflase. Seperti seseorang yang mempunyai dua kepribadian, plot twist dalam setiap kehidupannya membuat kisah yang semakin seru
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SangMoon88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Hai, namaku Puteri Maharani, dan mereka biasa memanggilku Puteri. Aku terlahir dari keluarga sederhana dan kami tinggal di kota Bandung.
Aku adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Adikku bernama Krisna Aditama, yang usianya 5 tahun lebih muda dariku.
Ayahku bernama Nura, dan ibuku bernama Monica. Kehidupan kami memang biasa saja. Semenjak memutuskan keluar dari rumah Oma, kami kini tinggal dirumah kontrakan kecil. Namun kami sangat bahagia walaupun kehidupan kami sangat sederhana.
********************
Kala itu, aku baru saja bekerja di sebuah perusahaan besar di kota ini. Disana aku berkenalan dengan banyak teman, dan salah satunya bernama Wulan, ia 8 tahun lebih tua dariku, dan sosok Wulan selalu mengayomiku.
Ditempat kerja, akupun mudah membaur dengan teman-teman baruku. Hingga tak terasa sudah 1 tahun berlalu.
Suatu hari teman-temanku berencana untuk berendam, refreshing ke Ciater setelah selesai bekerja. Mereka mengajaku, dan itu kali pertama aku pergi bersama teman-teman diluar pekerjaan.
Awalnya aku menolak, tetapi teh Wulan langsung turun tangan menelpon ayahku, meminta izin agar aku bisa ikut bersama mereka.
"Halo yah, ini Wulan..".
"Iya Wulan, Tumben telepon, ada apa? Apa Puteri buat masalah ditempat kerja?." Ayahku bertanya dengan sedikit keheranan.
"Enggak kok yah, Wulan telepon karena mau minta izin, untuk mengajak Puteri. Malam ini rencananya kami mau pergi berendam ke Ciater!" jelas Wulan.
Telepon tersebut tiba-tiba hening, ayah tidak segera menjawab pertanyaan Wulan, seolah tengah berpikir, kemudian beliau bertanya.
"Boleh ayah bicara dengan Puteri?"
"Ooh boleh yah, sebentar!" Wulan memberikan teleponnya kepada Puteri
" Halo yah!" Dengan sura yang sedikit gemetar.
"Teh, kamu mau ikut ke Ciater?",
" Hmm i-iya yah, itu juga kalau diizinkan sama ayah", jawabku ragu.
"Siapa aja yang ikut?? Ada cowoknya??"
Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang saat mendengar pertanyaan beliau, pasalnya ayahku tentu tidak akan mengizinkan, karena beliau begitu khawatir kepadaku, apalagi jika tahu aku pergi bersama cowok.
" A-ada yah, hmm... itu temennya teh Wulan yang bawa mobil ," jawabku lirih.
Rasanya percakapan meminta izin ini hanya akan sia-sia saja, pergi malam-malam ketempat jauh dan baru, tanpa pengawasan beliau, mustahil akan diizinkan.
"Tolong kasih teleponnya sama Wulan, ayah mau bicara!!", tanpa menjawabnya aku pun segera menyerahkan gagang telpon itu kembali kepada teh Wulan.
" Iya yah ini Wulan..", sahut Wulan begitu menerima gagang telpon dariku.
"Wulan, ayah titip Puteri yah, ayah kali ini izinkan karena Puteri pergi bersama Wulan, ayah percaya sama Wulan, Wulan bisa jagain Puteri disana, jangan macam-macam ya, hati-hati dijalan, jangan ngebut bawa mobilnya, semoga kalian selamat sampai tujuan dan kembali pula dengan keadaan selamat, kalau ada apa-apa langsung telepon atau sms ayah ya!!", cerewet ayahku yang mengizinkan, dengan amanah pada teh Wulan.
"Baik yah Wulan pasti bakal jagain Puteri dan ingat pesan-pesan ayah, terima kasih karena sudah mengizinkan Puteri ikut bersama kami , dan Wulan pastikan Puteri akan baik-baik saja dan pulang dalam keadaan selamat", jawabnya dengan senang. Kemudian telepon pun ditutup dengan salam oleh keduanya.
**************************
Sebenarnya pria yang ikut dengan kami ada 3 orang, karena si pria yang menyetir mobil mengajak kedua temannya. Kami bersembilan orang, dengan 6 wanita dan 3 pria dalam 1 mobil.
Akhirnya kami pun sampai ditempat yang kami rencanakan, yaitu salah satu tempat wisata berendam air panas belerang Ciater Subang, pada pukul 12 tengah malam.
Dikarenakan acaranya dadakan, maka aku dan kedua temanku termasuk teh Wulan tidak membawa baju ganti, alhasil kami hanya duduk-duduk bermain air dan merendamkan kaki saja, sambil mengobrol diiringi canda tawa bersama teman-teman yang lain, namun telponku terus berdering.
Jujur saja aku merasa risih karena hampir 5 menit sekali telepon itu berdering dan membuat teman-temanku yang lain mengejeku.
Aku bangkit dari pinggiran kolam menuju meja penyimpanan barang, mengambil ponselku, lalu menjauh dari mereka, untuk menerima telepon.
"Iya ada apa yah?". Jawabku sedikit berbisik.
"Kamu sudah sampai teh? Dari tadi ayah telepon kok gak diangkat-angkat!"
"Sudah yah, ini ponselnya ditas, teteh lagi ngobrol sama temen-temen, jadi gak kedengeran!" Jawab Puteri bohong, padalah dari tadi ia sudah mendengar ponselnya berdering, namun ia abaikan.
"Ya sudah, jangan terlalu lama main airnya, nanti kamu masuk angin!!
"Iya yah!!!" Kemudian aku menutup teleponnya. Dan kembali duduk bersama teman-temanku.
20 menit kemudian teleponku terus berdering lagi, aku pun segera bangkit lagi dari pinggiran kolam, menghampiri meja, dan kulihat panggilan masuk dari ayah, dari sebrang sana kulihat tawa teman-temanku yang mengejeku.
" Cie yang dari tadi di telpon nya bunyi mulu!, kenapa kagak diangkat Put?, pasti cowok nya ya!," Ledek salah seorang temanku.
"Cowok? Gak salah tuh, paling juga ayah nya yang nelponin, kan si Puteri jomblo!," Balas teman yang lain.
" Hahaha dasar anak ayah!, malam minggu aja yang telepon ayah!, yang ngapel ayah!, kerja juga dianter jemput ayah!, kamu udah gede Put, masa iya gak punya pacar, cari pacar dong!, kamu kan masih muda! Maennya kurang jauh nih hahahaha".
Seketika senyumku hilang dan menjadi murung, mendengar ucapan mereka, mungkin maksud kata-kata mereka hanya bercanda, tetapi candaan itu jelas tidak ku sukai, hingga aku begitu risih mendengar telponku yang terus berdering.
Teh Wulan yang menyadari perubahan ekspresiku, lalu mendekat dan mencoba menghiburku, ia mengatakan jika aku tidak perlu memperdulikan ledekan mereka, abaikan saja, tidak perlu dimasukan ke dalam hati.
Namun memang benar kata mereka, yang menelponku terus menerus itu adalah ayahku lagi, yang sedang khawatir dengan keadaanku disini.
Bete dan risih, itu adalah jawabanku apabila ditanya bagaimana kesan-kesanku selama berada disini. Aku tidak menikmatinya sama sekali.
********************
Sekitar pukul 3 subuh kami pun memutuskan untuk pulang, diperjalanan kami menemukan tukang bubur dan berencana ingin mengisi perut terlebih dahulu, karena kedinginan setelah berendam tadi malam.
Setelah makan kami pun melanjutkan perjalanan berkeliling-keliling sambil menunggu pagi untuk pulang ke rumah masing-masing.
Namun karena jam masih menunjukan pukul 4.30, maka kami memutuskan untuk ikut ke toilet sambil istirahat sejenak di rumah Risa, salah satu teman kami yang kebetulan dirumahnya sedang kosong.
Pria yang mengantar kami lalu melanjutkan perjalanannya setelah menurunkan kami didepan gang rumah Risa. Mungkin karena kelelahan, kamipun hanya ngobrol-ngobrol ringan sambil tiduran diatas karpet di ruang tengah rumahnya.
Tanpa terasa pagi pun tiba, aku memutuskan untuk pulang bersama teh Wulan karena kita searah.
Sesampainya dirumah, orang yang pertama membukakan pintu adalah ayahku, dengan tatapan khawatir beliau bertanya,
" Kenapa telepon ayah dari semalam gak kamu angkat teh? Ayah khawatir, kamu tuh anak gadis, gak pernah main apalagi malam-malam begitu, ketempat yang jauh pula!", ucap beliau dengan lirih.
Aku memang sengaja tidak mengangkat teleponnya lagi, setelah teman-teman meledekku.
"Sinyal jelek yah dan baterainya semalam lowbat gak ada buat charge hp nya", jawabku berbohong.
" Apa kamu sudah sarapan?", tanya ayah lagi.
" Sudah"
Kemudian ayah mengusap kepalaku dan berkata,
" Yasudah kamu istirahat dulu, kamu gak pernah begadang, jangan sampai kamu sakit!"
Aku hanya menjawab "baik yah" , Lalu pergi menuju kamarku.
Jujur saja terkadang aku benar-benar risih dengan keadaan begini, ayah memperlakukanku seperti anak kecil, padahal usiaku sudah 19 tahun, sudah seharusnya aku mempunyai pacar, diantar jemput oleh pacarku, dan malam mingguan, seperti teman-teman yang lainnya, tetapi apa? aku justru diejek oleh mereka habis-habisan karena aku jomblo dan itu membuatku kesal.
Hari itu aku habiskan dengan mengurung diri di kamar untuk merenung, begini ya rasanya, ketika kita dibully oleh orang?.
Sakit sekali dan seperti menyisakan trauma yang membekas, karena takut terjadi lagi. Ledekan mereka tidak parah memang, tapi cukup meninggalkan jejak didalam ingatanku.