"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
"Gadis lusuh seperti kamu tidak pantas berada disamping Putraku. Miskin, yatim piatu, murahan..." Mata tajamnya menatap kearah perut datar Zea, "Gugurkan kandunganmu!"
Tangan Zea memeluk perutnya sambil memilin ujung bajunya sangat erat.
"Saya melihat sendiri malam itu kamu sengaja merayu Acel yang sedang mabuk. Berani beraninya kamu memiliki benih dari seorang Akash Ceilo Sandrio pewaris Sky Grup?!"
Wanita itu menatap jijik pada Zea yang mencoba menahan diri untuk tidak menjelaskan bahwa tuduhan ibu dari pria yang sangat dia cintai itu tidaklah sepenuhnya benar.
"Acel belum tahu tentang kehamilan kamu, bukan?"
"Be-belum, Tante."
"Bagus. Sebaiknya Acel tidak tahu tentang ini sampai akhir. Jadi, singkirkan kandungan haram kamu itu."
"Maaf, Tante. Saya akan menjauhi anak Tante dan saya berjanji tidak akan muncul lagi dalam kehidupan anak Tante. Namun, saya tidak akan pernah membunuh bayi ini!"
"Berani kamu berteriak membantah seperti itu pada saya?"
Plakkk
Tangan ringan Alia mendarat di wajah pucat Zea. Dia geram karena Zea tidak mau membuang bayi yang menurutnya tidak pantas lahir kedunia.
"Lenyapkan bayi itu, atau saya akan membuat hidupmu seperti dineraka?!"
"Sampai mati sekalipun, saya akan tetap melindungi bayi ini!"
Dua wanita beda usia yang terpaut jauh itu sama sama tidak mau mengalah. Mereka sama sama keras dan berjuang demi anak mereka.
"Kamu mau melawan saya? jangan salahkan saya atas apa yang akan kamu lalui dalam hidupmu!" ancamnya sebelum akhirnya dia pergi begitu saja seakan telah menyerah pada Zea.
Huh!
Zea terduduk lemah di kursi cafe sambil mengelus perutnya yang masih datar, kehamilannya baru berusia lima minggu. "Mama akan melindungi kamu, nak. Tidak apa, Papa tidak pernah tahu kehadiran kamu, karena kita bisa bertahan tanpa Papa." bisiknya pada calon bayi nya.
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuan Alia dengan Zea. Sejak hari itu, Zea menghilang tanpa kabar dan jejak sedikit pun. Acel yang tadinya mengira kekasihnya mungkin sedang sibuk dengan tugas kuliahnya sebagai mahasiswa tahun terakhir kebidanan, mulai merasa khawatir karena tidak bisa menghubungi sang kekasih sama sekali.
"Lui, cari Zea sampai ketemu. Saya tidak bisa mencarinya sekarang karena harus segera menghadiri rapat penting."
"Baik, Tuan muda."
Lui bergegas pergi mencari keberadaan Zea, dimulai dari asrama putri tempat dia tinggal selama ini, lalu kampus, panti asuhan dan bertanya pada teman temannya, namun tidak ada hasilnya sama sekali. Tidak satu pun dari mereka yang mengetahui keberadaan Zea, sampai akhirnya Lui bertemu dengan seseorang yang mengaku teman satu kamar diasrama putri tempat Zea tinggal.
"Zea sudah tidak kuliah lagi, mas. Dia hamil."
"Apa?! Kamu jangan asal menuduh..."
"Saya tidak asal menuduh, mas. Zea sendiri yang mengatakan kalau dia hamil dan dia berhenti kuliah karena akan menikah dengan lelaki yang menghamilinya."
"Siapa lelaki yang menghamilinya?!" Selidik Lui penasaran meski dia tidak sepenuhnya percaya pada cerita gadis itu.
"Pacarnya lah, si Rudi."
Mata Lui melotot kala nama itu disebutkan sebagai pacar Zea. Lui maupun Acel mengenal Rudi sebagai kakak angkat bagi Zea. Setidaknya begitulah pengakuan Zea selama ini, namun setelah mendengar cerita barusan Lui seakan mendapat kilas balik dari setiap interaksi Rudi dan Zea selama ini yang memang terlihat seperti pasangan kekasih dibanding kakak adik.
Tanpa pikir panjang, Lui mencari Rudi bermaksud mencari tahu kebenaran dari cerita yang tidak sepenuhnya dia percayai, namun sayang Lui tidak bisa menemukan keberadaan Rudi sama sekali. Dengan keberadaan dua orang itu yang tidak diketahui, memperkuat dugaan bahwa cerita itu benar adanya.
Lui pun segera menemui Acel dan menceritakan cerita itu pada tuan muda Acel yang memperlihatkan reaksi diluar dugaan. Lui kira Acel akan marah, mengamuk atau mencaci maki Zea atau bahkan mungkin memerintahkan untuk mencari dua orang itu sampai ketemu. Justru sebaliknya, dia hanya diam saja selama beberapa menit, lalu mengatakan satu kalimat yang membuat semuanya menjadi seakan tidak pernah terjadi apa apa.
"Mulai saat ini, jangan ada yang membahas atau mengungkit masalah ini selamanya."
.
.
.
(9 bulan kemudian)
Suara rintihan tertahan menggema memenuhi setiap sudut salah satu kamar kecil di rumah kos kosan itu. Ruangan itu pengap dengan cahaya remang, tidak ada udara dan cahaya yang dapat masuk karena pemilik kamar sengaja menutupi semua jendela kaca dan gorden untuk melindungi dirinya yang sedang berjuang antara hidup dan mati demi melahirkan buah hati pertamanya.
"Mmmppphhh... akh..."
Tangannya menarik erat kedua kakinya menekan kearah perutnya agar memperbesar jalan keluar bayinya, "Mmmph... Bunda... sakit..."
Sudah hampir seharian Zea berjuang untuk melahirkan bayinya, tapi belum juga kunjung selesai. Pembukaannya sudah hampir sempurna, rasa sakit karena desakan bayi yang akan lahir pun semakin menyiksanya. Disaat seperti ini hanya bunda yang teringat olehnya. Andai Ibu nya masih ada di dunia ini, tentu rasa sakit yang dialaminya saat ini tidak akan sesakit ini.
"Akhgrrr... mmmppphhh..."
Zea mengejan untuk terakhir kalinya dan akhirnya bayi mungilnya lahir. Air mata menetes kala dia menatap wajah mungil itu tepat di bawahnya.
"Anakku!" Tangannya yang masih gemetar itu menyentuh tubuh mungil dengan mata berbinar indah, namun bayinya tidak bergerak dan juga tidak menangis seperti seharusnya.
"Gak... anakku..."
Zea memeluknya erat mencoba menghangatkan tubuh mungil itu.
"Sayangku, anakku..."
Dia teringat mengambil gunting yang memang telah dia siapkan untuk memotong tali pusar. Beruntungnya dulu Zea pernah kuliah kebidanan dan dia tahu betul apa apa yang perlu dipersiapkan untuk proses melahirkan.
"Anakku, menangis sayang... ini Mama, nak..." tubuh mungil itu dia selimuti dengan kain bedongnya yang juga sudah dia siapkan sebelumnya.
Bayi itu tetap tidak menunjukkan reaksi apapun. Mata yang tadi berbinar indah itupun mulai menutup sempurna. Perlahan detak jantung dan napas bayinya melambat hingga tak lagi dapat dia rasakan, tentu saja karena bayinya memilih kembali ke surga dibanding harus menemani sang Ibu menjalani kehidupan yang keras dan menakutkan di dunia ini.
Zea yang sudah tahu bayinya tidak selamat pun menciumi berulang kali seluruh tubuh mungil itu sambil terisak. Hanya pelukan hangat yang terus dia berikan pada bayinya dengan penuh rasa bersalah.
"Maafkan Mama, sayang. Maafkan Mama, nak... harusnya Mama melahirkan kamu di rumah sakit."
Zea tentu punya alasan mengapa dia memilih melahirkan bayinya sendirian di kamar kosnya. Dia tidak punya uang untuk melahirkan di rumah sakit, untuk makan saja susah apalagi untuk membayar biaya persalinan.
Sejak awal kehamilan, Zea bekerja keras tanpa henti demi mendapatkan makanan yang cukup gizi untuk bayinya. Dia benar benar hidup sendirian di kota ini, tidak ada sanak saudara juga teman. Zea bahkan tidak pandai berbicara dalam bahasa di Negara asing ini. Dia berada di kota Hoi An Negara Vietnam.
"Anakku, maafkan Mama nak..."
Zea terus menangis tanpa henti sampai seseorang yang melewati kamar kosnya mendengar tangisannya. Wanita itu mengetuk berulang kali pintu kamar kos Zea yang membuat Zea bergerak perlahan menarik tubuhnya yang masih lemah setelah melahirkan itu untuk membuka pintu kamarnya.
"Help my baby... my baby... help please..."
"Oh my God?!" Wanita itu terkejut melihat keadaan Zea yang berdarah darah.
Wanita itu terus berceloteh dengan bahasanya sendiri yang tidak banyak dimengerti oleh Zea, sedikit yang dia pahami wanita itu sepertinya mencoba membantunya.