Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kapten Tua Penjaga Lift
...Sintia...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Habis kena cupang di leher, ya, Mbak?"
Mata ini seketika melebar, perlahan-lahan berbalik arah menuju kakek tua yang berdiri di samping gue.
Dia lagi menekan tombol naik yang ada di panel lift, sesekali mencuri pandang sambil menunjuk ke leher gue. "Kalau bukan, itu pasti tanda lahir, ya?"
Tanpa sadar tangan gue menyentuh tanda lahir yang sebesar koin yang berada tepat di bawah daun telinga.
“Dulu, Ibu saya pernah bilang, letak tanda lahir itu kasih tahu kita gimana seseorang bisa mati di kehidupannya yang dulu. Kayaknya, dulu Mbaknya pernah mati ditusuk di leher, deh.”
Gue tersenyum tapi enggak bisa memutuskan, apakah gue harus takut atau terhibur.
Meskipun kakek ini agak menyeramkan, tapi jelas dia enggak mungkin berbahaya. Postur tubuhnya membungkuk dan jalannya yang goyang-goyang bikin gue yakin kalau dia mungkin sudah lebih dari delapan puluh tahun.
Dia melangkah ke salah satu kursi beludru merah yang ada di dinding sebelah lift. Mengeluh saat duduk di kursi itu dan kemudian memperhatikan gue lagi. “Mbaknya mau naik ke lantai delapan belas?”
Mata gue mendadak sipit saat mencoba mencerna pertanyaannya. Entah bagaimana caranya dia bisa tahu kalau gue mau ke lantai itu. Padahal, ini pertama kalinya gue ke apartemen ini, dan pertama kalinya juga ketemu sama makhluk aneh ini.
“Iya, Pak, eh Om, ... Kek,” kata gue dengan hati-hati. "Apa Kakek kerja di sini?”
“Iya.” Dia mengangguk ke arah lift, dan mata gue beralih ke angka-angka yang menyala di atas. Masih ada sebelas lantai lagi sebelum pintu lift benar-benar terbuka.
“Saya tukang tekan tombol lift,” tegasnya. “Enggak ada jabatan resmi buat posisi saya, tapi saya suka sebut diri saya Kapten penerbangan. Karena setiap hari suka nganterin orang sampai dua puluh lantai ke atas.”
Gue tertawa mendengar kata-katanya, karena Abang dan Bokap gue sama-sama pilot. “Udah berapa lama Kakek jadi Kapten penerbangan lift ini?” tanya gue sambil menunggu.
Rasanya ini lift paling lambat yang pernah gue temui.
“Sejak saya pensiun buat ngerawat gedung ini. Saya kerja di sini sudah 32 tahun sebelum jadi kapten. Sekarang udah lebih dari 15 tahun saya nganterin orang ke atas. Pemilik gedung ngasih saya kerjaan ini karena kasihan, biar saya tetap sibuk sampai saya mati.” Kakek itu senyum-senyum sendiri. “Tapi dia enggak tahu kalau tuhan masih kasih saya banyak hal hebat yang harus saya capai dalam hidup ini, dan sekarang, saya sudah jauh tertinggal, jadi saya enggak akan mati gitu aja.”
Gue ketawa lega saat pintu lift akhirnya terbuka. Buru-buru gue ambil pegangan koper dan menoleh ke kakek itu sekali lagi. “Nama Kakek siapa?”
“Kaptoyo, tapi panggil saja saya Kapten,” katanya. “Semua orang yang ada di apartemen ini juga manggil saya gitu.”
“Kakek... Kapten punya tanda lahir juga?”
Dia tersenyum lebar. “Sebetulnya ada. Ternyata di kehidupan masa lalu saya, saya ditembak tepat di pantat. Mungkin dulu saya mati karena kehabisan darah.”
Gue menahan tawa dan menaruh tangan di dahi, memberi hormat ala awak penerbangan kepada sang Kapten dengan layak.
Gue berbalik menghadap pintu lift yang terbuka. Sebenarnya gue sedikit heran dengan kemewahan lobi ini. Tempat ini lebih mirip hotel berbintang ketimbang apartemen, dengan patung-patung besar dan lantai marmer.
Waktu Amio bilang gue boleh tinggal bersamanya sampai gue dapat pekerjaan, gue enggak menyangka dia hidup layaknya orang dewasa benaran. Gue kira akan mirip seperti kunjungan terakhir gue, setelah lulus SMA, waktu dia masih baru mulai mengurus lisensi pilotnya.
Itu sudah empat tahun lalu dan kompleksnya dua lantai kayak kurang meyakinkan. Itu yang gue kira jadi cikal bakal gue buat tinggal. Ini di luar dugaan, bakal tinggal di gedung tinggi di tengah pusat kota Jakarta.
Gue menemukan panel dan menekan tombol untuk lantai delapan belas, lalu melihat ke dinding kaca lift yang memantulkan penampakan tubuh gue.
Pagi ini gue habiskan waktu untuk mengemasi semua barang-barang dari kontrakan gue di Surabaya. Untungnya, gue enggak punya banyak barang. Tapi setelah menyetir sendirian sejauh seribu kilometer dalam dua hari ini, kelelahan gue jelas banget kelihatan di cermin.
Rambut gue diikat longgar di atas kepala, dikonde dengan pensil, karena enggak sempat menemukan pengikat rambut selama menyetir. Biasanya mata gue sama coklatnya dengan rambut hazelnut gue, tapi sekarang tampak sepuluh kali lebih gelap, berkat kantong mata gue.
Gue merogoh tas selempang untuk cari Lipstick, berharap bisa memperbaiki warna bibir sebelum gue terlihat kering seperti kakek-kakek tadi.
Begitu pintu lift mulai menutup, tiba-tiba terbuka lagi. Seorang pria sedang berlari menuju lift tempat gue berdiri, siap masuk sambil mengangguk ke arah Kapten yang berjaga di sebelah. “Terima kasih, Kapten,” katanya.
Gue enggak bisa lihat Kapten dari dalam lift ini, tapi gue dengar dia membalas dengan suara menggerutu.
Pria ini kelihatannya baru berusia dua puluhan. Dia tersenyum ke arah gue, dan gue tahu persis apa yang ada di pikirannya, mengingat dia baru saja menyelipkan tangan kirinya ke saku.
Tangan yang ada cincin kawinnya.
“Lantai sepuluh,” katanya tanpa melepaskan tatapannya. Matanya jatuh sedikit ke belahan dada yang terlihat dari baju gue, lalu dia melihat koper di samping gue. Gue tekan tombol untuk lantai sepuluh. Gue sedikit menyesal sama outfit yang gue pakai, seharusnya gue pakai sweeter atau hoodie.
“Lagi pindahan?” tanyanya, jelas-jelas menatap baju gue lagi.
Gue mengangguk, meskipun gue ragu kalau dia bakal memperhatikannya, mengingat tatapannya enggak pernah ke wajah gue.
“Lantai berapa?” tanya pria itu.
Oh, tidak.
Gue beralih posisi dan menutupi semua tombol di panel dengan tangan gue untuk menyembunyikan tombol lantai delapan belas yang menyala, lalu gue tekan semua tombol antara lantai sepuluh dan delapan belas. Jangan sampai pria cabul ini tahu kamar apartemen yang bakal gue tinggali.
Dia melirik ke panel, bingung.
“Bukan urusan lo,” kata gue.
Dia tertawa. Dia kira gue bercanda. Dia mengangkat alis hitam tebalnya. Alisnya bagus. Tersambung dengan wajah yang cakep, menempel pada kepala yang sedikit kotak, tertaut dengan badan yang atletis. Tapi badan itu, badan yang sudah terjamah, sudah menikah.
Sial.
Dia tersenyum, menggoda setelah melihat gue memperhatikannya, padahal sebenarnya gue enggak memperhatikan dia seperti yang dia kira. Di kepala gue, gue cuma penasaran sudah berapa kali tubuh itu melekat pada tubuh gadis lain yang bukan istrinya. Gue kasihan sama istrinya.
Dia kembali melihat belahan dada gue saat kami sampai di lantai sepuluh. “Gue bisa bantu bawain koper lo,” katanya, sambil menunjuk koper gue.
Suaranya keren. Gue penasaran, berapa banyak gadis yang jadi korban karena suara itu. Dia mendekat dan berani menekan tombol untuk menutup pintu lift.
Gue menatapnya dan menekan tombol untuk membuka lagi pintu. “Gue bisa sendiri.”
Dia mengangguk seolah memahami, tapi masih ada kilatan jahanam di matanya yang bikin gue takut.
Dia keluar dari lift dan berbalik menghadap gue sebelum pergi.
“Sampai ketemu lagi nanti, ya, Tia,” katanya, tepat saat pintu menutup.
Gue cemberut, merasa enggak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi. Ada dua orang yang baru gue temui di gedung apartemen ini, dan mereka sudah tahu nama dan tujuan gue.
Gila.
Gue sendirian di lift saat berhenti di setiap lantai sampai akhirnya tiba di lantai delapan belas.
Gue keluar, ambil HP dari saku, dan nge-chat Amio. Gue enggak ingat nomor apartemen mana yang dia bilang.
Mungkinkah 1806 atau 1804.
Mungkin 1816?
Gue berhenti di 1804, karena ada seorang pria tergeletak di lantai koridor, bersandar di pintu 1806.
Tolong, Amio, jangan 1806.
Gue mencari pesan di percakapan gue sama Amio.
Sial, ternyata benar, 1806.
Gue berjalan pelan ke arah pintu, berharap gue enggak membangunkan pria itu. Kakinya berserakan di depannya, dan dia bersandar di pintu apartemen Amio. Dagunya menempel di dada dan dia mendengkur.
“Permisi,” kata gue, suara gue hanya sedikit lebih keras dari suara angin.
Dia sama sekali enggak bergerak.
Gue mengangkat kaki dan menyentuh bahunya dengan kaki gue.
“Hei, gue harus masuk ke apartemen ini.”
Dia bergerak sedikit, lalu perlahan membuka matanya dan menatap langsung ke kaki gue.
hingga menciptakan kedamaiannya kembali...
meski rasa takut itu masih terasa