Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1. Prolog
Selama hidupnya, Aruna tak pernah berpikir jika Ia akan menjadi seorang Istri kedua. Meski sudah mendapat restu dari mertua dan Istri pertama, namun tetap saja poligami itu menuntut suami harus bersikap adil terhadap kedua istrinya. Sementara itu, Aruna merasakan bahwa Ia tak memiliki perasaan cinta terhadap Aryan, dan Aryan pun begitu. Keduanya menikah tanpa cinta, dan hanya sebuah keterpaksaan semata.
Bagi Isma, Ibu dari Aruna, menerima lamaran keluarga Aryan semata-mata untuk membuat Aruna melupakan masa lalunya yang sudah tiada. Selama 1 tahun ini, Aruna selalu murung dan tak bersemangat hidup karena Athar, sang pujaan hatinya meninggal akibat kecelakaan tepat setelah mereka bertunangan. Hati yang hancur berantakan itu tak bisa sembuh hanya dalam waktu 1 tahun saja.
Di sisi lain, alasan Sundari, Ibu dari Aryan melamar Aruna sebagai menantu keduanya hanya karena Gita, istri pertama Aryan yang tak kunjung mengandung. Pernikahan mereka sudah berjalan selama 5 tahun, dan Gita belum diberikan amanah menjadi seorang ibu.
Pada awalnya mungkin kejadian ini hanya kebetulan, dan Aryan pikir ibunya bercanda akan mencarikan dirinya Istri kedua agar segera memiliki keturunan. Jauh sebelum pernikahan kedua Aryan terjadi, Gita sempat tertekan karena ucapan Sundari yang selalu menekan dirinya agar memiliki keturunan dalam waktu yang cepat.
"Mas.. kalau memang aku belum bisa hamil, mas boleh poligami. Aku ridha, Mas." Ujar Gita ketika keduanya tengah duduk berdua di teras rumah malam hari. Rasa sesak di dadanya semakin membuatnya sulit bernafas kala mengungkapkan saran tersebut.
"Kamu ngomong apa sih? Kita bisa usaha lagi. Kan kata dokter kamu gak mandul. Hanya ada masalah aja, dan kamu ada kesempatan untuk hamil. Jangan dengar ucapan Ibu. Kita lewati ini sama-sama ya!" Respons Aryan segera meraih tangan sang istri untuk menenangkan.
"Tapi Mas. Kata Ibu, kalau kamu belum punya anak, kamu gak akan dapat warisan perusahaan."
"Tapi aku gak mau punya anak dari wanita lain. Istri aku itu kamu. Aku udah janji akan selalu di samping kamu, Gita."
"Tapi Mas..."
"Gita benar Aryan. Kenapa kamu gak poligami aja? Gita udah kasih restu, kan?" Tiba-tiba terdengar suara Sundari yang ternyata sudah berada di ambang pintu. Sontak saja pasangan suami istri itu menoleh bersamaan dengan berbeda ekspresi.
"Apa sih Bu? Buat apa aku poligami? Punya Gita aja udah cukup." Sahut Aryan memprotes celotehan Sundari.
"Kalian itu udah 5 tahun menikah, tapi Gita belum juga hamil. Ibu juga mau gendong cucu. Lagian kalau istri udah ridha suaminya poligami, ya gapapa." Mendengar hal itu, Gita hanya tersenyum getir. Meski Ia mengatakan ridha, namun istri mana yang rela melihat suaminya menikah lagi dengan perempuan lain.
"Kalau itu jalan satu-satunya Bu. Untuk calonnya, Ibu saja yang carikan. Asalkan yang bisa melayani Mas Aryan dengan baik." Tutur Gita kembali membuat Aryan menggeleng cepat.
"Kamu sama Ibu kenapa sih?" Protesnya beranjak lalu masuk ke dalam rumah tanpa ingin menoleh ke belakang. Aryan memilih mendinginkan kepalanya sendirian dari pada harus terus berdebat dengan Istri dan Ibunya.
...----------------...
"Ma... Aku belum mau menikah." Protes Aruna setelah waktu berlalu dan keputusan perjodohannya sudah disepakati.
"Apa karena Athar? Aruna, Athar sudah meninggal 1 tahun yang lalu. Lupakanlah Nak! Kamu berhak melanjutkan hidup yang lebih baik."
"Apa selama ini aku kurang baik, Ma? Mas Athar terlalu sulit untuk aku lupakan. Gak ada rekam jejak yang mengharuskan aku lupa sama dia, Ma. Setelah aku benar-benar sembuh, dan setelah aku ikhlas, aku akan menikah. Aku yang memilih calonnya." Responsnya demikian. Ia susah tak bisa menahan kesabarannya atas keegoisan sang Ibu yang mengambil keputusan sendiri dengan dalih ingin melihatnya bahagia.
"Tapi sampai kapan? Kamu sudah 27 tahun sekarang. Sudah waktunya memiliki suami." Mendengar ucapan Isma kali ini, Aruna hanya menghela nafas dalam lalu mengangguk pelan dan menatap sang Ibu lebih dalam.
"Baik Ma. Kalau memang mau Mama aku menikah dengan orang yang Mama maksud. Tapi kalau seandainya nanti aku dan suamiku ada masalah dan memutuskan berpisah, jangan Mama marahi aku." Ujarnya kemudian beranjak dari tempatnya dan meninggalkan Isma begitu saja.
"Ayah... andai saja Ayah masih ada, mungkin Ayah akan membela aku. Ayah gak mungkin paksa aku untuk nikah." Batinnya seraya meraih gambar diri seorang lelaki yang berusia sekitar 50 tahunan. Aruna memeluknya lalu meletakkan kembali ke tempat semula.
...----------------...
Waktu berlalu, dan hari pernikahan pun tiba. Acara sederhana yang hanya dihadiri keluarga pun berjalan sesuai rencana. Meski ijab qabul sudah selesai terucap, keduanya tak seperti pengantin pada umumnya. Aryan terlihat sendu kala melirik ke arah Sundari yang terlihat sumringah. Begitupun dengan Aruna yang memilih menghindar karena Ia tak mau terlibat dalam obrolan apapun bersama orang-orang. Walau pun tanpa cinta, namun hatinya terasa teriris melihat Aryan yang tengah menghubungi seseorang dengan air mata yang berderai seiring ucapan yang terlontar.
"Sayang... Mas pulang sekarang ya!" Ujarnya yang terdengar oleh Aruna sendiri. Sejenak Ia bertanya-tanya sebenarnya atas dasar apa perjodohan ini? Bukankah Aryan sudah beristri, dan mereka sudah menikah lama. Setahunya Istri tua Aryan memiliki paras yang cantik dan berakhlak baik.
"Sebenarnya apa yang mereka cari? Kebahagiaan sudah di depan mata, malah membawaku dalam sebuah ikatan tak berarti." Batin Aruna memilih memasuki kamarnya karena Ia merasa acara sudah selesai meskipun di luar kamar masih banyak tamu.
...----------------...
Malamnya, jelas terlihat keduanya yang tak memiliki perasaan apapun sama sekali. Aryan memilih tidur di sofa sementara Aruna sudah terlelap di tempat tidur. Aryan tak bisa memejamkan matanya padahal esok hari harus bersiap untuk pindah ke rumah yang sudah Sundari siapkan untuk mereka. Di benaknya, Aryan terus memikirkan Gita yang mungkin merasa terpukul atas apa yang terjadi. Ia sendiri tak bisa menolak keinginan sang Ibu yang terlampau egois dan serakah. Hanya karena warisan dengan syarat memiliki keturunan, Ia harus menerima perjodohan dengan wanita yang tak Ia cinta. Jelas saja cintanya hanya untuk Gita yang merupakan istri yang sudah menemaninya selama 5 tahun ini. Mungkin hatinya merasa hampa karena belum juga memiliki seorang anak, namun bukankah anak adalah titipan? Dan kita tak bisa memaksakan kehendak jika belum mendapatkan kepercayaan sang Pencipta.
Di waktu yang sama, Gita memilih untuk tidur setelah seharian Ia menangisi hari pernikahan suaminya. Ia sengaja tak menghadiri acara tersebut karena tak ingin membuat hatinya lebih hancur. Meski setiap hari mengatakan tidak apa-apa ketika Aryan bertanya Ia boleh menikah, namun nyatanya hatinya tak siap berbagi cinta dengan madunya.
"Andai aja Ibu bisa bersabar, aku juga bukan gak berusaha, Mas. Kita sudah berusaha, kan?" Lirihnya memecah kesunyian suasana malam diiringi isak tangis yang memilukan.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..