NovelToon NovelToon
Tergila-gila Padamu

Tergila-gila Padamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: dochi_19

Benarkah mereka saling tergila-tergila satu sama lain?

Safira Halim, gadis kaya raya yang selalu mendambakan kehidupan orang biasa. Ia sangat menggilai kekasihnya- Gavin. Pujaan hati semua orang. Dan ia selalu percaya pria itu juga sama sepertinya.

...

Cerita ini murni imajinasiku aja. Kalau ada kesamaan nama, tempat, atau cerita, aku minta maaf. Kalau isinya sangat tidak masuk akal, harap maklum. Nikmati aja ya temen-temen

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dochi_19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Prolog

Dua tahun yang lalu

Gadis bersurai hitam itu keluar dari Audi A8 hitam yang membawanya, begitu seorang petugas valet membukakan pintu mobilnya. Dia berjalan menuju lift dari area parkir VIP itu. Di dalam lift, ia mematut diri dari bayangan pintu dengan perasaan tidak tenang, penampilannya sudah sempurna— dalam balutan midi dress viscose Kiton warna putih. Antara bingung juga senang. Orang tuanya tiba-tiba saja mengajak makan malam tanpa memberitahu tujuannya, tapi ada yang membuatnya bahagia, pujaan hatinya juga akan ada di sana. Pintu berdenting terbuka.

"Nona Safira, benar?" Tanya petugas yang menunggu di depan pintu besar menuju ruangan private.

"Iya."

Pintu pun didorong. Lalu nampak Pak Rudi di sana.

"Nona Safira sudah datang." Petugas itu berkata pada Pak Rudi— sekretaris Ayahnya.

"Silakan, Nona." Pak Rudi membawanya untuk masuk lebih dalam lagi.

...

Di sana sudah ada semuanya. Ibu dan Ayahnya. Gavin dan kedua orang tuanya juga ada duduk di depan meja makan berukuran besar.

"Ayo duduk Safira!"

Safira mengikuti perintah Ayahnya. Dia duduk di sebelah Ibunya dan berseberangan dengan Gavin.

"Sebaiknya kita menikmati hidangannya dulu sebelum memulai pembicaraannya." Papanya Gavin menjadi pembuka acara.

"Ya, kita menyantap hidangan saja dulu." Ayahnya Safira mengangguk setuju.

Karena dua kepala keluarga sudah setuju, maka sebagai anggota yang lain hanya mengikuti saja. Enam orang pelayan wanita datang mendorong hidangan makanan mereka lalu mulai menatanya. Safira menerima steak yang sudah disiapkan untuknya.

"Safira sepertinya steak kita tertukar. Kamu tidak seharusnya mendapat bagian rib eye." Gavin berkata untuk menghentikan Safira yang hendak memotong dagingnya.

"Ah, masa, sih?" Safira bingung lalu melirik piring Gavin. Baginya tampak sama saja.

"Coba mama lihat. Ah iya, gimana sih, ko bisa salah? Gavin kamu tukeran sama Safira, ya." Mamanya Gavin khawatir lalu membantu menukar piring.

"Maaf bu, saya tidak tahu. Saya pikir ini sama saja." Pelayan yang sebelumnya menata makanan Safira itu membungkuk.

"Ko sama saja? Kan jelas-jelas bentuk dan teksturnya berbeda. Nanti saya bicara sama manajer kalian. Mempekerjakan pelayan tidak profesional. Buruk sekali," omel Mamanya Gavin kesal.

"Maafkan junior saya, Tuan, Nyonya. Dia baru masuk bekerja hari ini." Salah satu dari mereka membungkuk membantu temannya.

"Pantas saja tidak becus. Lain kali jangan pakai pelayan baru untuk acara penting," gerutu Mamanya Gavin masih kesal.

"Sudahlah tidak perlu diperpanjang lagi, hari ini kita bertemu bukan untuk mendebatkan makanan." Ibunya Safira menengahi.

"Terima kasih, Nyonya." Kedua pelayan itu pun keluar dari ruangan. Disusul empat lainnya.

Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Safira memakan steak-nya lalu melirik Gavin yang juga menatap ke arahnya. Laki-laki itu seolah bertanya 'apa kamu baik-baik saja?' dan Safira mengangguk.

Tidak lama setelah makanan penutup selesai disantap, Papanya Gavin memulai perbincangan.

"Sepertinya kita tidak perlu berbasa-basi lagi, ya." Matanya melirik semua orang di sana. "Sebenarnya tujuan makan malam ini saya ingin melamar putri pak Ivan Halim untuk anak saya Gavin Prayudha."

Safira terkejut. Bukan tidak senang, ia hanya tak percaya akan secepat ini dan juga sepertinya hanya dirinya yang belum tahu. Karena semua orang di sini tidak menunjukkan kekagetan yang sama.

"Bagaimana Safira? Apa kamu bersedia menerima Gavin?" Tanya Papa Gavin.

"Safira pasti setuju. Hanya untuk waktu pertunangan biar dia saja yang memutuskan." Ayahnya yang menjawab.

"Safira kamu ingin melakukan pertunangan itu kapan?" Ibunya kini bertanya.

"Kalau om Reksa dan keluarga tidak keberatan, Safira ingin mengadakan acaranya pas ulang tahun yang ke-17." Meskipun dia masih terkejut dengan situasi saat ini, tapi ia tidak boleh membuat yang lain menunggu jawaban.

"Bagus sekali sayang, sekalian kita adakan pesta saja," ujar Mama Gavin penuh antusias.

"Padahal sudah mau bangkrut tapi masih memikirkan pesta," sindir Ibunya Safira.

"Stella!" Ayahnya memberi peringatan.

"Maaf, anggap saja aku tidak mengatakan apapun." Ibunya Safira berkata pelan dan berekspresi datar.

"Iya, tidak apa-apa mbak," ucap Mama Gavin.

Safira melirik Gavin. Ia tidak ingin lelaki itu membenci Ibunya. Tapi Gavin tersenyum padanya. Ia pun lega.

"Aku juga setuju kalau ada pesta tante. Sekalian undang semua kerabat dan juga teman-teman kak Gavin." Safira mengutarakan persetujuannya.

"Karena ini acara Safira dan Gavin, biarkan mereka memutuskan acaranya sendiri saja. Kita sebagai orang tua cukup mengawasi dan menyempurnakan." Papa Gavin menyampaikan saran bijaknya.

"Ya, lebih baik seperti itu saja. Dan untuk besok, atur saja pertemuan dengan kakak saya. Selebihnya kita bahas bersama nanti," ujar Ayahnya Safira.

Kakak ayahnya berarti direktur Bank Swasta keluarga Halim. Ternyata benar apa yang diucapkan Ibunya. Safira bergumul dengan pikirannya sendiri.

.

.

"Kamu yakin belum mau pulang?" Gavin bertanya seraya menyampirkan jaketnya pada pundak Safira.

"Ya. Aku masih suka di sini." Safira menjawab sambil mengeratkan jaket itu.

Tidak ada yang berbicara lagi setelahnya. Hanya ada kebisuan dan belaian angin malam yang semakin dingin.

Safira melirik dari samping. Karena kebingungannya malam ini ia lupa memuji sang pujaan hati. Dengan balutan jaket Kiton warna putih— hadiah dari-nya tahun lalu— menampilkan sosok lelaki itu menjadi lebih tampan. Dan ia pun terpikat lagi. Sekarang pipinya terasa panas.

"Safira maaf, sebenarnya aku ingin melamarmu bukan dalam situasi seperti ini. Tapi Papa—"

"Aku tahu. Aku percaya sama kak Gavin. Untuk masalah orang tua kita biar mereka saja yang mengurusnya."

"Terima kasih. Aku sayang kamu."

"Aku juga sayang kak Gavin."

Gavin mengambil tangan Safira lalu menggenggamnya.

"Ayo aku antar kamu pulang. Tidak baik berlama-lama di luar."

Tapi Safira tak bergeming sedikit pun.

"Ini adalah gedung hotel dengan lantai tertinggi. Kita bisa melihat lampu-lampu kota dari sini. Langit juga kelihatan lebih dekat."

"Jadi kamu ingin acaranya diadakan di sini?"

"Bagaimana kakak bisa tahu?"

"Terlihat jelas dari kalimatmu itu."

"Hahaha. Kamu memang hebat."

Setelah itu hening kembali menyelimuti keduanya.

"Aku ada satu permintaan."

"Apa itu?"

"Aku ingin pergi sekolah seperti orang lain, apa bisa?"

"Tapi kondisimu kan—"

"Aku tahu. Aku hanya ingin mencoba hidup normal sekali saja."

"Baiklah, aku akan mencoba bicara pada Ayahmu."

"Yeay, makasih."

"Tentu, ayo kita pulang!"

"Ayo!"

.

.

Empat tahun yang lalu

"Katty, kemari!"

Seekor kucing persia berbulu abu datang menghampiri Safira. Kucing itu bermanja ria di kaki sang pemiliknya. Safira lantas memangku lalu mengelus kucing kesayangannya itu.

Si kucing tampak nyaman berada dalam pangkuan Safira.

"Safira kamu main di sini juga?" Seseorang menyapa Safira.

"Eh, Gita! Aku ngajak main Katty di taman ini."

Gita adalah putri teman Ibunya.

"Oh, kalau gitu mending Katty main sama Louis." Gita memangku kucing berbulu putih.

"Boleh."

Kedua kucing itu pun diturunkan oleh pemiliknya. Safira dan Gita bercengkrama di bangku taman sementara kucing mereka berlarian bersama.

Tiba-tiba saja Katty dan Louis saling mengeong layaknya bermusuhan. Keduanya pun lantas berlari saling kejaran.

"Tidak, Katty!" Teriak Safira lalu mengejar kucingnya.

"Mereka kenapa sih?" Tanya Gita yang juga menyusul Safira berlari.

"Aku tidak tahu."

Gita berlari mendahului Safira yang tidak bisa berlari kencang. Kedua kucing itu terus berlarian hingga ke jalan raya. Louis berhasil menyeberang dengan selamat dan saat Katty hendak menyusul, sebuah mobil berkecepatan tinggi melaju. Safira ingin menyelamatkan Katty– kucingnya.

"Katty!"

"Safira, awas!"

Tiinnn

Krekk

Seharusnya sekarang Safira merasakan badan mobil menghantamnya dengan keras. Seharusnya sekarang ia terkapar di aspal dan merasakan kebas di seluruh tubuhnya. Tapi ia malah berdiri dan seseorang memeluknya.

Orang itu melepaskan pelukannya lalu berteriak, "kamu itu gila, ya?!"

Safira tidak menjawab dan malah menangis.

"Heh, kamu hampir mati dan sekarang menangis. Punya otak gak sih?!" Laki-laki itu berteriak kesal.

Safira menangis semakin kencang.

"Memangnya kamu punya nyawa 10?!"

"S-sekarang a-aku sendirian." Safira berkata sambil sesegukan.

"Maksudnya?"

"K-katty meninggal."

Sekarang laki-laki itu mulai paham sambil melirik ke arah mayat kucing yang mengenaskan. Sebenarnya ia ingin muntah tapi ditahannya sekuat mungkin. Jangan sampai perempuan di depannya melihat kondisi kucingnya itu.

"Ayo pergi!" Laki-laki itu menarik tangan Safira.

"T-tapi Katty–"

"Aku akan menyuruh seseorang mengurusnya."

Akhirnya Safira mengikuti laki-laki itu dan ternyata mereka pergi kembali ke taman. Ia belum melihat nasib kucing kesayangannya karena sibuk menangis. Tapi mungkin hatinya juga tidak cukup siap melihat.

"Sudah, jangan menangis lagi!"

"Iya." Safira mengusap jejak air mata di pipinya.

"Namaku Gavin."

"Aku gak nanya."

"Cuma ngasih tahu. Kamu tunggu di sini sebentar!"

Gavin berlari meninggalkannya di taman. Dan mau-mau saja Safira mengikuti perintahnya. Tidak lama Gavin pun kembali lagi.

"Ini buat kamu."

"Apa ini?"

"Cilok. Aku gak tahu sih cilok yang ini enak apa enggak, tapi aku bisa jamin setelah ini perasaan kamu jadi lebih baik."

Safira menatap bulatan makanan dalam plastik di tangannya. Warnanya merah gelap dan ada tusuk kayu. Baru kali ini ia melihatnya.

"Ayo makan!"

"Apa hubungannya cilok sama perasaan aku?"

"Coba aja dulu."

Gavin memakan tusukkan ciloknya lalu mengunyahnya seraya menunjukkan ekspresi seperti memakan sesuatu yang sangat enak. Safira pun jadi tergoda dan mencobanya.

Keras, pikirnya.

Teksturnya kenyal dan butuh beberapa kali kunyahan agar bisa ditelan sempurna.

"Gimana?"

"Ngeselin!"

"Lah ko ngeselin?"

"Kan cape ngunyahnya."

"Nah, sama kaya perasaan sedih kamu. Hati dan pikiran kamu juga cape kalau kamunya sedih terus. Kasihan."

"Dih, sok tahu."

"Dibilangin gak percaya."

"Iya deh percaya sama mamang cilok."

"Kenapa manggil mamang cilok, sih?"

"Terserah aku, dong." Safira akhirnya tersenyum kecil.

"Nama kamu siapa?"

"Safira."

"Oke Safira, mulai hari ini kamu jadi langganan cilok aku, ya."

"Ya gak mau lah. Eh, perempuan yang sebelum kejadian sama aku kemana ya?"

Safira teringat pada Gita.

"Tadi kabur begitu aku datang."

Safira mengangguk.

.

.

TBC

1
hayalan indah🍂
bagus
Dochi19_new: makasih kak, pantengin terus ya kak 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!