Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Yang Terjadi?
Amar kembali mengangkat kepalanya dengan sisa tawanya. Kemudian menggelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan apa yang Mahira katakan. Tapi seketika senyumnya pudar ketika menyadari Mahira diam menatapnya.
"E-apa ada lagi yang ingin kamu beli, jika tidak ayo kita pulang!"
Seolah kembali ke stelan awal, Amar dengan dingin melenggang pergi tanpa mempedulikan Mahira yang kerepotan mendorong troli belanjanya.
Menyadari hal itu, Amar menarik nafas dalam-dalam dan menghelai kasar lalu kembali mendekati Mahira. Amar langsung merebut troli belanjaan tanpa mengatakan apapun kepada Mahira.
Didepan kasir Amar hanya diam sambil memainkan ponselnya. Sementara Mahira terus menatap Amar yang baru saja tertawa lepas di depannya tapi sekarang kembali membeku bagaikan batu.
"Apa itu sisi lain kak Amar, kenapa dengannya, pengalaman pahit apa yang kak Amar lalui sampai sikapnya begitu dingin dan kaku," ucap Mahira dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di rumah, Amar langsung menemui baby Emir. Menggendongnya dan melemparkan ke udara lalu kembali menangkapnya. Amar melakukan itu berulang kali hingga baby Emir tertawa renyah khas bayi seusianya.
Sementara Mahira yang tengah mengemasi barang belanjaannya turut tersenyum bahagia melihat Amar yang begitu menyayangi baby Emir, menggantikan peran seorang Ayah, hingga baby Emir tak pernah merasa kehilangan sosok Ayah kandungnya yang telah tiada.
"Biar saya yang membereskan Nyonya." Perkataan Bibi mengagetkan Mahira yang fokus menatap Amar yang masih bermain dengan baby Emir.
"Oh iya, kalau begitu saya tinggal dulu yah." ujar Mahira yang kemudian meninggalkan barang belanjaannya lalu mendekati baby Emir.
"Biar Emir bersama ku, kak Amar sejak pulang belum istirahat kan?"
"Baiklah, aku mandi dulu." ujar Amar memberikan baby Emir kepada Mahira.
Mahira mengangguk dan mengajak baby Emir bicara tanpa menoleh kearah Amar yang kembali menghentikan langkahnya memperhatikan Mahira yang kini menyatukan hidungnya ke hidung baby Emir sambil menggigit bibir bawahnya karena saking gemasnya dengan baby Emir.
"Argh! kenapa aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku darinya." gumam Amar dalam hatinya.
Baru saja Amar ingin mengalihkan pandangannya, Mahira lebih dulu menangkap basah Amar yang masih menatapnya.
"Ada apa?" tanya Mahira yang kali ini terlihat datar tak seperti biasanya. Berbeda dengan Amar yang beberapa hari ini merasa resah.
"A-e tidak. Aku hanya sedang berpikir, malam ini kita makan apa?"
"Oh... kak Amar pengin apa, nanti aku bilangin sama Bibi."
Jawaban Mahira tak membuat Amar lega. Padahal didalam hatinya, Amar ingin malam ini Mahira lah yang memasak untuk dirinya. Tapi gengsinya yang besar tak mungkin membuat Amar mengatakan itu secara langsung pada Mahira.
"Apa saja!" saut Amar yang terlihat kesal lalu naik keatas.
Mahira yang melihatnya mencebikkan bibirnya lalu menahan tawanya. Mahira sebenarnya tahu apa yang Amar inginkan, tapi Mahira sengaja ingin membuat Amar memintanya secara langsung kepadanya.
"Salah sendiri dimasakin malah dikasih orang." gumam Mahira yang kemudian membawa baby Emir ke dapur, meminta Bibi masak makanan kesukaan Amar.
Didalam kamar mandi Amar merendam tubuhnya di bathtub. Menyandarkan kepalanya di ujung bathub sambil memejamkan mata untuk menenangkan hati dan pikirannya yang saling bertentangan. Pikirannya mengatakan jangan tapi hatinya meminta untuk mengikuti apa yang tengah di rasakan.
"Kak Amar... Kak Amar..."
Sayup-sayup Amar mendengar Mahira memanggilnya. Perlahan netranya terbuka pandangannya masih samar mengingat apa yang terjadi dengannya.
Bersambung...