WARNING ***
HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN!!!
Menjadi istri kedua bukanlah cita-cita seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun bernama Anastasia.
Ia rela menggadaikan harga diri dan rahimnya pada seorang wanita mandul demi membiayai pengobatan ayahnya.
Paras tampan menawan penuh pesona seorang Benedict Albert membuat Ana sering kali tergoda. Akankah Anastasia bertahan dalam tekanan dan sikap egois istri pertama suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maukah Kau Menikah Lagi?
"Sayang, maukah kau menikah lagi?" tanya Rosalie pada Ben, suaminya.
"Tidak, apapun alasannya, aku tidak akan pernah menikah lagi, Rose. Kau satu-satunya wanita yang aku cintai." Ben menolak tegas ide gila istrinya. Ini bukan pertama kalinya Rosalie meminta Ben untuk menikah lagi.
Rosalie hanya terdiam dan melamun. Ia menatap nanar pada kolam renang yang jernih dengan air yang tenang.
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu menderita kanker serviks serta kelainan di rahimnya. Selama lima tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Rosalie dan Ben tidak kunjung dikaruniai momongan.
Mereka berdua melakukan segala cara untuk mendapatkan keturunan, dari program hamil, pengobatan alternatif, hingga program bayi tabung. Sebanyak apapun uang yang mereka keluarkan, hanya berakhir dengan sebuah kegagalan.
Sejak Rosalie menyadari ada yang salah dengan tubuhnya hingga mendapatkan vonis kanker serviks, wanita itu mulai tertekan dan depresi. Bahkan ia harus mengkonsumsi obat dari dokter psikolog untuk meredakan amarah dan kekacauan perasaannya.
Rosalie adalah anak tunggal dari keluarga konglomerat, tentunya kehadiran seorang bayi adalah hal yang sangat dimimpikan oleh kedua orang tuanya.
Karena Rosalie tidak ingin dicap sebagai wanita mandul oleh orang-orang di sekelilingnya juga oleh keluarga dari suaminya, Rosalie meminta Ben untuk merahasiakan apa yang sedang ia alami.
Pagi ini, Rosalie dan Ben sedang duduk di halaman belakang rumah mereka yang langsung menghadap ke kolam renang. Keduanya menikmati pagi dengan secangkir kopi yang sama.
"Kita bisa mencari alternatif lain untuk pengobatanmu. Jangan ambil jalan pintas," bujuk Ben.
"Ke mana lagi, Sayang? Singapura? Amerika? Jerman? Kita sudah jelajahi semua rumah sakit untuk pengobatan ini selama hampir dua tahun, hasilnya nihil."
"Kalau begitu relakan. Kita bisa bahagia hanya hidup berdua, tidak perlu memaksakan diri untuk sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan!"
"Tidakkah kau kasihan padaku, Ben? Semua orang berbisik di belakangku karena selama lima tahun ini kita tidak kunjung punya anak. Bagaimana dengan orang tuamu? Orang tuaku? Pikirkan mereka!" seru Rosalie.
"Aku tidak mau kita terus bertengkar. Pikirkan baik-baik langkah apa yang akan kau ambil," ucap Ben sambil mengecup lembut kening Rosalie. Ia beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Wanita itu selalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang ia alami. Menjadi wanita karir yang sukses sejak muda, punya penghasilan fantastis, hingga memiliki suami setampan Benedict Albert tidak membuatnya puas, ia menginginkan seorang anak untuk melengkapi kebahagiaannya.
Meskipun Rosalie sudah menjalani operasi untuk kanker di tubuhnya, namun sel-sel itu kembali tumbuh dan membuatnya semakin menderita. Jika terus berlanjut, maka Rosalie pun harus rela mengangkat rahimnya.
Setiap kali menatap wajah Ben, Rosalie dihantui rasa bersalah. Bukan hanya karena ia tidak mampu memberikan pewaris, namun juga karena ia bahkan tidak mampu melayani Ben seperti seorang istri pada umumnya. Rasa sakit luar biasa hingga pendarahan hebat sering ia alami setiap kali melakukan hubungan. Hal itu membuat keduanya tidak bisa melakukan banyak hal bersama.
Setelah lelah meratapi nasib seorang diri, Rosalie menyusul Ben masuk ke dalam rumah. Wanita itu melihat Ben berdiri di depan cermin sambil memakai dasinya.
"Kemarilah," ucap Rosalie sambil membantu Ben memakai dasi. "Maaf jika sikapku membuatmu kesal, Sayang. Aku hanya marah pada diriku sendiri," lanjutnya.
"Apakah sebesar itu keinginanmu untuk memiliki seorang anak sampai merelakanku menikah lagi?" tanya Ben. Ia menatap manik kecoklatan wanita di hadapannya.
"Aku sangat mencintaimu, bahkan aku tidak rela ada wanita yang menatapmu lebih dari lima detik. Namun hanya ini cara agar kita bisa memiliki seorang anak, aku tidak peduli meski anak itu tidak lahir dari rahimku, asalkan itu anak dari darah dagingmu, aku akan sangat bahagia" jelas Rosalie.
Ben menghela napas berat. Sudah beberapa waktu terakhir Rosalie terus membujuknya untuk menikah lagi. Rosalie ingin Ben menikah kontrak dengan gadis sehat hanya untuk mendapatkan seorang anak.
Ide gila itu berulang kali Ben tampik. Bagaimana bisa ia mempermainkan pernikahan semudah itu. Ben buka tipe laki-laki yang memandang remeh sebuah ikatan pernikahan. Ia sangat menghargai perasaan wanita dan berusaha untuk tidak mempermainkan perasaan wanita manapun.
"Pikirkan baik-baik. Kau bisa memilih gadis manapun yang kau inginkan, asal dia sehat dan mampu mengandung juga melahirkan. Aku akan menerima siapapun dia," ungkap Rosalie.
Wanita itu memberi kebebasan pada Ben untuk mencari istri kedua. Namun tidak bisa dipungkiri, hatinya teriris setiap kali sadar bahwa ia harus berbagi suami.
"Aku mohon pikirkan sekali lagi, Rose. Aku juga butuh banyak pertimbangan," jawab Ben.
Rosalie mengantar Ben berangkat bekerja. Wanita itu melambaikan tangan sambil tersenyum saat mobil yang dikendarai oleh suaminya melaju pergi meninggalkan halaman rumah.
Setelah kepergian Ben, Rosalie bergegas mengganti pakaian. Ia sendiri harus pergi ke butik dan bekerja.
Sebagai seorang designer juga pemilik butik dengan brand terkenal, Rosalie termasuk wanita yang sangat sukses. Karir, kejayaan dan kekayaan selalu mengiringi setiap langkahnya.
Semua orang memandang iri pada kehidupan Rosalie. Ia mendapatkan segala yang ia inginkan, termasuk suami yang tampan dan kaya. Namun tidak ada yang tahu penderitaan apa yang disembunyikan oleh wanita itu.
Setelah sampai di butik, Rosalie mendapat kabar mengejutkan. Sebuah kabar duka datang dari kedua orang tuanya, rupanya nenek Rosalie telah meninggal, membuat wanita itu hampir kehilangan kesadaran.
Tanpa diduga, Ben sudah berada di depan butik dan menyusul sang istri ke ruangannya. Ia melihat Rosalie duduk lemas di lantai dengan ponsel di tangannya.
Ben segera mengangkat tubuh Rosalie dan memeluk wanita itu. Kabar ini pasti sangat melukai hati istrinya.
Tanpa menunggu lama, mereka memutuskan untuk pulang. Ben memesan dua tiket pesawat untuk keberangkatan mereka, Rosalie harus melihat wajah neneknya untuk yang terakhir kalinya.
🖤🖤🖤
Di kediaman keluarga Rosalie, wanita itu menangis saat melihat neneknya sudah tertidur lelap di dalam peti mati. Ben pun dengan sabar menenangkannya.
Di sisi lain, terdapat seorang gadis duduk bersimpuh dengan kerudung hitam menutupi kepalanya. Kerudung itu bahkan menutupi sebagian wajah gadis itu hingga hanya terlihat bibirnya yang gemetar.
Sesekali, Ben melirik gadis itu dan merasa penasaran. Karena ia tampak sama terpukulnya seperti Rosalie namun Ben yakin ia bukan anggota keluarga istrinya.
Gadis itu menangis tanpa suara. Ben bisa melihat bahu yang berguncang sekaligus bibir yang gemetar. Sesekali tangannya mengusap air mata dengan ujung kerudung.
Setelah prosesi pemakaman usai, Rosalie menghampiri kedua orang tuanya. Rosalie memeluk mereka dan berusaha saling menguatkan.
"Sayang sekali, nenekmu harus pergi bahkan sebelum ia melihat cucunya memiliki seorang anak," ucap Alana, Mama Rosalie.
"Ma," tegur Daren, suaminya.
"Tidak apa, Pa. Itu memang satu-satunya keinginan nenek. Aku tahu," gumam Rosalie sambil meneteskan air mata. Andai saja ia sudah memiliki anak, tentu rasa kehilangan tidak ada sesakit ini.
Mendengar pembahasan yang tidak seharusnya saat suasana berduka seperti ini, Ben mengajak istrinya masuk ke dalam kamar dan mengabaikan para pelayat yang datang.
Saat melewati kamar neneknya, Rosalie melihat seorang gadis sedang duduk di lantai sambil menangis.
"Ana," ucap Rosalie. Ia berjalan masuk dan memeluk tubuh gadis itu.
"Kak Rose, dia bahkan belum sempat mengucapkan kalimat perpisahan padamu," jawab gadis yang dipanggil Ana.
"Aku menyesal karena tidak ada di saat-saat terakhirnya."
"Dia berkata bahwa dia merindukanmu," gumam Ana.
"Aku tahu." Rosalie menyeka air matanya. Ia melihat foto yang terpampang di dinding kamar itu sambil tersenyum getir.
Di samping pintu, Ben hanya mengamati Rose dan Ana dari kejauhan. Rupanya gadis yang ia lihat beberapa saat lalu adalah Ana, orang kepercayaan keluarga Rosalie yang merawat neneknya sejak lama.
Setelah Rosalie dan Ana berbincang cukup lama, Ben mengajak istrinya untuk pergi ke kamar lama mereka dan beristirahat.
Karena kedua mertuanya masih sangat terpukul, Ben memutuskan untuk tinggal di rumah ini selama dua minggu sambil menemani istrinya. Mereka perlu waktu untuk berduka dan melepas kepergian anggota keluarga tercinta dengan rela.
🖤🖤🖤
karena tidak semua hal di dunia ini terwujud sesuai keinginan mu