Dua tahun. Dua sahabat. Satu cinta dan satu hati. Clara dan Sarah, terikat oleh persahabatan yang tak tergoyahkan sejak dua tahun persahabatan mereka di bangku kuliah, menghadapi badai kehidupan bersama. Namun, kedamaian itu hancur ketika sebuah kerikil kecil—sejumlah tokoh antagonis, masing-masing dengan segudang niat jahat—muncul secara tiba-tiba. Serentetan jebakan dan intrik licik memicu serangkaian kejadian di antara Sarah dan Clara: salah paham, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tak terduga. Apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31. Cinta Mati
Malam semakin larut, udara di sekitar kamar Clara lumayan dingin karena Clara lupa belum mematikan AC di kamarnya. Sarah masih terjaga, matanya enggan terpejam.
Ia pun duduk bersandar di kepala ranjang, kaki terselubung selimut yang sama dengan Clara, pandangannya lurus ke depan, kosong. Lalu, ia menoleh. Clara tidur pulas di sisinya, wajahnya tenang dan damai. Seulas senyum mengembang di bibir Sarah, tangannya terulur lembut mengusap kepala Clara.
"Aku sayang banget sama kamu, Ra. Meskipun kita kenal dan dekat belum genap dua tahun, tapi aku udah sayang banget sama kamu, kayak kamu itu saudaraku sendiri.
Jangan pergi ya, Ra, jangan tinggalin aku. Aku nggak mau pisah sama kamu. Entah kenapa pikiran buruk itu tiba-tiba terlintas dipikiranku. Aku udah coba nepis, tapi susah. Tidur nyenyak ya, mimpi indah my best friend."
Sarah lalu menunduk, mencium lembut puncak kepala Clara. Lama ia mencium kepala Clara sebelum akhirnya menjauhkan tubuhnya.
"Aku belum ngantuk, padahal waktu udah malam banget. Kenapa ya?" Sarah terus bertanya-tanya kenapa ia belum mengantuk padahal waktu sudah sangat malam. Biasanya jika di rumahnya sendiri saat waktu memasuki pukul sembilan malam ia pasti sudah tertidur. Tapi mengapa sekarang ia masih terjaga?
Ia mencoba berbaring, memandangi wajah Clara yang tenang. Seulas senyum mengembang di bibirnya, lalu perlahan ia memejamkan mata. Tak lama kemudian, Sarah pun tertidur pulas.
Sementara itu, di sudut ruangan yang remang-remang, hanya cahaya lampu kecil yang menerangi sofa merah tua tempat sepasang muda-mudi duduk berdampingan dekat jendela.
Pria itu meneguk minuman ker4snya—botol kesekian malam ini. Wanita di sampingnya, bersandar manja di lengannya, menyesap rokok dengan tenang. Satu tangannya melingkar di pinggang pria di sampingnya, tangan lainnya masih setia memegang rokok yang menyala di bibirnya.
"Jadi...gimana sama cewek itu?" tanya wanita itu, ehm...Grace, sembari melirik sekilas pria di sampingnya.
Pria itu tidak menoleh, setelah menyesap minumannya, ia menjawab. "Sebenarnya gue juga agak nggak sreg sama dia. Dia miskin, kampungan dan kelihatan j3lek banget. Nggak cocok banget temenan sama cewek gue.
Cewek gue kan cantik ya, anak orang kaya, masa iya temenan sama ge-mbel kayak gitu!" Ia kembali menyesap minumannya, tanpa melanjutkan.
"Lo baru sadar ya kalau cewek Lo itu emang gak cocok temenan sama dia? gue kan udah sering bilang sama lo sebelum lo itu punya niatan nembak cewek lo. Temennya itu harus Lo singkirin dulu," timpal Grace.
Setelah botol minumannya habis, ia meletakkan botol kosong itu di samping sofa. "Iya gue tahu kok. Cuma Lo kan tahu gimana deketnya cewek gue sama tuh cewek. Mereka nempel terus, kayak perangko. Gue bingung gimana mulainya," jawab pria itu.
Grace tersenyum miring, penuh rencana. "Lo cinta nggak sih sama cewek lo itu?" tanyanya, lantas menegakkan tubuh dan menoleh ke pria di sampingnya.
Pria itu juga menoleh. Tatapan matanya terlihat serius, tidak main-main. "Ya jelas gue cinta lah. Cinta mati malah. Lo kan tahu gimana obsesinya gue sama dia? gue udah hampir dua tahun ini memendam perasaan gue dan akhirnya berani ungkapin.
Dia juga suka sama gue dan mau nerima perasaan gue. Jadinya ya...gue bakal bikin dia cinta mati juga lah sama gue. Sampai nggak bisa jauh-jauh dari gue dan selalu sama gue. Mungkin dengan itu dia bakal lupa sama temennya," bisiknya, sebuah rencana terpatri di senyum miringnya.
Grace bertepuk tangan, senyumnya membentang semakin lebar. "Ternyata Lo pinter juga ya bisa punya rencana kayak gitu. Gue kira lo bakal biarin aja cewek lo temenan sama tuh cewek.
Ya karena yang gue lihat sih tuh cewek baik ya, kelihatan peduli dan perhatian. Cuma ya dia miskin. Kuliah di kampus itu aja dia cuma ngandelin beasiswa. Kelihatan banget kan dia gimana? gue aja selalu ilfil setiap kali lihat tuh cewek. Mana dia kasar banget lagi sama gue. Ngeselin banget!" gerutunya.
Pria itu tersenyum melihat kekesalan Grace. Ia merangkul bahunya dengan lembut. "Udah, nggak usah kesel gitu. Semuanya aman kok sama gue. Nggak lama lagi cewek gue bakal lupain temennya itu dan cuma fokus ke gue.
Dia bakal cinta mati sama gue dan takut kehilangan gue. Lo lihat aja, apa yang akan terjadi setelah ini," katanya, matanya berkilat, senyumnya sedikit menyiratkan keangkuhan.
Grace ikut tersenyum, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia bersandar kembali di bahu pria itu, menyalakan sebatang rokok, dan menghirupnya perlahan. Asap rokok mengepul di udara, terhembus dari bibirnya.
Bersambung ...