Abigail, seorang murid Sekolah Menengah Atas yang berprestasi dan sering mendapat banyak penghargaan ternyata menyimpan luka dan trauma karena di tinggal meninggal dunia oleh mantan kekasihnya, Matthew. Cowok berprestasi yang sama-sama mengukir kebahagiaan paling besar di hidup Abigail.
Kematian dan proses penyembuhan kesedihan yang tak mudah, tak menyurutkan dirinya untuk menorehkan prestasinya di bidang akademik, yang membuatnya di sukai hingga berpacaran dengan Justin cowok berandal yang ternyata toxic dan manipulatif.
Bukan melihat dirinya sebagai pasangan, tapi menjadikan kisahnya sebagai gambaran trauma, luka dan air mata yang terus "membunuh" dirinya. Lalu, bagaimana akhir cerita cinta keduanya?
© toxic love
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 : Gadis yang Menarik
"Siapa dia?"
"Namanya Abigail. Dia anak baru, tapi langsung berhasil merebut hati Justin," ujar Anya, tampak terkejut.
"Pintar, kaya, sempurna!" puji Erika, temannya. Jujur saja, Anya merasa tidak nyaman dengan segala hal yang diraih oleh Abigail, si anak baru itu.
"Sekarang dia juga akan ikut olimpiade. Baru sebulan di sini, dia sudah berhasil mengambil hati Justin. Menurutku itu hebat, apalagi Justin itu benar-benar seperti es batu. Tidak ada yang bisa meluluhkan hatinya, tapi Abigail bisa. Jadi, menurutku kerenlah. Sepertinya, tipe Justin itu bukan yang manja dan genit," sindir Erika kepada Anya.
“ERIKA, KAMU MENYEBALKAN!” teriak Anya di tengah koridor, di antara para siswa yang lalu-lalang.
O0O
"Jadi, kamu ingin ikut?" tanya Yeon.
“Tentu saja, aku mau,” jawab Abigail dengan senyum lebar. "Aku ingin jadi dokter, sesuai pesan Papa dan Matthew! Mereka berdua adalah sumber semangatku. Walaupun mereka sudah tiada, aku tetap ingin menjadi dokter."
“Abigail, pernah terantuk kepalamu?” tanya Yeon, menatap Abigail yang sedang mengaduk cokelat panasnya di kantin sekolah.
“Belum, memangnya kenapa?” Abigail bertanya penasaran.
Yeon menghela napas panjang, namun merasa lega melihat senyum kembali menghiasi wajah Abigail. "Ikut olimpiade, ya? Semangat, kamu pasti bisa!"
“Ya, aku tahu kok!”
Kehidupan Abigail selalu berdampingan dengan kenangan yang sulit untuk dilupakan. Dia sangat mencintai Matthew, begitu tulus. Setiap barang pemberian Matthew menjadi saksi cintanya yang dalam, seolah menjadi pengganti pesan cinta dari kekasih pertamanya. Sedangkan sosok ayahnya adalah sumber kekuatan baginya.
Namun, Abigail tetaplah sosok yang ceria. Meskipun ia membutuhkan penopang untuk tetap berdiri kuat, ia menjalani hidupnya dengan semangat. Bahkan setelah kepindahannya ke sekolah dan rumah baru, Abigail tetap berusaha bangkit. Ibunya, Eliza, sangat terpukul oleh kehilangan ini, namun tetap mendukung Abigail dengan segenap cinta.
"Kamu sepupu yang baik, Yeon. Tante tidak pernah khawatir, karena percaya bahwa Abigail aman bersama kamu," ujar Eliza, ibu Abigail, beberapa bulan lalu.
“Tante hanya tidak ingin Abigail terus dibayangi kematian ayah dan kekasihnya. Kamu tahu, kan, Abigail sangat trauma ditinggal ayahnya,” ujar Eliza, suaranya bergetar menahan isak.
“Terima kasih, Tante, atas kepercayaan yang selalu diberikan kepadaku sebagai keponakan Tante,” jawab Yeon sambil menundukkan kepala di ruang tamu rumah baru Abigail.
Setelah itu, Yeon dan Eliza berjalan-jalan menyusuri rumah baru tersebut. Rumah itu, dengan desain klasik dan sebagian besar isinya, menjadi perwujudan impian keluarga bahagia yang didambakan Eliza.
O0O
“Wah, luar biasa!”
Yeon dan Abigail berjalan mengelilingi rumah. Bangunan berwarna cokelat klasik ini penuh dengan keindahan yang memikat, hingga mereka akhirnya sampai di kamar Abigail. Di sana terpajang piala, medali, dan sertifikat yang jumlahnya cukup banyak, hingga membuat Yeon terpaku.
“Kamu ikut lomba-lomba ini sejak kecil, ya? Banyak sekali!”
“Iya, sejak TK. Dari lomba mewarnai hingga berbagai lomba lainnya. Lumayan untuk melatih otak agar tidak tumpul.”
Yeon menatap lemari penuh penghargaan itu dengan kagum. “Keren sekali, aku sampai ngiler melihat prestasimu. Aku ingin satu piala ini, boleh?”
“Ada-ada saja kamu ini. Memangnya bisa?” Abigail tertawa kecil.
Yeon mengangguk sambil membuat tanda dua jari, “Tentu saja bisa. Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini?”
Abigail menggeleng, “Bisa sih, tapi nanti masuk penjara karena pemalsuan. Mengerti?”
O0O
Di bulan ini, Abigail kembali menunjukkan tekadnya untuk meraih prestasi bagi keluarganya. Setiap hari dia rajin belajar dan bertanya tentang soal-soal olimpiade kepada guru-gurunya. Ketika jam istirahat, dia sering mengunjungi ruang guru atau menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mencatat poin-poin penting dari buku yang ia baca.
Justin diam-diam memperhatikan Abigail dari luar pintu perpustakaan. Ia merasa tidak salah telah jatuh hati begitu cepat pada gadis itu.
"Justin, aku punya es krim. Mau nggak? Rasanya manis lho, seperti kamu!" goda Anya. Ia memang selalu mencari kesempatan untuk menggoda Justin, pria yang sangat ia sukai.
Di balik pintu perpustakaan, Yeon melihat keduanya. Ia mendekat dan bertanya, “Kalian berdua sedang apa di sini?”
“Pacaran!” jawab Anya cepat sambil membetulkan pita merah di rambutnya.
“Maaf, kamu siapa?” tanya Justin sambil berusaha masuk ke perpustakaan. “Aku ingin membaca buku!”
“Justin!”
Yeon masuk ke perpustakaan dan bertanya, “Mengapa ramai sekali di luar?”
“Anya dan Justin, kalau mau pacaran, tolong di luar saja ya, jangan di perpustakaan,” tegur penjaga perpustakaan.
“Saya hanya ingin membaca buku, Bu!” jawab Justin dengan suara agak keras.
“Sudah, aku ingin membaca buku sendiri, oke? Jangan ikut-ikut,” ucap Justin kepada Anya yang terus merengek.
“Aku ingin ikut!”
Akhirnya, mereka berdua masuk ke perpustakaan. Tempat yang biasanya tenang itu berubah menjadi agak ramai.
Abigail dan Yeon sibuk dengan buku masing-masing, tidak terlalu memperhatikan orang yang tiba-tiba berdiri di depan mereka.
“Cantik!” seru Justin.
“Aaaw, terima kasih, Justin! Aku tahu kok, aku memang cantik,” balas Anya dengan nada ge-er.
“Tapi aku memuji Abigail, bukan kamu. Abigail itu pintar, sempurna. Iya, kan, sayangku?” goda Justin kepada Abigail, membuat Anya terlihat jengkel.
Yeon, Abigail, Anya, dan Justin terdiam sejenak sampai penjaga perpustakaan mengingatkan mereka untuk tenang.
O0O
Justin kemudian duduk di hadapan Abigail, terpisah oleh rak buku di antaranya.
“Semangatmu luar biasa, ya, bisa membuatmu melangkah maju untuk olimpiade. Nilai rapormu sudah seperti emas, tidak ada yang bisa menyaingimu. Kamu keren, Bi!” katanya dengan nada percaya diri.
Abigail menatap Justin lalu tersenyum kecil. “Terima kasih sebelumnya. Eh, namamu siapa? Aku Gabriella Abigail.” Abigail mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Justin tampak terpesona. “Aku Justin, murid yang paling dikenal di sekolah ini. Salam kenal!”
“Oh, jadi seluruh sekolah mengenalmu?” Abigail menutup bukunya sejenak, beristirahat dari membaca.
“Ya, benar sekali. Semua orang di sekolah ini mengenalku. Kalau kita disandingkan, keren kita akan berkali lipat!” jawab Justin dengan percaya diri.
"Hm, baiklah." Abigail tersenyum, melirik catatan tentang olimpiade yang akan segera tiba.