Kecelakaan yang menimpa Nasya bersama dengan calon suaminya yang menghancurkan sekejap kebahagiaanya.
Kehilangan pria yang akan menikah dengan dirinya setelah 90% pernikahan telah disiapkan. Bukan hanya kehilangan pria yang dia cintai. Nasya juga kehilangan suaranya dan tidak bisa berjalan.
Dokter mengatakan memang hanya lumpuh sementara, tetapi kejadian naas itu mampu merenggut semua kebahagiaannya.
Merasa benci dengan pria yang telah membuat dia dan kekasihnya kecelakaan. Nathan sebagai tersangka karena bertabrakan dengan Nasya dan Radit.
Nathan harus bertanggung jawab dengan menikahi Nasya.
Nasya menyetujui pernikahan itu karena ingin membalas Nathan. Hidup Nasya yang sudah sepenuhnya hancur dan juga tidak menginginkan Nathan bisa bahagia begitu saja yang harus benar-benar mengabdikan dirinya untuk Nasya.
Bagaimana Nathan dan Nasya menjalani pernikahan mereka tanpa cinta?
Lalu apakah setelah Nasya sembuh dari kelumpuhan. Masih akan melanjutkan pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainuncepenis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Ulah Nasya.
Nathan yang menepati janjinya untuk menemani Nasya terapi. Nasya terapi di rumah sakit Fatmawati. Rumah sakit keluarga Nathan yang mana sang Ayah juga sebagai Dokter Senior.
Nathan yang turun terlebih dahulu dari mobil. Lalu kemudian membuka bagasi mobil yang mengambil kursi roda Nasya, lalu kemudian membuka pintu mobil Nasya dan membantu Nasya turun dengan menggendong Nasya yang memindahkan ke kursi roda.
"Kita langsung masuk saja," ucap Nathan yang tidak mendapatkan respon apapun dari Nasya. Nathan yang juga tidak berbicara lagi yang langsung mendorong kursi roda tersebut.
Mereka di antarkan Suster keruang terapi yang sebelumnya Nasya melakukan pemeriksaan secara medis dulu dan setelah itu baru melakukan terapi.
Entah sudah beberapa jam Nathan yang mengikuti kegiatan Nasya yang dibantu oleh Suster dari menurunkan kaki Nasya dari kursi roda untuk menyentuh lantai dan terlihat mengurut-urut entahlah bagaimana sistem pengobatan yang dilakukan ahli terapi untuk Nasya.
Nathan hanya duduk saja yang sesekali memperhatikan dan sesekali melihat ponselnya untuk menghilangkan rasa kejenuhannya.
Padahal terapi sebenarnya tidak membutuhkan dirinya yang hanya menjadi penonton saja. Karena dia juga sama sekali tidak melakukan apapun dan memang Nasya saja yang ingin membuat waktunya terbuang sia-sia.
Kalau kata Andre agar Nathan merasa bersalah melihat perjuangan adiknya yang ingin kembali normal karena semua ulahnya. Padahal wajahnya Nathan sama sekali tidak ada sedih-sedihnya dan juga tidak seperti yang dikatakan Andre yang harus berlebihan.
"Nona Nasya. Nona bisa berusaha untuk menggerakkan mulut agar pelan-pelan bisa berbicara. Tidak masalah untuk mencoba berteriak walau tidak terdengar suara apapun," ucap Suster yang memberikan saran sembari mengurut-urut kaki Nasya.
Nasya hanya menganggukkan kepala yang menurut saja. Dia juga sangat capek tidak mendengar suaranya sendiri dan juga capek yang berada di kursi roda.
"Perkembangan pengobatan Nona semakin banyak kemajuan dan kemungkinan terapi berikutnya kita sudah mulai menggunakan alat untuk berdiri. Saya rasa telapak kaki Nona sudah mulai mampu untuk tegak," ucap Suster yang memberikan harapan yang membuat Nasya menganggukkan kepala kembali dan jelas itu menambah semangat untuk dirinya.
"Aku tidak tahu apa setelah dia sudah bisa berjalan dan sudah bisa berbicara. Lalu apalagi yang dia inginkan. Apa dia akan tetap melanjutkan semua kemarahannya atau mengakhiri segalanya," batin Nathan.
Memang tidak ada perjanjian dalam pernikahan mereka yang mana Nathan menikahi hanya sebatas Nasya sembuh. Pernikahan itu murni tanpa perjanjian apapun dan tidak ada kontrak apapun. Jadi Nathan juga tidak tahu jika Nasya sudah kembali normal bagaimana tentang kehidupan dia dan Nasya selanjutnya.
Tok-tok-tok-tok.
Nathan menoleh ke arah pintu yang terbuka saat pintu itu diketuk dan begitu juga dengan Nasya. Ternyata itu adalah Santi.
"Mah!" sahut Nathan yang langsung berdiri dari tempat duduknya.
Mata Santi melihat ke arah Nasya dan dari tatapan itu sangat tidak suka pada menantunya itu yang mungkin saja merasa jika Nasya telah mencuri kehidupan normal putranya.
"Papa kamu mengatakan kamu dari pagi berada di sini. Kamu tidak ke kantor?" tanya Santi. Nathan menggeleng samar.
"Jadi kamu hanya akan tetap duduk di sofa itu dan menonton pengobatan ini. Nathan ada dan tidak adanya kamu di sini tidak akan mengubah apapun dan juga tidak berguna. Jadi lebih baik kamu ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan dan juga pertemuan dengan klien," ucap Santi dengan tegas.
"Mama ada apa datang ke mari?" tanya Nathan yang mengalihkan pembicaraan itu agar Santi tidak terlalu banyak bicara yang pasti semua itu dapat didengar Nasya.
Nasya wanita yang memiliki hati yang sangat sensitif, baru saja mendengar dia dan ibunya berbicara mengenai rencana menikahi Nasya memiliki tujuan dan Nasya sudah menjerat dirinya ke dalam pernikahan yang sesungguhnya. Jadi Nathan tidak ingin mencari gara-gara dengan istrinya itu.
"Baru satu hari kamu menikah dan raut wajah kamu sudah terlihat begitu lelah dan kusut. Mama khawatir pada kamu. Mama membawakan kamu makan siang," ucap Santi dengan menatap kasihan pada putranya itu bahkan sampai memegang pipi Nathan dengan tangannya yang sebelah kiri sejak tadi memegang rantang kecil.
"Dasar manja," batin Nasya cukup kesal mendengar kata-kata Santi yang Nathan begitu menderita menikah dengannya.
"Mama terlalu berlebihan berbicara. Aku sama sekali tidak apa-apa dan terima kasih sudah membawakan aku makanan dan nanti pasti aku makan," ucap Nathan yang mengambil rantang itu.
"Nathan kamu harus makan sekarang. Ini udah jam 02.00 dan lewat makan siang!" tegas Santi.
"Nasya masih melakukan terapi dan sebentar lagi," jawab Nathan.
"Kenapa kamu harus menunggu dia dan peduli kepadanya!" tegas Santi dengan sedikit memelankan volume suaranya yang tampak kesal dengan Nathan.
"Mah!" tegur Nathan.
Santi menghela nafas yang harus menahan diri dan dia juga tidak bisa marah-marah kepada Nasya di tempat itu dan bisa-bisa masalah ini akan semakin panjang. Nasya mendengus kasar yang tahu apa yang dirasakan Santi saat ini yang pasti segala sesuatu sangat terpaksa karena dia hanya takut saja Nathan di penjara
"Suster apa terapinya belum selesai?"
"Apa tidak ada waktu untuk istirahat?" tanya Santi dengan ketus.
"Baik, Bu. Ini sudah selesai dan nanti kita lanjutkan lagi. Saya juga ingin makan siang," ucap Suster yang meletakkan kembali kaki Nasya pada pijakan kursi roda.
Lalu Suster itu berdiri dan menundukkan kepala yang berpamitan keluar dari ruangan itu.
"Apa salahnya berbicara kepada Suster itu dan mengatakan jika ingin makan. Jika Mama tidak datang mungkin kamu tidak akan makan sampai sore," tegas Santi yang terus saja merocos panjang seperti rel kereta api.
"Mah! Sudahlah jangan terus marah-marah. Aku akan makan," sahut Nathan.
Nathan yang menghampiri Nasya dan mendorong kursi roda Nasya untuk mendekati sofa. Wajah Santi yang tampak kesal melihat Nathan seperti baby sitter saja yang harus melayani Nasya.
"Mama sudah makan?" tanya Nathan.
"Sudah," jawab Santi dengan ketus.
"Baiklah aku dan Nasya akan makan. Mama jangan hanya berdiri di sana duduklah di sini," ucap Nathan. Santi tidak menurut yang tetap berdiri dengan kedua tangan yang dilipat di dadanya.
Dia melihat bagaimana Nathan membuka satu persatu rantang itu dan melihat ekspresi Nasya yang mengerutkan dahi. Nasya yang tiba-tiba mengambil ponselnya dan mengetik lalu menunjukkan kepada Nathan yang membuat Santi penasaran dan mendekati Nathan yang sedikit mengangkat kepala untuk melihat tulisan di ponsel itu.
"Aku tidak mau makan makanan seperti ini. Aku tidak selera!" tulis Nasya yang membuat Santi melotot. Nasya terlalu jujur.
"Apa kamu bilang tidak selera. Ini masakan saya dan belum pernah ada orang yang tidak suka pada masakan saya," sahut Santi yang pasti sangat tersinggung.
"Lalu bagaimana jika saya tidak mau mau makan makanan seperti ini. Dari melihatnya saja sudah sangat tidak enak dan apalagi memakannya. Tante ingin memaksa saya untuk makan makanan yang tidak saya inginkan," nafas Santi naik turun yang tidak percaya melihat tulisan itu yang benar-benar Nasya sangat kurang ajar.
"Kau...."
"Mah sudah!" Nathan yang langsung bertindak berdiri yang mencoba untuk menenangkan Santi yang pasti memiliki keinginan untuk mencabik-cabik Nasya.
Bersambung.....