"Bagaimana mungkin Yudha, kau memilih Tari daripada aku istri yang sudah bersamamu lebih dulu, kau bilang kau mencintaiku" Riana menatap Yudha dengan mata yang telah bergelinang air mata.
"Jangan membuatku tertawa Riana, Kalau aku bisa, aku ingin mencabut semua ingatan tentangmu di hidupku" Yudha berbalik dan meninggalkan Riana yang terdiam di tempatnya menatap punggung pria itu yang mulai menghilang dari pandangan nya.
Apa yang telah terjadi hingga cinta yang di miliki Yudha untuk Riana menguap tidak berbekas?
Dan, sebenarnya apa yang sudah di perbuat oleh Riana?
Dan apa yang membuat persahabatan Tari dan Riana hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwiey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Flash of memory
Ade menghela napas lelah, menatap pintu apartemennya yang baru saja tertutup setelah kepergian Riana. Untungnya Ade bisa menghentikan kelakuan Riana, sebelum mereka melangkah lebih jauh lagi. Ia dengan cepat mengusir wanita itu, sambil menyerahkan obat yang dinginkan nya.
Ia menoleh ke kamar, tempat Tari bersembunyi. Dengan langkah perlahan, ia berjalan mendekati pintu, lalu membukanya.
Di dalam, Tari duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Air matanya yang tadi mengalir deras kini telah mengering, wajahnya tak berekspresi. Kedua tangannya menggenggam erat sprei yang sudah terlihat kusut, menandakan seberapa lama wanita itu meremasnya.
Ade menutup pintu kamar dan berjalan perlahan ke arahnya. Dengan hati-hati, ia berlutut di depan Tari, menatapnya dari bawah.
“Tari…” Panggil nya lirih.
Tari tidak merespons, namun matanya perlahan beralih menatap lurus padanya.
Tangan Ade terulur, terasa ragu sebelum akhirnya menggenggam tangan Tari yang dingin. Jari-jarinya sedikit gemetar saat menggenggam tangan itu lebih erat.
“Maafkan aku Tari, alasan aku meninggalkanmu dulu adalah karena rasa bersalahku karena secara tidak langsung aku juga ikut membantu Riana untuk membunuh anak kita,” suara Ade terdengar serak.
Tari mengerjapkan mata, air mata kembali menggenang di sudut matanya. Ia menarik napas pelan, sebelum akhirnya bersuara dengan lirih.
“Aku hanya ingin menanyakan satu hal, apa kejahatan yang pernah aku lakukan padamu?”
Ade terdiam sepenuhnya tanpa bisa menjawab. Hanya menggenggam tangan Tari lebih erat, sebagai respon.
Tari menatapnya dengan tatapan penuh luka, “Kau tahu semuanya? Kau turut membantu Riana membunuh anakku?”
Ade masih terdiam, tapi ekspresi wajah bersalahnya cukup untuk memberikan jawaban.
Tari terisak pelan, lalu menarik tangannya dari genggaman Ade. Ia menunduk, bahunya bergetar. “Kenapa… Kenapa kalian sejahat itu padaku, Jika kalian sebegitu membenciku, aku akan pergi menjauh dari kalian berdua?”
Ade menggigit bibirnya, menundukkan kepalanya. “Saat itu aku tak bisa berpikir dengan benar Tari, aku takut anak itu akan menghancurkan masa depan kita berdua.”
Mata Tari membelalak, terlihat sorot mata menyiratkan luka dan kekecewaan besar di sana. “Menghancurkan? Bagaimana bisa kau berpikir bahwa anakku akan menjadi kehancuranmu. Jika kau mengatakan nya padaku, aku akan dengan senang hati menjauh darimu.”
Ade tidak menjawab, bibirnya terasa kelu. Karena semua yang dikatakan Tari adalah fakta yang tak bisa ia bantah.
Tari menutup matanya, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan gemetar. Ia menghapus air matanya dengan kasar sebelum akhirnya berdiri dari tempatnya.
“Aku tak bisa lagi berbagi udara yang sama denganmu”
Ade langsung berdiri, menahan lengannya. “Tari, tunggu—”
Tari menatapnya tajam. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu.”
Ade mengendurkan genggamannya, tapi tidak melepaskannya sepenuhnya. “Obat yang aku berikan kepada Riana, bukanlah obat sungguhan. Itu hanya jamu biasa, besok malam Riana akan memberikan nya padamu.”
Tari memejamkan mata. “Aku akan mengurusnya, kumohon berhentilah dan jangan ikut campur lagi.”
Ade menundukkan kepalanya, tangannya mengepal, keningnya berkerut.
Tari menatapnya untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya berjalan melewati Ade, menuju pintu apartemen.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia berhenti sejenak. Tanpa menoleh, ia berbicara dengan suara yang terdengar dingin, tanpa emosi.
“Jika sedikitpun kau memiliki rasa malu ataupun rasa cinta padaku, aku anggap kau akan pergi dan tak akan pernah menampakkan dirimu di hadapanku lagi.”
Kemudian, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Ade yang membeku di tempatnya.
Setelah keluar dari apartemen Ade, Tari berjalan dengan langkah gontai. Terasa sulit untuk nya untuk hanya sekedar mengambil napas. Kepalanya dipenuhi dengan berbagai kilasan memori kebersamaannya dengan Riana.
Begitu sampai di depan pintu apartemennya, Tari terdiam sesaat melamun menatap pintunya.
Lalu selang beberapa menit, ia menekan kode sandi dan begitu pintu terbuka, Tari masuk dan segera menutupnya kembali. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya perlahan merosot ke lantai.
Air mata yang sempat tertahan kembali mengalir deras. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponsel dari dalam saku celananya, mencari nama Yudha di daftar kontaknya, lalu menekan tombol panggil.
Panggilan tersambung setelah beberapa detik.
“Sayang?” suara Yudha terdengar lembut, sedikit membuat perasaannya lega.
Tari mencoba berbicara, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Air matanya semakin deras mengalir.
“Yu—Yudha…huuuu” Tangisannya pecah, tanpa bisa ia tahan lagi.
“Tari? Apa yang terjadi sayang?”
Tari menutup matanya erat-erat, mencoba mengatur napasnya. “Aku membutuhkan mu…”
“Aku akan ke sana sekarang, aku akan sampai dalam sepuluh menit.”
Begitu panggilan berakhir, Tari menjatuhkan ponselnya ke lantai dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya kembali pecah.
.
.
.
.
Sepuluh menit terasa sangat lama bagi Tari, ia terus menatap jam dinding memastikan waktu.
Lalu suara pintu yang terbuka membuatnya menoleh, begitu melihat Yudha masuk dengan ekspresi khawatir, tanpa pikir panjang, Tari langsung bangkit dari sofa, berlari menghampiri pria itu dan memeluknya erat.
“Yudha…” Suaranya bergetar, air matanya semakin deras mengalir.
Yudha terkejut, tapi dengan cepat membalas pelukan Tari. Tangannya melingkari tubuh istrinya erat, satu tangannya mengusap punggungnya dengan lembut.
“Aku di sini sayang”
Tari terus memeluk Yudha dengan semakin erat, ia sangat membutuhkan dukungan moral saat ini.
“Sayang… ada apa? Apa aku boleh bertanya apa yang terjadi?” suaranya penuh kekhawatiran.
Tari tidak segera menjawab, justru semakin mengeratkan genggamannya pada kemeja Yudha, seakan takut di tinggalkan. Tangisan itu seolah ikut mengalir dan membuat Yudha ikut merasakan sakit.
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Tari sedikit mengendurkan pelukannya. Ia menatap Yudha dengan mata yang sembab dan merah. “Aku tidak ingin kau bertanya.”
Yudha menatap istrinya dengan sorot mata yang sendu. Ia sangat membenci melihat Tari dalam keadaan seperti ini, sebenarnya siapa lagi bajingan yang sudah membuat istrinya seperti ini.
Yudha menyelipkan satu tangan di bawah lutut Tari dan satu lagi di punggungnya, lalu mengangkatnya dengan perlahan, seolah takut membuat nya tidak nyaman.
Tari mengalungkan lengannya ke leher Yudha, wajahnya terbenam di bahu pria itu. Kakinya refleks melingkar di pinggang Yudha, mencari pegangan.
Yudha berjalan perlahan menuju sofa dan duduk dengan gerakan hati-hati, menjaga agar Tari tetap nyaman di pangkuannya.
Tari masih terisak pelan, tanpa mengatakan apapun. Hanya suara isaknya yang mengisi keheningan di antara mereka.
Yudha tidak mengatakan apapun. Ia mengelus punggung istrinya dengan gerakan lembut, ingin menenangkan. Bibirnya sesekali memberi kecupan di puncak kepala Tari.
Tari semakin mengeratkan pelukan itu, tubuhnya yang semula gemetar perlahan berangsur tenang.
Beberapa saat berlalu dalam keheningan.
Jari-jari Yudha mengelus rambut Tari, terus memainkan ujung-ujung helainya.
Setelah beberapa menit, isakan Tari berhenti.
Yudha mulai bicara dengan berbisik, “Kau sudah makan malam kan sayang?.”
Tari mengangguk kecil. Ia masih tak ingin melepaskan pelukan mereka. Perasaannya yang terluka terasa sejenak terobati karena kehadiran suaminya membawa kehangatan pada dinginnya udara malam.