Tidak pernah Jingga bayangkan bahwa masa mudanya akan berakhir dengan sebuah perjodohan yang di atur keluarganya. Perjodohan karena sebuah hutang, entah hutang Budi atau hutang materi, Jingga sendiri tak mengerti.
Jingga harus menggantikan sang kakak dalam perjodohan ini. Kakaknya menolak di jodohkan dengan alasan ingin mengejar karier dan cita-citanya sebagai pengusaha.
Sialnya lagi, yang menjadi calon suaminya adalah pria tua berjenggot tebal. Bahkan sebagian rambutnya sudah tampak memutih.
Jingga yang tak ingin melihat sang ayah terkena serangan jantung karena gagalnya pernikahan itu, terpaksa harus menerimanya.
Bagaimana kehidupan Jingga selanjutnya? Mengurus suami tua yang pantas menjadi kakeknya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Alifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PASCA MENIKAH
Jingga tengah berada di kamarnya saat terdengar suara ketukan di pintu kamarnya, gadis itu melangkah gontai dengan mata yang masih tampak membengkak. Lalu membuka pintu itu perlahan, Rika tampak tersenyum padanya.
“Selamat malam nyonya, Tuan Langit sudah menunggu anda di meja makan,” ucap Rika.
Jingga balas tersenyum, kemudian mengangguk, “Iya bu, saya turun sekarang,” ucapnya. Ia menggelung rambutnya dengan asal, lalu mengusap wajah lelahnya dengan sedikit gusar. Bagaimana tidak, selepas akad siang tadi, ia mengantuk, sangat mengantuk, tapi matanya tak kunjung mau terpejam. Jingga terlalu memikirkan nasibnya, juga memikirkan bagaimana ia akan melalui mala mini. Apakah Langit akan meminta haknya? Atau mereka akan tetap tidur terpisah seperti sebelumnya.
“Mari, nyonya.” Rika menggerakkan tangannya, mempersilahkan Jingga melangkah lebih dulu, kemudian ia mengikuti dari belakang.
Di meja makan, ternyata Langit memang sudah menunggunya. Seperti biasa, tatapan pria itu terlihat sangat tajam. Membuat Jingga menunduk lalu duduk dengan gugup.
“Makanlah,” ucap Langit.
Sebuah kata yang membuat Jingga kembali mengangkat kepalanya. Gadis itu menatap suaminya dengan tatapan terkejut. Selama dua hari ini, baru kali ini Langit berbicara padanya, dan ia baru menyadari satu hal, ternyata meskipun Langit sudah tua, suara pria itu masih terdengar tegas.
Langit memalingkan wajahnya saat Jingga terus menatapnya, ia menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Alex mendekat. Entah apa yang tengah Langit bicarakan pada asistennya itu, pria itu tampak berbisik. Lalu Alex mengangguk, mungkin mengiyakan perintah tuannya.
Pergerakan Alex tak luput dari pandangan Jingga, bahkan pria itu tampak menghampirinya, “Nyonya, setelah menghabiskan makanan ini, anda harus melaksanakan tugas pertama anda. Nanti, tuan Langit akan menunggu anda di kamarnya.”
“Ta-tapi..” Sayangnya, tak ada kesempatan untuk Jingga memprotes atau sekedar bertanya. Tugas? Tugas yang mana yang Alex maksud? Begitu kita-kita isi hati Jingga.
Bayangan malam pertama yang mengerikan atau menggelikan melintas di kepala Jingga. Membuat gadis itu tanpa sadar bergidik dengan wajah memerah. Ia melupakan Rika yang sedari tadi berdiri di belakangnya, perempuan itu menahan tawa melihat Jingga.
“Jangan khawatir nyonya, saya sudah menjelaskan tugas anda bukan? Anda hanya perlu menurut saja pada Tuan,” ucap Rika.
Jingga sontak menoleh, ia juga lupa bahwa Rika seperti cenayang yang tahu semuanya, Jingga mengerjap menahan malu dengan pikirannya sendiri. Bisa-bisanya ia berfikir kotor, jika pun hal itu terjadi, bukankah memang sudah seharusnya? Sudah tugasnya juga berbakti pada suaminya, menyerahkan seluruh tubuhnya adalah hal yang wajar dan HALAL!
"Segera habiskan makanan anda nyonya," ucap Rika lagi saat Langit mulai beranjak. Pria tua itu sudah menyelesaikan makan malamnya.
GLEK
Jingga menelan ludahnya dengan susah payah, rasanya serasa menelan kulit durian saja. Mendadak nafsu makannya hilang, tapi jika tidak makan, ia takut pingsan menghadapi malam ini. Sepertinya Jingga butuh tenaga tambahan untuk melakukan tugas pertamanya.
Rika yang melihat Jingga hanya diam kemudian kembali berkata, "Nyonya, apa anda baik-baik saja?"
Jingga mengangguk lesu, "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit lemas.." tuturnya dengan suara semakin melemah.
Rika segera mendekat, menyimpan punggung tangannya di dahi sang nyonya. Guna memeriksa apakah nyonya-nya itu demam? Atau sakit yang lainnya, "Anda sakit?" tanyanya, terselip Mada kecemasan dalam pertanyaannya.
Jingga menggeleng, "Aku baik-baik saja. Hanya mendadak lemas, mungkin karena ngantuk," jawab Jingga.
"Ya Tuhan, kasihan sekali anda. Padahal malam ini anda harus begadang, apa saya perlu membeli obat untuk anda nyonya? misalnya obat penahan gugup? Atau obat kuat?" tanya Rika.
"Apa?" Jingga menatap Rika dengan mata memicing, bibirnya terkatup rapat, menahan geram atas pertanyaan Rika yang sengaja menggodanya.
"Jangan marah nyonya, bukan seperti itu maksud saya. Obat kuat menahan kantuk yang saya maksud, bukan yang lain."
Jingga semakin geram, Rika semakin menggodanya. Tapi entah mengapa, ia tak bisa marah pada perempuan itu. Mungkin karena Rika mengingatkannya pada sosok sang ibu, perempuan itu juga memperlakukannya dengan sangat baik