Semua telah terjadi, imanku rasanya telah kubuang jauh. Berganti Nafsu syahwat yang selama ini selalu kupendam dalam-dalam.
Apakah ini benar-benar keinginanku atau akibat dari sesuatu yang diminumkan paksa kepadaku oleh pria-pria itu tadi.
Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu.
Satu yang pasti, aku semakin menikmati semua ini atas kesadaranku sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjenguk Keluarga
...𓀐𓂸ඞ 𓀐𓂸ඞ...
Siang itu aku ditelfon istriku yang meminta agar aku cepat pulang. Katanya Rinda minta diantar pulang ke kampungnya malam ini. Salah satu Om-nya ada yang sakit keras dan dia diminta pulang oleh ayahnya.
Aku pun menyetujuinya, selepas aku mendapat ijin dari atasanku, aku dengan cepat pulang ke rumah.
Ketika tiba di rumah, kulihat Rinda masih santai-santai di lantai atas. Tak kulihat raut wajah sedih atau panik. Sepertinya dia memang tak begitu peduli pada yang terjadi di keluarganya.
Beda halnya dengan istriku yang langsung menyiapkan bekal untuk perjalanan keluar kota mengantar Rinda nanti.
“Loh.. kok mama yang repot sih? Rinda aja santai gitu...” tanyaku kala melihat istriku sedang membungkus kue untuk oleh-oleh.
“Biarin Bim... mama yang suruh Ariefna supaya bantuin Rinda,” bukan istriku yang membalas, malah mertuaku yang bicara dari arah belakangku.
“Ohh.. iya Ma.. baik.”
Lagi-lagi kalau mertua yang bicara aku pun tak bisa menentangnya. Bukannya gimana-gimana tapi aku menghormati segala keputusan mertuaku.
Kali ini aku pergi dengan Rinda hanya berdua saja. Istriku tak boleh ikut karena harus menemani mertua di rumah. Lagipula esok pagi anak kami juga masih sekolah, jadi dia dan anakku tak bisa ikut.
Sekitar pukul 5 sore aku dan Rinda akhirnya berangkat dari rumah. Tempat tujuan kami tidak memerlukan waktu tempuh yang panjang, mungkin sekitar 3 jam saja, tapi ada beberapa kilometer jalan perkampungan yang sepi dan sempit harus kami lalui untuk mencapai kampung halamannya.
Rinda itu memang terbilang anak desa aslinya, tapi pergaulannya dengan orang-orang kota lah yang membuatnya bisa bertemu dan berjodoh dengan Rizal.
Saat di perjalanan Rinda terlihat santai saja. Mungkin karena yang mendapat musibah itu bukan keluarganya langsung. Dia juga mengaku kalau tidak begitu dekat dengan Om-nya yang sedang sakit itu.
Rinda juga cerita kalau Om-nya itu sudah lama pergi ke luar negeri dan kembali ke kampung baru setahun ini. Wajar saja memang kalau dia tak begitu dekat dengan adik ayahnya itu.
“Pelan-pelan aja mas...” ucapnya.
“Ehh.. kalo pelan mana bisa cepet sampai.. ntar keburu malam aku malas mau lewat jalan sepi.. mana kampungmu itu di pelosok lagi,” balasku sedikit mengejeknya.
“Ihhh.. biar asalnya dari kampung tapi gak kampungan kan.. bener gak mas?”
“Hehe.. iya.. iya...”
Obrolan kami terhenti lagi ketika HPnya bunyi. Sepertinya keluarganya yang menelpon Rinda, menanyakan sudah sampai mana pastinya. Dia tak bicara lama, setelah mengatakan nama lokasi yang kami lewati dia mematikan lagi telfonnya.
“Ibuku tadi mas.. nanyain sudah sampe mana.”
“Iya, wajar dia khawatir.. memastikan anaknya baik-baik saja,” balasku sok bijak.
“Eh, tapi Rizal udah kamu kasih tau kalo aku mengantarmu pulang?” sambungku.
“Udah kok mas.. mama juga udah telfon suamiku.”
“Dia komentar gimana?”
“Ya gapapa.. dingin aja...” balasnya kecut. Ada sesuatu beban pada nada bicaranya.
“Ohh...”
Mobil yang kami kendarai sudah sampai di sebuah wilayah dengan jalanan yang penuh lobang. Kami terus melaju menembus suasana sepi dan lengang. Kulihat jam di dashboard mobilku masih pukul 8 malam.
Kupikir wajar kalau jam segini penduduk kampung sudah masuk ke dalam rumah mereka. Beda banget dengan kehidupan kota yang bisa dibilang tak pernah punya jam tidur.
“Bentar lagi ada jembatan kecil mas.. pelan-pelan aja...”
“Oke...”
Tepat seperti yang Rinda bilang, di depan kami memang ada jembatan kecil. Jalannya pas banget satu mobil saja, tidak bisa untuk memberi tempat kendaraan dari arah berlawanan. Setelah melewati jembatan itu kami bertemu dengan jalan bercabang, lagi-lagi Rinda mengarahkan jalan mana yang harus dilewati.
Sebagai orang yang sudah lama tinggal di kota rupanya ingatannya masih tajam tentang jalan-jalan menuju kampungnya.
“Lurus aja mas.. ntar kalo lihat rumah tingkat warna ijo.. itu dia rumahku.”
“Iya Rin.. siap.”
Kami pun memasuki area perkampungan dengan jalannya yang sempit. Meski terbilang sepi tapi rumah-rumah di sekitar jalan yang kami lalui banyak yang bagus dan bertingkat. Katanya sih di daerah sini memang penghasil tembakau, jadi penduduk sekitar berhasil hidup berkecukupan berkat komoditas tembakau yang mereka tanam.
“Masukin aja mas.. halamannya luas kok, biarpun udah ada yang parkir juga."
“Beneran nih dimasukin?”
“Iya, aku udah siap kok kehilangan yang satunya.”
“Lahh, ini ngomongin apaan sih? pusing yah kamu Rin?”
“Hihihi.. gakk, cuma sekedar ibarat kata aja mas.”
“Hhhhh, dasar.”
Begitu kubawa masuk mobilku, ternyata di halaman rumah Rinda sudah terparkir sebuah mobil lainnya. Mesinnya nampak sudah dihidupkan, terlihat dari lampu-lampunya yang dinyalakan. Aku langsung memarkir mobilku di tempat yang tak menghalangi jalan keluar mobil itu tadi.
“Eh, itu mereka udah mau berangkat,” seru Rinda membuka kaca mobil.
“Itu ayahmu yah? kemana sih malam-malam gini?”
“Mau ke rumahnya paman,” balasnya singkat lalu segera keluar dari mobil yang kami tumpangi.
Kumatikan mesin mobilku dan keluar mengikuti Rinda. Dia langsung mendekati lelaki setengah baya yang berdiri di depan pintu.
“Sehat semua Rin?”
“Sehat yah.. alhamdulillah,” balasnya sambil mencium tangan lelaki itu. Aku pun ikut bersalaman sambil menebar senyum ramah.
“Kalian istirahat saja.. kami mau ke rumah pamanmu dulu,” ucap ayahnya Rinda pada kami.
“Eh, ibu juga ikut? Rumahnya kosong dong yah?”
“Iyaa.. gak apa-apa... kalo mau makan sudah disiapkan sama ibumu... mungkin kita baru pulang besok pagi...”
Sesaat kemudian muncul seorang wanita seumuran mertuaku dan pemuda di belakangnya. Aku yakin itu adalah ibunya Rinda dan adiknya.
Dia memang punya satu adik laki-laki yang masih kelas 11 SMA. Rinda kembali mencium tangan wanita itu dan aku pun ikut menyalaminya juga.
“Ini Bimantara yah? suaminya neng Ariefna?”
“Iya bu... panggil saja Bima...” balasku sopan.
“Titip rumah ya nak.. kita mau ke rumahnya sodara.. kalian istirahat saja dulu..”
“Iya bu..”
Mereka bertiga lalu beranjak masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan kami. Rinda langsung menutup pintu rumahnya begitu mobil yang dikendarai keluarganya sudah menghilang di ujung jalan.
“Santai aja mas.. anggap rumah sendiri..” ucapnya kemudian masuk ke salah satu kamar.