Buku Merah Maroon seolah menebar kutukan kebencian bagi siapapun yang membacanya. Kali ini buku itu menginspirasi kasus kejahatan yang terjadi di sebuah kegiatan perkemahan yang dilakukan oleh komunitas pecinta alam.
Kisah lanjutan dari Rumah Tepi Sungai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku tidak mau menjadi dewasa!
"Danc*kk!" umpat Aldo melayangkan satu pukulan penuh amarah pada Anggoro. Tubuh kurus itu jatuh di atas rerumputan.
"Kamu mau mencelakai semua orang? Hah?! Kamu dendam padaku? Padahal selama ini kita berteman Anggoro! Semua yang kulakukan hanya guyonan. Seharusnya kamu mengerti itu!" Aldo meluapkan kekesalannya setelah mendengar cerita Putra kalau Anggoro menempelkan stiker pada pohon beracun.
Anggoro meringis kesakitan, tetapi mulutnya tidak mengaduh. Dia memilih tetap membaringkan tubuhnya di atas rerumputan. Mendongak menatap langit yang terlihat biru cerah.
Telinga Anggoro berdenging hebat. Bukan karena efek pukulan dari Aldo. Melainkan perkataan aneh yang dilontarkan oleh anak kepala sekolah itu yang membuat Anggoro bergeming.
Selama ini kita berteman? Apa yang dilakukan adalah guyonan? Hah? Ucapan itu terekam, dan diputar ulang dalam benak Anggoro.
Teman macam apa yang pernah mengencingi buku Anggoro? Teman macam apa yang suka merampas uang jajan? Teman macam apa yang memanggil Anggoro dengan nama hewan? Anjing, Codot, nyambek, kuro, dan masih banyak yang lainnya. Dada Anggoro terasa sesak kini.
"Hey hey, jangan berkelahi!" Pak Nafi' mendekat untuk melerai.
"Pengecut yang hendak mencelakai teman sepertinya layak untuk dihajar." Aldo menggeram, menatap Pak Nafi'.
"Maaf Nak Aldo, tapi aku yakin ini salah paham. Kemarin Anggoro bersamaku saat menempel stiker dan kupastikan tidak ada pohon yang berbahaya," ucap Pak Nafi' menenangkan.
"Jadi, maksudnya ada orang yang melakukan sabotase?" tanya Aldo. Pandangannya beralih pada Pak Dolah yang duduk santai di depan tenda. Sekilas Aldo melihat, Sang survivor tersenyum penuh arti pada kerumunan bocah SMA yang sedang ribut itu.
"Bapak berjanji akan menyelidikinya," sahut Pak Nafi' bersungguh-sungguh.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Pak?" tanya Putra terlihat panik.
"Kurasa sebaiknya kalian semua berkunjung ke rumah Bu Anggun. Disana pasti lebih aman dan nyaman. Lagipula beliau sudah mengundang untuk makan malam. Bukan begitu Gery?" Pak Nafi' meminta persetujuan Gery.
"Ya, begitulah," jawab Gery ragu-ragu.
"Tapi Rana dan Bastian belum kembali," sergah Nana. Dia merasa ide untuk ke rumah Bu Anggun bukanlah solusi yang tepat.
"Aku dan Pak Dolah akan mencari mereka," balas Pak Nafi' meyakinkan.
Pada akhirnya semua peserta perkemahan berjalan ke rumah Bu Anggun dipimpin oleh Gery berjalan paling depan. Sedangkan Nana tampak enggan dan memilih berada di belakang. Selepas kepergian murid-muridnya, Pak Nafi' berjongkok di dekat Anggoro yang masih betah meringkuk di rerumputan.
"Butuh bantuan untuk berdiri?" tanya Pak Nafi' tersenyum. Anggoro memiringkan tubuhnya membelakangi Pak Nafi'.
"Aku tidak menandai pohon yang beracun. Tetapi aku yang harus dipukul," ucap Anggoro lirih.
"Bukankah aku sudah membelamu, Nak?"
"Asal Bapak tahu saja, aku sudah terbiasa menerima pukulan darinya. Hanya saja baru kali ini terjadi di depan Bapak, dan menyesal rasanya berpikir aku akan terlindungi saat bersama orang dewasa."
Pak Nafi' terdiam mendengar perkataan Anggoro yang tajam. Guru BK itu menghela napas, kemudian berdiri sembari membetulkan letak kacamatanya.
"Bagaimanapun dalam kegiatan ini aku adalah penanggungjawabnya. Aku akan menemani kalian, hingga pulang nanti dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa. Bangunlah. Segera susul teman-temanmu. Aku dan Pak Dollah harus memanggil Rana dan Bastian," ujar Pak Nafi' datar. Senyumnya mendadak hilang.
"Satu hal yang perlu kamu mengerti Anggoro. Kehidupan orang dewasa itu rumit. Kita memang memiliki idealisme, tetapi seringkali dibenturkan dengan kenyataan. Aku mengerti kadang-kadang Aldo bersikap kurang baik padamu dan teman yang lain. Aku pun ingin memberinya teguran, tetapi keadaan tidak memungkinkan untuk melakukannya. Maka apa yang bisa dilakukan? Terus mengawasinya dan yakin, kelak dia akan berubah," tukas Pak Nafi'.
Anggoro bangun dari tidurnya di atas rerumputan. Dia mengusap-usap lengan dan paha yang sedikit kotor. Pak Nafi' kembali tersenyum. Menepuk pundak Anggoro pelan.
"Mari Pak Dollah," ajak Pak Nafi' menoleh pada Pak Dollah yang berdiri termenung di belakang. Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju ke hutan.
Anggoro membuang ludah. Warna merah maroon bercampur dengan liurnya. Sensasi anyir dirasakan karena sudut bibirnya yang berdarah.
"Menunggu Aldo berubah? Bahkan kematian orang sepertiku pun takkan mengubah sifat begundal macam dia. Orang dewasa memang hanya memikirkan urusan perut. Idealisme bisa dibeli, prinsip hidup mengikuti siapa yang bisa memberi kejayaan. Menyedihkan. Aku tidak sudi menjadi dewasa yang demikian itu."
Anggoro kembali meludah. Dia berjalan terseok menuju ke tenda. Anggoro mengambil tas ransel dan meraih kotak p3k di dalamnya. Ia menyeka sudut bibirnya dengan kapas. Lalu mengambil obat pereda nyeri dan meminumnya.
Masih termenung di dalam tenda, sayup-sayup Anggoro mendengar bunyi langkah kaki mendekat. Tentu rasa penasaran mengusiknya. Siapa gerangan yang ada di luar tenda? Komplotan Aldo? Atau mungkin Pak Nafi' sudah kembali?
Bunyi langkah kaki rupanya tidak mendekati tenda tempat Anggoro berdiam. Perlahan, Anggoro melongok keluar. Tampak seseorang yang mengenakan jas hujan hitam sedang berjongkok masuk ke dalam tenda Pak Dollah.
Anggoro tidak dapat melihat rupa wajah orang di balik jas hujan itu. Yang pasti, Anggoro menyaksikan pada bagian lengan jas hujan dipenuhi cairan berwarna merah maroon. Dengan hati-hati, Anggoro kembali masuk ke dalam tenda. Kemudian mengambil sleeping bag, dan menyembunyikan dirinya disana. Anggoro juga menata beberapa tas ransel di atasnya. Ia bersembunyi dengan rasa takut yang nyaris membuat tubuhnya menggigil.
Beberapa menit berlalu. Dan benar saja, terdengar langkah kaki di depan tenda Anggoro. Detik berikutnya suasana senyap. Anggoro di dalam sleeping bag merasa yakin jika sosok berjas hujan hitam tadi sedang berdiri di bibir tenda dan mengamati.
Sementara itu, rombongan Aldo terus melangkah menuju ke rumah Bu Anggun. Nana yang berada di belakang tiba-tiba berjalan mendahului, kemudian berhenti tepat di depan Gery.
"Ada apa Nana?" tanya Aldo sedikit membentak.
"Sebaiknya kita tidak berkunjung ke rumah itu. Sejujurnya selama berada disana aku merasakan sensasi menakutkan yang tidak nyaman. Kalian tahu kan berita tentang rumah itu beberapa tahun yang lalu?" ucap Nana ketakutan.
"Apa-apaan ini. Padahal kamu paling jago beladiri di antara semua yang ada disini. Tapi malah ketakutan dengan cerita dongeng yang dilebih-lebihkan," sergah Aldo ketus.
"Gery, katakan sesuatu! Kamu juga merasakannya kan selama disana tadi?" Nana meminta pembelaan pada Gery.
"Ya sejujurnya rumah itu terasa hangat. Tetapi benar apa yang dikatakan Nana, ada sesuatu yang tidak nyaman menguar dari lantai atas. Meski begitu, menurutku tetap lebih aman jika kita berdiam disana. Mengingat ada orang yang melakukan sabotase pada kegiatan kita. Bukan tidak mungkin kegiatan kita selanjutnya lebih beresiko lagi," tukas Gery terdengar bijak. Nana melotot karena merasa Gery tidak membantunya.
"Jika begitu, kenapa kita tidak pulang saja? Apalagi sapu tangan yang dibawa Pak Dollah itu miliknya kan? Bisa saja Pak Dollah hendak menjebak kita," pekik Yuzi tiba-tiba. Semua orang terdiam. Apa yang dikatakan Yuzi hampir semua orang berpikiran serupa.
"Brengsek! Kita tetap harus menunggu Bastian. Begini saja, kita berdiam di rumah Bu Anggun. Sambil mencari informasi tentang si Dollah the Explorer itu. Kita bisa numpang wifi untuk browsing dan apapun itu pokoknya. Soal rumah itu horor, tai kucing lah! Jangan percaya sesuatu yang tidak pernah kalian lihat!" perintah Aldo sambil melotot.
Wah, ada kuku? Kuku siapa yah 🤔🤔🤔
Mak Ijah kali ya yang grubak-grubuk mutusin kabel..