Dante, pria kejam yang hidup di dunia kelam, tak pernah mengenal rasa iba. Namun segalanya berubah saat ia bertemu Lea, gadis lugu yang tanpa sengaja menjadi saksi pembunuhannya. Lea, seorang guru TK polos, kini menjadi obsesi terbesarnya—dan Dante bersumpah, ia tidak akan melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
Pagi itu cerah, secerah hati Lea yang merasa lega karena kakaknya sudah sembuh. Walaupun suasana hati kakaknya masih agak murung, Lea tetap merasa bersyukur. Ia sempat mengajak kakaknya untuk berangkat bareng naik bis, tapi Lia lebih memilih naik ojek dan sudah pergi duluan. Kini, Lea sudah siap dengan seragam gurunya, tas selempang di tangan, dan senyum lebar di wajahnya, berharap hari ini berjalan lancar tanpa gangguan apapun.
Saat sedang berjalan, kakinya menendang sebuah kotak kecil yang tergeletak di halaman. Lea berhenti, mengerutkan dahi, lalu jongkok untuk mengambil kotak itu. Ia memeriksa kotak tersebut, bertanya-tanya, "Punya siapa ini?" Setelah membuka penutupnya, ia menemukan sebuah surat yang terlipat rapi di dalamnya. Lea membuka surat itu dengan penasaran dan membaca isinya.
"Buka dan tolong terima ini sebagai hadiah untukmu karena telah membantuku"
Lea mengerutkan dahinya, merasa bingung. Dengan hati-hati, ia membuka kotak tersebut, dan matanya langsung membulat. "Apa ini?" bisiknya pelan sambil mengambil benda itu. Begitu melihatnya lebih jelas, ia terkejut. "Astaga, ini ponsel mahal!" serunya, masih belum percaya.
Namun, itu belum selesai. Terselip di balik ponsel baru itu, ada sebuah surat. Lea membuka surat tersebut dan membaca isinya.
"Ada nomorku di sana. Kamu bisa hubungi aku."
Tangannya cepat menyalakan ponsel itu, dan langsung muncul aplikasi hijau di layar. Lea membuka aplikasi tersebut, dan di situ ada nomor Dion tertulis. Ia mengerutkan dahi, bingung.
Dia berpikir keras, "Siapa Dion?" pikirnya. Namun, beberapa detik kemudian, dia teringat dan bergumam, "Ah, iya... pria itu," lirihnya pelan.
"Biar nanti aku telpon," lirihnya pelan. Setelah itu, dengan hati-hati, dia memasukkan ponsel baru dan mahal itu ke dalam tasnya. Lea segera bangkit dan bergegas berjalan menyusuri jalan, karena hari ini dia tidak boleh terlambat untuk mengajar.
----
Jam istirahat tiba, Lea berjalan sendirian ke kantin. Di lingkungan sekolah, dia lebih suka menyendiri karena tidak ada teman sejawat yang cocok. Kebanyakan guru sudah tua, dan jika Lea ikut berkumpul, pasti ada saja yang bertanya, "Kapan menikah? Anak ibu seumuran kamu sudah punya anak." Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat Lea muak, jadi dia memilih untuk menyendiri di kantin dan makan sarapan yang ia bawa.
"Ahh, ini enak sekali," ucapnya dengan sangat nikmat. Kali ini, dia makan bekal olahan sang kakak, jadi bisa menghemat uang jajan.
Saat Lea sedang asyik menyantap bekalnya, tiba-tiba seorang pria berdiri di hadapannya dan berdehem. membuat lea hampir tersedak saking kaget nya.
Mata Lea membulat, dan selera makannya langsung hilang. Dia menatap pria itu dengan sinis. "Ngapain sih?" gumamnya pelan, sambil melemparkan pandangan tidak suka ke arah Dante.
Namun, Dante malah santai duduk di hadapannya. Para guru di sekitar mereka mulai berbisik, terpesona dengan ketampanan Dante. Bahkan ada yang berkata, "Lea nggak cocok deh kalau disandingkan sama pria setampan itu."
Lea merasa kupingnya memanas. Tanpa pikir panjang, dia langsung berdiri, menarik tangan Dante, dan membawanya menjauh dari keramaian kantin.
"Kamu siapa sih sebenarnya kenapa mengikuti aku terus ,oke. aku minta maaf aku akan jaga rahasia janji tapi jangan ikuti aku terus dong" lirih nya memohon dengan tatapan mengiba.
Namun dante hanya menatap datar,lalu dia berkata dengan nada yang dingin,
"Kita berteman sekarang!"
Lea membulatkan mata,"berteman" lirih nya hampir seperti bisikan,tiba tiba dia teringat saat pria di hadapan nyaa menghabisi orang lain, tubuh nya bergidik ngeri ,lea mundur beberapa langkah dan berkata,"tidak aku tidak ingin menjadi teman mu" dengan cepat dia berlari kembali ke area sekolah.
--
Tepat pukul 12 siang, Lea menatap jam di dinding dengan lesu. Waktunya pulang, tapi seolah tubuhnya berjalan otomatis saat dia membereskan meja kerjanya. Pikirannya terbayang terus pada pria yang sempat berusaha menemuinya tadi saat jam istirahat. Wajahnya, tatapan matanya yang tajam, masih membekas di benaknya. Ada rasa cemas yang tak bisa ia hilangkan, namun ia berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya. "Apa yang sebenarnya dia inginkan?" pikir Lea dalam hati, merasa ragu apakah ia harus mencari tahu atau justru menghindar.
Lea duduk di halte, merasakan panas terik matahari di kulitnya, namun lebih dari itu, kecemasan di dalam dirinya membuatnya merasa tak nyaman. Ia mencoba untuk tenang, menunggu bis yang datang, tapi saat matanya melirik ke arah seberang jalan, dia terkejut melihat pria itu berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tak bisa ia lupakan.
Pelan, Lea mendesah. Tenangannya hilang seketika. Rasa ragu dan cemas bercampur aduk dalam dirinya. Dalam kebingungannya, bis akhirnya datang, dan dengan langkah cepat, Lea masuk tanpa menunggu lebih lama. Namun, tak diduga, pria itu mengikuti dan masuk ke dalam bis yang sama. Ia duduk di sebelah Lea, dengan jarak yang cukup dekat.
Lea menoleh sekilas, mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar. "Kenapa dia mengikuti aku?" pikirnya. Keheningan di antara mereka semakin terasa, meski udara di dalam bis terasa semakin panas.
Lea menoleh ke Dante dengan tatapan lelah. “Apa kamu tidak lelah terus mengikuti aku?” tanyanya, suaranya terdengar lesu, seperti tenaganya sudah habis. Rasanya, segala upaya untuk tetap tenang sirna begitu saja.
Dante menatapnya dengan mata yang penuh pengertian. "Aku Dante, dan kita bisa berteman," ujarnya, mencoba meyakinkan Lea. Namun, kata-katanya justru membuat Lea mendelik tak percaya.
"Aku gak mau berteman dengan pembunuh," jawab Lea spontan, sebelum ia bisa menahan kata-kata itu.
Tiba-tiba, terdengar suara teriakan dari salah seorang penumpang di depan mereka. "Apa?!" serunya, terdengar kaget. Ia tampaknya tidak sengaja mendengar percakapan mereka.
Lea dan Dante saling berpandangan, panik. Dalam keheningan yang tegang, Lea langsung mencari alasan. "Ah, maksudku dia tadi sudah membunuh cicak, jadi aku mengklaimnya sebagai pembunuh," jawabnya dengan senyum terpaksa, berusaha menutupi kegugupannya. Perempuan di depan mereka tampak ragu, namun tidak berkata apa-apa lagi, hanya memandangi Lea dengan tatapan aneh.
Lea meringis, merasa semakin terjebak dalam percakapan aneh ini, sementara Dante hanya tersenyum tipis, seakan tidak terganggu dengan situasi yang canggung. "Apa kita bisa berteman?" tanyanya lagi, kali ini lebih santai.
Lea mendelik tajam, mencoba menahan rasa tidak suka yang mulai muncul. "Terserah," jawabnya singkat, dengan nada yang jelas menunjukkan ketidaksukaan.
Dante sepertinya tidak terlalu terpengaruh dengan sikap Lea, tetapi ekspresi di wajahnya sedikit berubah, seolah dia mulai mengerti betapa Lea benar-benar tidak ingin terlibat. Namun, dia tetap diam.
Lea merasa tubuhnya kaku mendengar bisikan Dante yang begitu dekat di telinganya. "Ingat, aku akan terus mengejarmu, karena aku menyukaimu," bisik Dante dengan suara rendah, namun tegas. Kata-katanya membuat Lea merinding, dan seketika itu juga, rasa tidak nyaman mengalir di seluruh tubuhnya.
Lea menoleh dengan cepat, mencoba menghindari tatapan mata Dante, tetapi tak bisa menghindar saat mata mereka bertemu. Ada sesuatu yang tajam dan mendalam dalam pandangan Dante, membuat Lea merasa seolah-olah dia sedang tertangkap dalam suatu perangkap. Jantungnya berdebar cepat, dan dia berusaha menenangkan diri, tapi tubuhnya tetap terasa kaku, tak mampu bergerak dengan leluasa.