BADANMU ITU KAYAK GAPURA DESA!
Itulah kalimat yang sering di dengar Berryl, seorang wanita karir bertubuh gemuk yang selalu berpenampilan sederhana dan nerd.
Ia selalu tak beruntung dalam kehidupan sosialnya. Wanita itu acap kali mengalami pembullyan dan pengkhianatan.
Dihina, direndahkan dalam lingkungan kerja, bahkan difitnah oleh orang yang ia percaya. Parahnya, keluarga sang suami ikut memperlakukan nya dengan semena-mena.
Pada akhirnya, Berryl berusaha bangkit, ia bertekad akan membalas semua perlakuan buruk yang ia dapat.
Akankah Berryl berhasil membalas mereka semua?
Hallo Readers, saya ingin menginfokan bahwa novel PEMBALASAN ISTRI GENDUT merupakan novel yang pernah saya rilis di akun saya yang lain dengan nama pena Zindvl. Novel ini sudah saya hapus di akun lama dan saya rilis kembali di akun baru saya dengan nama pena Dae_Hwa yang memiliki makna mutiara yang berkilau. Saya harap di akun baru ini, saya dapat berkilau bak mutiara yang indah ✨
Mohon dukungannya 👊🏼
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIG 26
"Argghh ..! Orang sinting mana sih yang sudah membooking seluruh alat transportasi di lingkungan ini untuk dua puluh empat jam?! Bikin repot orang saja ...!" protes ku saat mendapat jawaban yang sama dari para supir transportasi.
'Maaf, sudah di booking untuk dua puluh empat jam.' Kalimat yang sudah ku dengar lebih dari seratus kali hari ini, selama satu setengah jam. Dan kini sudah satu jam aku berjalan kaki, mencari transportasi yang bisa membawaku pulang ke rumah. Bahkan, perutku sampai keram saking lelahnya.
Semoga saja bayi di dalam perut ini aman. ucapku dalam hati.
Dengan kesabaran super extra, akhirnya aku sampai juga di rumah Mas Ibnu. Lekas ku lepas masker yang menutupi separuh wajahku dan membuangnya ke tong sampah. Ku seka keringat yang mengalir di ujung keningku. Pelan ku dorong gagang pintu rumah, aku melangkah dengan hati-hati. Berharap tak bertemu dengan dua penghuni rumah yang menyebalkan itu.
Semoga saja mereka tak ada di rumah. batinku sambil mengedarkan pandangan ku ke seluruh ruangan.
Suasana rumah begitu sepi, padahal sudah hampir jam tiga. Apa mereka masih ber gibah dengan para tetangga? Dasar orang-orang tak berguna.
Aku melangkahkan kaki ku ke dapur, segera ku buka tudung saji. Aku meneguk saliva ku berkali-kali ketika melihat tujuh potong ayam goreng dan semangkuk sambal cocolan. Tak ingin berpikir lama, aku lekas menyambar sebuah piring dan menyendok nasi sebanyak-banyaknya.
"Ah, nikmatnya ...!" tak terasa, aku sampai menambah nasi tiga kali. Entah kenapa akhir-akhir ini nafsu makan ku meningkat luar biasa. Bahkan berat badanku naik lima kilogram, saat aku menimbang berat badan di rumah sakit tadi.
Apa ini efek samping dari injeksi whitening? Apa jangan-jangan ini ulah Berryl? Aku harus memastikannya.
"Astaga, kamu makan tuh mbok ya kira-kira dong, Nay. Kok gak ninggalin untuk yang lain sih?!" protes Ibu Mertua tiba-tiba ketika melihat ayam goreng yang hanya tersisa sepotong.
Haduh, tua bangka ini kenapa tiba-tiba nongol sih. Mana masker tadi sudah aku buang, gimana ini? Dia pasti akan menghina ku habis-habisan.
"Ya ampun, nasi juga tinggal segini? Kamu ini mau jadi kudanil ya, Nay?!" Ibu Mertua kembali protes, ketika melihat nasi hanya tersisa satu centong saja.
"Hey, kalau orang tua ngomong itu coba di denger, di jawab. Ini diam saja, jangankan menjawab, menoleh saja tidak. Dasar menantu gak tau sopan santun ...!" Ibu meninggikan suaranya.
Dengan berat hati aku menoleh, menatap Ibu Mertua. "Maaf ya, Bu. Aku lapar banget."
Ibu mertua bergeming ketika aku menatapnya. Wajahnya nyaris seperti mayat, pucat pasi.
"S-setaaaan ...!" jerit Ibu yang kemudian tak sadarkan diri.
Jiabang bayik ...! aku di kira setan?!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semalam, aku habis-habisan dimarahi oleh Mas Ibnu dan Nela. Mereka begitu murka karena lauk pauk mereka untuk makan sore, nyaris tak bersisa. Apalagi ibu mereka sampai jatuh pingsan karena melihat wajahku.
Darahku kembali mendidih rasanya jika teringat kembali bagaimana Nela mentertawakan wajahku.
"Dasar, tidak punya sopan santun, aku sumpahin dia jadi perawan tua! Eh ... tapi kan dia sudah tidak perawan, ha ... ha ...!" Aku terkekeh di sebuah ruangan kecil dengan kaca pembatas.
Aku bergeming ketika melihat sosok wanita paruh baya menatapku malas. Sorot matanya tidak lah ramah, mungkin dia kesal karena sudah satu tahun aku tidak membesuknya. Ya, kini aku tengah berada di Lembaga Pemasyarakatan untuk menjenguk ibuku yang sudah beberapa tahun menjalani masa penahanan. Tubuhnya kini begitu kurus, rambutnya hampir penuh tertutup uban. Penampilannya tampak jauh lebih tua dibanding umurnya.
"Mau ngapain kamu kesini, Nay? Pasti lagi banyak masalah," tebak Ibu.
"Kok, Ibu tau?" Aku tersenyum canggung.
"Ya kamu kan memang seperti itu. Kalau lagi senang gak ingat sama ibumu, tapi kalau susah? Langsung deh mengunjungi ibu. Padahal ibu di dalam sini juga karena akibat ingin memberikan kamu kehidupan yang layak," lirih Ibu.
Aku menghela napas kasar ketika mendengar ibu kembali mengungkit hal yang sama, membuat aku selalu malas menjenguknya. Sejenak aku terdiam, bagaimana cara memberitahu ibu tentang kondisi ku saat ini.
"Terus, itu wajahmu kenapa, Nay? Alergi mu kumat?" tanya Ibu, ada kekhawatiran yang ku tangkap di wajah Ibu meskipun hanya sepintas.
Aku mengangguk pelan. "Bu, ada yang ingin ku katakan."
Ibu mulai menatapku serius. "Apa?"
"Aku hamil, Bu."
Suasana hening cukup lama, ibu berkali-kali menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.
"Sama siapa?" tanya Ibu akhirnya.
"Entahlah, Bu." jawabku bingung, karena memang membingungkan untuk menentukan siapa ayah dari anak yang ku kandung saat ini.
"Berapa orang?" Ibu mengelus pelan dadanya.
"Sejak beberapa bulan ini, dua orang, Bu." Aku mengigit ujung bibirku.
"Tampan?" tanya Ibu, dan aku mengangguk pelan.
"Kaya?" tanya Ibu kembali.
Aku menggeleng pelan kepala ku. Ku lihat ibu mengepalkan jari jemarinya yang ringkih.
"Kelemahanmu itu hanya satu, Nay. Pria tampan ..! Mulutmu selalu berceloteh akan menikahi pria kaya. Namun, begitu melihat pria tampan? Semua omonganmu bak menjadi buih di lautan, menghilang begitu saja. Dan kau akan kembali terjebak pada pria tampan kere, sama seperti aku sebelum mengandungmu. Hah, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya ...!" cicit Ibu.
Aku hanya diam mendengar segala ocehan ibu, karena yang diucapkan nya semua adalah fakta tak terbantahkan.
Setelah lima belas menit mendengar segala celoteh nya, ibu di bawa kembali kamar tahanan oleh petugas. Aku pun bergegas angkat kaki dari lapas yang menjadi rumah dari para narapidana.
Setelah melakukan perjalanan empat puluh lima menit, akhirnya aku bisa meluruskan kakiku di salon Mbak Rani.
Mbak Rani tampak tersentak melihat kondisi wajahku, aku pun hanya menjelaskan sekedarnya saja.
"Mbak, kok nafsu makan ku gila-gilaan ya semenjak injeksi whitening yang terakhir itu? Berat badan ku juga bertambah, Mbak. Apa mbak gak sengaja memberikan ampoule yang salah padaku? Atau, memang kamu sengaja memberikan ampoule yang salah padaku, Mbak?" Aku langsung to the point saja menanyakan pada Mbak Rani.
"Salah ampoule? Ya gak mungkin lah, Nay. Mbak selalu memeriksa berkali-kali sebelum menyuntikan apapun ke kulitmu yang mulus ini. Kamu ini, kok malah nuduh-nuduh mbak sembarangan begitu sih," ketus Mbak Rani.
Melihat Mbak Rani menjawab ketus seperti itu, aku jadi sedikit canggung.
"Bukan gitu, Mbak. Aku akhir-akhir ini jadi parno, Mbak." Aku menggaruk ujung pelipisku.
"Parno kenapa, Nay?" raut wajah Mbak Rani begitu penasaran.
"Mbak inget gak sih kasus jus mengkudu busuk si Berryl? tiga karyawati kan di pecat tuh, dan beredar kabar mereka gak di terima di perusahaan manapun. Terus anehnya, mereka saat ini join lagi di kantor tempat aku bekerja, Mbak. Dan, apa yang mereka lakukan ke Berryl, mereka lakukan juga ke aku, Mbak." jelasku yang membuat Mbak Rani menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Terus, wajahku jadi begini, aneh kan? Dan yang tau aku alergi bunga itu si Berryl, Mbak," timpal ku.
Mbak Rani mengangguk-anggukkan kepalanya. "Wajar sih kalau kamu sekarang jadi parno, Nay."
"Nah, terus sekarang nafsu makan ku menggila, berat badanku bertambah. Ya, makin parno dong aku, Mbak," keluh ku.
"Tapi, Mbak emang gak ada salah memberikan ampoule loh, Nay. Atau, apa jangan-jangan ...." Mbak Rani menggantung ucapannya.
"Jangan-jangan apa, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Jangan-jangan kamu hamil kali, Nay?" tebak Mbak Rani.
"Loh, emang ngaruh ya, Mbak?" tanyaku kaget.
"Benar kamu hamil, Nay?" tanya Mbak Rani, dan aku mengangguk cepat.
"Injeksi nya ya gak ada efek apa-apa, Nay. Maksud Mbak, bukan injeksi yang bermasalah atas naiknya berat badanmu, tapi ... ya karena bawaan yang di dalam sini." Mbak Rani mengelus pelan perutku.
Aku tersenyum kecut. "Jadi inti permasalahannya karena aku hamil ya, Mbak?"
Mbak Rani mengangguk mantap. "Biasa itu, namanya juga hamil."
"Apa sebaiknya aku stop dulu injeksinya ya, Mbak?" Ku perhatikan raut wajah Mbak Rani yang sama sekali tak terbaca olehku.
*
*
*
Xiexie ya yang masih setia membaca 🧡
Boleh gak ya Author mau minta itu, itu tuh, ituuuuuu, Vote nya 🤩😆