Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laura menggeledah rumah
"Mereka?"
Hanif mendekatkan wajahnya padaku, lalu berkata dengan pelan.
"Aku melihat orang yang lain lagi di belakang rumahmu. Jadi mereka tak hanya satu."
Aku tercengang mendengar ucapan Hanif, menatap adikku yang baru saja masuk ke dalam kamar, artinya adik dan anakku dalam bahaya. Membayangkan apa jadinya jika tadi aku tidak pulang bersama Hanif.
*
*
*
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan membuka kotak makanan, mengisinya dengan nasi hangat yang di masak Andin kemarin sore, juga ayam goreng dan telur rebus yang baru saja matang. Aku tidak bisa tenang memikirkan Eva di sana, tapi aku juga tidak tenang meninggalkan Andin dan anakku disini.
"Mau berangkat Mas?" tanya Andin, dia kesiangan.
"Iya. Kasihan Mbak mu."
"Mas yakin kalau mbak Eva pelakunya?" tanya Andin, menunggui aku mengisi botol air minum hingga penuh.
"Nggak Ndin. Nggak ada alasan Eva melakukan itu." jawabku.
"Tapi Lusia yakin sekali Mbak Eva selingkuh sama Mas Dias."
Aku berbalik menatap adikku, entah apa yang harus ku jelaskan pada Andin, sedangkan aku sudah berjanji kepada Dias untuk tidak mengumbar penyakitnya.
"Enggak Ndin. Eva tidak akan selingkuh sama Dias. " jawab ku. "Kalaupun dia selingkuh, Eva tidak akan menghabisi nyawanya." kataku.
"Bisa aja kan Mas,_"
"Ndin, kalaupun mereka ingin bersatu, apalah artinya Mas mu ini untuk mereka. Dias punya uang, Dias juga punya cinta yang tidak bisa mas tandingi untuk Mbak mu. Aku tahu sekali Dias bukan pengecut."
Andin diam, mungkin ia bingung dengan apa yang aku katakan. Tapi sudahlah, aku buru-buru.
"Ah, iya Ndin. Bersiaplah, bawa pakaian Seina agak banyak. Bawa Seina ke rumahmu." titahku.
"Lho?" katanya bingung.
"Jangan banyak tanya, kita tidak punya waktu." ucapku.
Baru saja Andin masuk ke dalam kamar ku, terdengar pintu depan di ketuk.
Ku bawa bekal yang sudah ku siapkan untuk Eva, sekalian saja aku membuka pintu.
"Lusia?" aku menautkan alisku heran, pagi sekali istri Dias ini bertamu.
"Aku datang untuk mencari bukti yang mungkin saja di sembunyikan oleh istrimu di rumah ini."
"Apa?" aku semakin heran dibuatnya.
"Minggir!" dia memintaku menyingkir, mendorong sedikit bahuku, namun segera ku tahan.
"Kau tidak punya hak menggeledah rumahku Lusia! Jika ada yang akan menggeledahnya yaitu polisi, dan saksi."
"Sok tahu, kau tahu apa soal hukum, bahkan pendidikan mu hanyalah sekolah menengah yang tak selesai." sinisnya.
"Tetap saja aku punya kuasa penuh atas rumah ku. Kau bukan siapa-siapa di sini." geram juga aku menghadapi perempuan ini.
"Aku tidak peduli." malah menuju kamarku.
Dan tentu saja aku melarangnya, tak hanya aku. Kini Andin juga ikut menghalanginya di depan pintu.
"Bisa sopan sedikit? Ini area pribadi orang!" kata Andin, dia menatap tajam Lusia, geram karena pintu kamar dibuka lebar sedangkan dia sedang berganti baju.
Lusia terdiam, mungkin menelisik wajah Andin, mencari tahu siapakah perempuan yang berkuasa di kamarku dan Eva.
"Keluar!" usirnya.
Tapi ini Lusia, dia bahkan mendorong Andin, melangkah masuk mulai meraih pintu kemari pakaian.
"Hei, perempuan gila! Apakah kau tidak bisa di beritahu dengan kata-kata? Apakah kau punya otak? Atau kau tuli?" marah Andin, balas mendorong Lusia yang tubuhnya jauh lebih besar dari Andin.
Jadilah keduanya saling dorong, dan mulai saling menyerang.
"Stop! Keluar kau Lusia!" aku menepis tangannya yang ingin menyakiti Andin, ku dorong saja bahunya karena aku tidak mau ada keributan di kamarku, terlebih lagi Seina mulai menangis.
"Mas! Kamu nggak penasaran sama perselingkuhan istrimu sama suamiku? Kamu sadar nggak kalau mereka sudah membodohi kita! Aku dan kamu!" marah Lusia, masih berusaha masuk ke kamar tentu aku tak akan mengizinkannya lagi.
"Pergilah Lusia! Aku tidak butuh omong kosong mu."
"Aku tidak omong kosong, aku akan buktikan bahwa mereka pernah bertemu dibelakangmu. Aku pasti mendapatkannya." kata Lusia, dia mendorongku lagi.
"Mas! Mbak?"
Kami terkejut, menoleh ke arah pintu bersamaan. Dan ternyata Gerry.
"Gerry! Aku yakin ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar selingkuh! Aku yakin." kata Lusia mendekati adik iparnya itu.
"Iya Mbak, tapi menggeledah rumah orang tanpa surat perintah itu salah." Kata Gerry, Lusia bungkam.
"Aku cuma ingin kasus ini terbongkar secepatnya, aku tidak mau perempuan itu bebas sedangkan suamiku sudah mati." kata Lusia, dia mulai menangis.
"Sudahlah Mbak, pulanglah." kata Gerry.
Akhirnya Lusia pulang, tapi aku jadi tegang mengapa tiba-tiba Gerry datang bersama dua orang temannya. Apakah mereka akan menggeledah rumahku?
Ternyata benar, tapi aku bersyukur karena mereka tak menemukan apapun di rumah kami.
"Bareng aja Mas, mau ke kantor kan?" tanya Gerry.
"Iya." jawabku, tapi... Aku bareng Andin saja Ger, soalnya ANdin akan pulang." kataku.
"Mas Zalli sudah mau kesini Mas. Ini udah di jalan." kata Andin.
"Mas tunggu aja kalau begitu. Biarlah Mas pergi sendiri Ger." kataku.
"Baiklah Mas, kami permisi."
Sudah beberapa menit, Zalli belum juga datang, sedangkan ini sudah pukul delapan lewat. Aku gelisah memikirkan Eva di sana, pastilah sudah haus dan lapar.
"Pergilah Mas, biar aku menunggu mas Zalli di sini." kata Andin.
"Tapi aku nggak tenang kalau suamimu belum datang Ndin. Kamu ikut Mas aja kalau begitu." kataku,
"Jangan khawatir Mas, ini siang bolong. Nggak akan ada hantu." kata Andin, menimang anakku.
"Lagian ada Mbok Yun." adikku menunjuk pintu rumah mbok Yun yang terbuka.
Ah benar juga, aku sampai lupa pun tetangga yang baik
Di situasi seperti ini harusnya aku bisa meminta mbok Yun menemani Andin sebentar.
"Baiklah, mas panggilkan mbok Yun." kataku.
"Nggak usah, nanti biar kami yang ke rumahnya." kata Andin.
Akhirnya ku putuskan pergi membawa motor ku. Lagipula di luar cukup ramai, mana mungkin orang jahat akan mengincar seseorang disaat ramai begini. Mereka tak akan berani.
Setibanya dikantor polisi, aku segera memberikan bekalku untuk Eva, ku lihat baju bagian depannya sedikit basah. Tentu karena ASI-nya sudah meluber, tak di berikan sama sekali sejak kemarin.
"Ini ada baju juga sayang, kamu ganti." kataku. Hatiku sedih melihatnya seperti ini. Dia tak lagi menangis, tapi diam dengan raut wajah sedih.
Di raihnya baju yang ku berikan, meremasnya sambil berpikir. "Mas." panggilnya.
"Ya, ada apa?" tanyaku, ku genggam tangan yang menyentuh tanganku itu. Hatiku nyeri penuh rindu.
"Mas dengarkan aku." katanya, melirik kiri kanan, petugas yang mengawasi kami sepertinya sedang sibuk dengan laptopnya.
"Apa?" tanyaku, ikut memelankan suara.
"Minta seseorang membawa Seina kerumah ibuku. Jangan beritahu siapapun yang berhubungan dengan Dias."
"Maksudmu Dek?" aku bingung sekaligus takut.
"Kita tidak punya waktu untuk bicara kecuali aku keluar dari sini."
Eva mengambil telur yang sudah ku kupas, lalu mengunyahnya sambil menunduk. Aku penasaran, tapi seketika ku sadari seorang polisi masuk dan duduk tak jauh dari kami.
Tiba-tiba saja aku kepikiran Seina, Andin!
happy writing 🎁🎆
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya