Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Adegan Tak Terduga
📍Food Court Mall
Setelah puas bermain di Timezone, Netha membawa Al dan El menuju area food court untuk mengisi perut. Wajah mereka bertiga tampak ceria meski sedikit lelah setelah berjam-jam bermain. Netha memilih meja di sudut yang nyaman dan menyuruh Al serta El duduk dulu.
“Aku pesan makanan dulu, kalian tunggu di sini, ya,” ujar Netha sambil melangkah menuju salah satu gerai makanan favorit mereka.
Saat Netha beranjak, perhatian beberapa pria yang berada di sekitar food court mulai tertuju padanya. Beberapa di antaranya bahkan telah memperhatikan Netha sejak pertama kali masuk mall.
Pria Pertama: Arian, CEO muda yang elegan
Arian, seorang pria tampan dengan setelan jas casual, berdiri di dekat gerai yang sama. Dari tadi ia memperhatikan Netha saat bermain di Timezone bersama si kembar. Dengan percaya diri, ia menghampiri Netha yang sedang memesan makanan.
“Permisi,” sapa Arian dengan senyum ramah. “Saya nggak sengaja melihat Anda di Timezone tadi. Apakah anda Kakak nya anak kembar ini? Oh boleh kenalan gak?” tanyanya langsung.
Netha tersenyum sopan sambil menjawab, “Oh, tidak. ini anak-anak saya.”
Arian tertawa kecil. “Ah, saya pikir Anda kakaknya. Anda terlihat muda sekali.”
Sebelum Arian melanjutkan, Al tiba-tiba muncul sambil memeluk tangan Netha. “Mama, aku haus. Kita pesannya lama banget, sih.”
Netha terkekeh dan menatap Arian. “Maaf, anak saya memang suka mendadak minta perhatian.”
Arian terkejut sejenak. “Oh, maaf kalau begitu.” Wajahnya sedikit memerah, dan ia buru-buru memberi ruang. “Selamat menikmati waktu bersama keluarga Anda.”
Netha hanya tersenyum, sementara Al memandang Arian dengan tatapan tajam seolah berkata, “Jangan ganggu mama kami.”
Pria Kedua: Rio, atlet basket terkenal
Saat mereka kembali ke meja, Rio, seorang pria tinggi dengan tubuh atletis yang mengenakan hoodie mahal, memperhatikan Netha dari kejauhan. Ia ingat pernah melihat Netha saat berbelanja di toko pakaian tadi. Setelah mengumpulkan keberanian, ia menghampiri meja mereka.
“Permisi,” sapa Rio sambil tersenyum ramah. “Tadi saya lihat Anda di toko pakaian. Saya cuma mau bilang, Anda punya selera yang bagus.”
Netha tersenyum. “Terima kasih. Tapi saya rasa itu berkat bantuan anak-anak saya.”
“Anak-anak Anda?” Rio tampak bingung, lalu menoleh ke arah Al dan El. “Mereka adik Anda, kan?”
El menatap Rio dengan ekspresi datar. “Kami anaknya. Mama, aku mau es krim,” ujarnya dengan santai tapi penuh penekanan pada kata mama.
Rio terlihat canggung. “Oh, maaf, saya kira… Saya benar-benar nggak menyangka.”
Netha tertawa kecil. “Nggak apa-apa, orang sering salah paham.”
Rio mengangguk dengan kaku, lalu mundur perlahan sambil berkata, “Selamat menikmati makan siang Anda.”
Pria Ketiga: Andre, pemilik kafe hits
Andre, seorang pria berusia akhir 20-an dengan gaya kasual namun berkelas, duduk tak jauh dari meja mereka. Sejak Netha masuk food court, ia terus memperhatikan wanita itu. Saat Netha berdiri untuk mengambil makanan, Andre melihat kesempatan untuk berbicara.
“Maaf, saya cuma penasaran,” ucap Andre dengan nada sopan. “Saya lihat Anda tadi di Timezone. Anda kakak dari dua anak itu, kan?”
Netha menggeleng sambil tersenyum. “Bukan. Mereka anak-anak saya.”
Andre tampak terkejut. “Oh, sungguh? Anda terlihat sangat muda. Saya pikir kalian bertiga adalah kakak dan adik.”
Al, yang sedari tadi mengamati, langsung nyeletuk, “Mama, kamu kenapa lama sekali ngobrol? Papa pasti marah kalau tahu kamu cari teman baru.”
Andre melongo mendengar itu. “Papa mereka…?” gumamnya, merasa salah langkah.
Netha menahan tawa sambil berkata, “Saya hanya mengurus makanan kami. Tapi terima kasih atas pujiannya.”
Andre mengangguk kikuk. “Oh, maaf kalau mengganggu. Saya permisi dulu.”
Pria Keempat: Vino, pengusaha properti muda
Vino, seorang pria tampan dengan setelan mewah, adalah pelanggan tetap di mall tersebut. Ia memperhatikan Netha sejak di gerai pakaian, namun baru memberanikan diri mendekat saat ia melihat mereka di food court.
“Maaf, boleh ngobrol sebentar?” tanya Vino dengan nada percaya diri.
Netha mengangguk sopan. “Tentu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Sebenarnya nggak ada. Saya cuma ingin bilang, Anda punya kepribadian yang menyenangkan. Dari tadi saya lihat Anda bermain dengan anak-anak di Timezone, dan apakah Anda kakaknya?”
Netha tersenyum. “Terima kasih. Tapi mereka anak-anak saya.”
El, yang sejak tadi diam, memandang Vino dengan tatapan tajam. “Mama, kamu lupa bilang kalau papa juga mau ikut ke sini nanti.”
Vino terdiam sesaat, menyadari arah pembicaraan. “Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya permisi dulu.”
Netha mengangguk sambil tersenyum. “Terima kasih sudah mampir.”
Pria Kelima: Kevin, model terkenal
Kevin, yang sedang mengadakan sesi foto di mall, memperhatikan Netha sejak di Timezone. Dengan gayanya yang santai, ia menghampiri mereka saat Netha sedang menenangkan Al yang ribut ingin tambah makanan.
“Permisi,” ucap Kevin. “Saya lihat Anda tadi di Timezone. Saya penasaran, apakah Anda sering ke sini? Saya jarang lihat wanita dengan energi sebesar Anda.”
Netha tertawa kecil. “Oh, ini baru pertama kali saya ke sini dengan anak-anak.”
“Anak-anak?” Kevin tampak heran. “Maksud Anda mereka?”
Al dan El kompak menjawab, “Iya, dia mama kami.”
Kevin tertegun. “Saya kira Anda kakaknya… Maaf atas kesalahpahaman.”
Netha tersenyum santai. “Itu sering terjadi. Tapi terima kasih atas pujiannya.”
Kevin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Baiklah, saya nggak mau mengganggu waktu Anda bersama keluarga. Semoga hari Anda menyenangkan.”
🧑Momen Pertama Dipanggil "Mama"
Mereka bertiga akhirnya duduk santai di food court, menikmati makanan dengan tenang. Netha sedang sibuk mengaduk-aduk bubur ayamnya, sementara El dan Al saling berbagi satu mangkuk besar es krim cokelat. Suasana terasa nyaman, hingga tiba-tiba, El memanggilnya.
“Mama, aku mau tambah es krim.”
Netha tersentak, sendok di tangannya berhenti di udara. “Apa tadi kamu bilang?” tanyanya dengan nada bingung, menatap El yang tampak biasa saja.
“Mama,” ulang El, kali ini dengan nada yang lebih tegas. “Aku mau tambah es krim. Al udah kebanyakan makan, aku cuma kebagian sedikit.”
Al memandang kakaknya dengan mata melebar. “Aku nggak makan banyak, kok!” protesnya, lalu menoleh ke arah Netha. “Mama, jangan percaya dia.”
Netha membeku sejenak, bingung dengan perubahan panggilan mereka. Sejak awal, kedua anak itu selalu memanggilnya dengan sebutan 'Kamu'. Sebenarnya Netha kaget, sejak pria pertama menghampirinya. El dan Al memanggilnya dengan sebutan 'Mama'. Tapi sekarang? Apa ini hanya akting mereka karena ada banyak pria yang mendekatinya? Sehingga Netha tadi mengikuti alur akting mereka berdua.
Ia memilih untuk mengabaikannya. “Oke, nanti kita beli lagi setelah ini. Sekarang habiskan dulu makanan kalian,” jawabnya ringan, berusaha tidak menunjukkan kegugupannya.
Namun di dalam hatinya, Netha sedikit terkejut. Mama? Kenapa mereka tiba-tiba memanggilku begitu? Apa ini hanya karena mereka takut aku benar-benar mencari papa baru?
El dan Al dalam Diam
Sementara itu, di benak El dan Al, panggilan itu bukan sekadar akting. Mereka telah memikirkan ini sejak lama, terutama setelah Netha menjadi bagian penting dalam hidup mereka selama sebulan terakhir.
Kalau Mama benar-benar cari papa baru, gimana? pikir Al dengan cemas, sambil mengaduk es krimnya. Papa juga belum pulang. Kalau mereka beneran cerai, kita gimana?
El, yang biasanya lebih rasional, juga tak bisa menahan rasa takutnya. Ia melirik Netha yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Mama sekarang kelihatan bahagia. Tapi kalau Papa datang dan mereka berpisah... Kita harus ikut siapa? Aku nggak mau Mama punya papa baru.
Mereka berdua saling melirik, seolah memahami pikiran masing-masing tanpa harus bicara. Hingga akhirnya, Al berbisik pelan kepada El.
“Kamu yakin kita harus panggil dia Mama?” tanya Al dengan suara kecil.
El mengangguk. “Iya, biar dia tahu kita nggak mau papa baru. Kalau kita panggil dia Mama, dia nggak akan ninggalin kita.”
“Tapi kalau Papa datang terus mereka berpisah?” Al tampak gelisah.
“Kita bikin mereka nggak jadi pisah,” bisik El lagi, suaranya terdengar yakin meskipun hatinya tetap penuh keraguan.
Al mengangguk pelan, setuju dengan ide kakaknya.
🚙 Kembali ke Rumah
Setelah makan, Netha membawa El dan Al kembali ke rumah. Mereka berjalan santai menyusuri mall, melewati beberapa toko yang sempat mereka kunjungi sebelumnya. Namun kali ini, Netha merasa sesuatu yang berbeda. Al dan El tampak lebih menempel padanya daripada biasanya.
Di rumah, setelah berganti pakaian santai, Netha duduk di sofa ruang tamu sambil membaca buku. Al mendekatinya, duduk di sebelahnya dengan ekspresi polos.
“Mama,” panggilnya lagi dengan nada manja.
Netha menurunkan bukunya dan menatapnya. “Iya? Ada apa, Al?”
“Aku nggak mau Mama cari papa baru,” ucap Al sambil memeluk lengan Netha erat.
Netha tertawa kecil, mengacak rambut Al. “Kenapa? Bukannya papa kalian sudah tampan dan baik?”
“Tapi papa nggak di sini. Kalau Mama cari papa baru, papa yang lama gimana?” tanya Al, matanya berkaca-kaca.
El, yang sedang duduk di karpet sambil membaca buku cerita, ikut menimpali. “Kami nggak butuh papa baru. Kalau Papa Sean datang, kami mau dia tetap sama Mama.”
Netha terdiam sejenak. Ia menatap kedua anak itu dengan campuran perasaan antara bingung dan terharu. “Apa mereka benar-benar ingin aku jadi bagian dari hidup mereka? Padahal aku sendiri berniat pergi setelah perceraian ini selesai. Apa mereka menganggap omonganku sebelum ke Mall dengan serius?”
Namun, ia memilih untuk tidak menanggapi terlalu serius. “Kalian terlalu banyak berpikir. Sekarang pergi mandi dan tidur, besok kita olahraga pagi lagi,” ujarnya dengan senyum tipis.
Al dan El saling memandang, lalu berbisik lagi di luar jangkauan pendengaran Netha.
“Kita harus bikin mereka nggak jadi berpisah,” kata Al pelan.
El mengangguk. “Kita pikirin cara nanti.”
Netha, yang sudah kembali fokus pada bukunya, hanya menggelengkan kepala pelan. Anak-anak ini, kenapa tiba-tiba jadi protektif banget? pikirnya sambil tersenyum kecil.