Ditalak ketika usai melahirkan, sungguh sangat menyakitkan. Apalagi Naura baru menginjak usia 20 tahun, harus kehilangan bayi yang dinyatakan telah meninggal dunia. Bagai jatuh tertimpa tangga dunia Naura saat itu, hingga ia sempat mengalami depresi. Untungnya ibu dan sahabatnya selalu ada di sisinya, hingga Naura kembali bangkit dari keterpurukannya.
Selang empat tahun kemudian, Naura tidak menyangka perusahaan tempat ia bekerja sebagai sekretaris, ternyata anak pemilik perusahaannya adalah Irfan Mahesa, usia 35 tahun, mantan suaminya, yang akan menjadi atasannya langsung. Namun, lagi-lagi Naura harus menerima kenyataan pahit jika mantan suaminya itu sudah memiliki istri yang sangat cantik serta seorang putra yang begitu tampan, berusia 4 tahun.
“Benarkah itu anak Pak Irfan bersama Bu Sofia?” ~ Naura Arashya.
“Ante antik oleh Noah duduk di cebelah cama Ante?” ~ Noah Karahman.
“Noah adalah anakku bersama Sofia! Aku tidak pernah mengenalmu dan juga tidak pernah menikah denganmu!”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Masih Terjebak Di Lift
Waktu sudah berlalu hampir 30 menit, tim evakuasi masih belum menunjukkan pergerakan. Sementara jika berlama-lama di dalam kotak besi dengan ruang sekecil itu, akan ada perasaan pegap, panas dan sudah tentu akan mengalami keterbatasan oksigen di dalamnya.
Irfan bolak balik mencoba komunikasi melalui speaker emergency yang menempel di sisi pintu lift, sementara ponselnya sendiri semakin lama kehilangan sinyal, tidak bisa menghubungi siapa pun.
Sementara Nina untuk menenangkan dirinya sendiri memilih meminum cappucino lattenya, dan sama sekali tidak menawarkan pada Irfan. Namun, jika sama Noah ia menawarkan beef sandwichnya.
“Au agi Ante otina,” pinta Noah membuka bibir mungilnya demi bisa menerima suapan dari tangan Naura.
Dengan tangannya sendiri roti sandwich disobek kecil agar bisa masuk ke mulut Noah. Sangat telaten Naura menyuapi Noah, dan hal kecil tersebut tertangkap mata oleh Irfan. Untuk kali ini pria itu membiarkan wanita itu melakukan apa pun pada Noah demi mengalihkan perhatian bocah kecil itu, ketimbang anaknya menangis dan membuat ia akan semakin cemas.
“Noah makannya jangan banyak-banyak, tadi sudah sarapan,” pinta Irfan, entah sebenarnya mengingatkan Noah atau Naura untuk menghentikan memberikan roti pada anaknya, padahal katanya mau membiarkan saja.
Noah mendongak, menatap papinya yang berdiri di sudut dekat mereka berdua duduk. “Noah apel, Papi ndak oleh lalang,” balas Noah sembari menghela napas panjangnya.
Tangan Naura yang masih memegang wadah roti sandwichnya terpaksa ia tutup, menyadari jika Irfan mungkin tidak menyukai tindakannya.
“Maaf Pak Irfan jika saya telah lancang memberikan roti pada Noah,” ujar Naura pelan tanpa mendongakkan wajahnya.
Bocah tampan itu tidak suka melihat wanita itu menutup wadah makanan itu. “Ante uka agi, Noah au lotina,” rengek Noah.
“Dede tadi tidak dengar kata Papi, kalau Dede udah makan banyak pas sarapan.” Antara tega dan tidak tega Naura melalukannya, lantas benarkan dugaannya. Bibir mungil itu mengerucut, bola matanya kembali berair. Tangannya pun terayun memukul bahu Naura. Lantas Naura membiarkannya, tapi tangannya terulur mengusap lembut punggung Noah.
“Noah au agi, Ante. Papi ahat!” seru Noah dalam isak tangisnya.
“Sayang ... Dede ganteng. Papi tidak jahat kok, Papi itu sayang sama Dede, makanya larang Dede makan roti supaya perutnya tidak sakit. Sudah jangan menangis ya, Sayang,” pinta Naura dengan tutur lemah lembutnya, lalu membawa tubuh kecil yang ada di atas pangkuannya dalam dekapannya.
“Papi ahat, Ante!” seru Noah menyalahkan Irfan.
“Papi tidak jahat kok, De,” balas Naura tampak sabar, lalu ia mendongakkan wajahnya menunjukkan kekecewaan pada pria itu.
Irfan mendesah pelan, lalu melangkah mendekati mereka berdua kemudian berjongkok. Rasanya amat kaku ketika pria itu berdekatan dengan Naura, sedangkan Naura masih bisa tampak tenang menghadapi pria itu. Mungkin jika wanita lain sudah meluapkan amarah atas sakit hatinya yang masih membekas di hatinya, umpatan, kata kasar pasti juga akan menyertainya begitu saja dari mulutnya. Namun, sekuat tenaga Naura menahan diri. Ingat jangan pernah menunjukkan kerapuhanmu, bisa besar kepala pria yang telah mencampakkanmu!
“Noah, bukan seperti itu yang Papi maksud. Ya, sudah jika Noah mau makan roti makanlah, tapi kalau sudah kenyang berhenti ya. Papi takut nanti kamu muntah kalau kebanyakan makan,” jelas Irfan sembari turut menyentuh lembut punggung putranya.
Noah yang masih sesenggukan, enggan menarik wajahnya dari pundak Naura, tapi salah satu tangan mungil itu menepis tangan papinya yang masih mengusap punggung.
“Papi ahat, Noah lebel cama Papi!” ujar Noah jujur.
“Sayang, Dede.” Suara lembut Naura terdengar kembali, lantas ia memberanikan diri untuk menyingkirkan tangan pria itu dari punggung Noah.
“Biar saya tenangkan Noah dulu, Pak,” pinta Naura pelan, lalu ia memalingkan wajahnya, kemudian berusaha bangun dari duduknya demi bisa menimang bocah kecil itu.
Melihat Naura agak kesusahan berdiri, Irfan refleks membantu Naura dengan melingkari tangannya ke balik punggung wanita itu. Mata Naura melirik ke arah Irfan.
“Maaf Pak Irfan, tangannya dijaga,” tegur Naura dengan lirikan tajamnya. Pria itu mendesis, dagunya kembali terangkat, angkuh.
Dengan cepat pria itu menarik tangannya dari pinggang wanita itu. “Saya melakukan karena kamu sedang menggendong anak saya. Dari pada nanti anak saya jatuh, terlepas dari gendongan kamu. Anak saya yang sakit, bukan kamu!” balas Irfan sangat pelan tapi setiap kata penuh penekanan.
Naura berdecak kesal, lalu memalingkan wajahnya dan melanjutkan menimang-nimang Noah. Sebenarnya bisa saja ia memberikan Noah dan papinya, tapi anaknya tidak mau sama papinya. Mau heran tapi kenyataannya seperti itu.
Beberapa menit kemudian, hawa panas semakin menguasai kotak besi tersebut. Noah sudah mulai tenang, tidak menangis lagi. Sementara Naura yang masih mengendong Noah sudah mulai kegerahan, dadanya juga mulai terasa sesak, hingga berulang kali ia terbatuk.
Irfan menyadari wanita itu mulai memucat wajahnya, lantas ia kembali menggedor emergency speakernya.
“Kami sedang berusaha buka pintu liftnya, mohon bersabar Pak Irfan,” jawab salah satu petugas.
“Segera evakuasi kami, ada anak kecil di sini! Kami sudah hampir satu jam di sini!” Suara Irfan meninggi lalu menggedor-gedor pintu lift dengan kesalnya.
Naura sempat meliriknya lalu ia menurunkan pandangannya ke arah Noah yang rupanya sudah tertidur di dalam gendongannya. Wajahnya yang dominan Irfan tampak terlihat damai, dan entah mengapa ia tergerak mengecup kening bocah itu seakan meluapkan rasa rindunya pada anaknya sendiri.
“Kalau anakku masih hidup, pasti wajahnya persis papinya,” batin Naura memelas, tidak bisa menyangkal jika dulu ia selalu berharap jika anaknya laki-laki mirip suaminya, jika anaknya perempuan maka akan mirip dengannya. Tapi itu hanya masa lalu indah sebelum Irfan menalaknya tanpa masalah apa pun yang terjadi pada rumah tangga mereka berdua. Dan sekarang Naura sudah mendapatkan jawabannya.
“Uhuk ... uhuk.” Naura kembali terbatuk, tubuhnya entah mengapa semakin terasa panas. Irfan langsung berbalik badan menatap Naura.
Takut kenapa-napa dirinya terjadi sesuatu wanita itu memilih kembali duduk di lantai.
“Dibawa minum kalau kamu batuk-batuk,” ujar Irfan dengan sikap dinginnya. Tanpa dikasih tahu Naura juga bakal minum, hanya saja yang ia butuhkan adalah air putih, bukan cappucino lattenya.
Terpaksa Naura kembali meneguknya perlahan-lahan, tapi yang terjadi ia semakin batuk-batuk, padahal ia tidak sedang sakit. Tubuhnya pun semakin gerah dan berkeringat, Irfan sendiri pun sudah melepaskan jasnya, sementara Naura tidak bisa melakukannya karena terjebak dengan keberadaan ia yang sedang memangku Noah.
10 menit kemudian suara ketukan benda berbunyi di depan pintu lift terdengar jelas. Ujung mata Irfan yang sejak tadi memperhatikan Naura yang masih terbatuk-batuk langsung teralihkan ke arah pintu lift.
“Sebentar lagi pintunya akan terbuka,” ujar Irfan seakan memberitahukan Naura.
Naura hanya bisa menatap nanar sembari mengusap dadanya yang terasa sesak seakan-akan kehabisan oksigen. Dan beberapa menit kemudian mulai terbuka satu sisi pintu lift.
“Mari saya bantu keluar Pak,” pinta petugas berseragam orange mengulurkan tangannya. Irfan langsung menolehkan wajahnya ke belakang menatap Naura yang terdiam saja, tidak bergerak sama sekali.
Bersambung ... ✍️
carilah kebenaran sekarang
diacc ya thor /Drool//Drool/
terutamakamu sofia