Seorang wanita yang hilang secara misterius, meninggalkan jejak berupa dokumen-dokumen penting dan sebuah jurnal yang penuh rahasia, Kinanti merasa terikat untuk mengungkap kebenaran di balik hilangnya wanita itu.
Namun, pencariannya tidak semudah yang dibayangkan. Setiap halaman jurnal yang ia baca membawanya lebih dalam ke dalam labirin sejarah yang kelam, sampai hubungan antara keluarganya dengan keluarga Reza yang tak terduga. Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Di mana setiap jawaban justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
Setiap langkah membawanya lebih dekat pada rahasia yang telah lama terpendam, dan di mana masa lalu tak pernah benar-benar hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aaraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunci kedua dan Pertemuan Rahasia
"Jadi ini yang Kartika simpan," bisik Kinanti, matanya terpaku pada tumpukan dokumen tua yang baru mereka temukan di ruang bawah museum. Cahaya remang dari senter ponsel menerangi ruangan lembab itu, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding batu.
"Bukan hanya dokumen," Pak Darmawan mengambil sebuah amplop coklat yang tersembunyi di balik rak kayu.
"Tapi juga daftar nama. Orang-orang yang terlibat dalam jaringan mata-mata Kartika. Beberapa dari mereka masih hidup."
Kinanti membuka amplop coklat tersebut dan tiba tiba sebuah kunci kecil terjatuh. Dengan segera Reza mengambil kunci tersebut.
“Ini kunci kedua yang ditinggalkan Kartika?”
“Sepertinya iya.” Jawab Kinanti sambil mengangguk, ia kemudian lanjut membuka amplop coklat ditangannya untuk melihat isi lain di dalamnya.
Reza, yang sedang memeriksa dokumen lain, tiba-tiba menegakkan badan.
"Pak, ini..." dia menunjukkan selembar kertas dengan daftar nama dan alamat,
"kakek saya ada di daftar ini."
"Ya," Pak Darmawan mengangguk.
"Dan mereka akan berkumpul malam ini. Para veteran yang tersisa, para penjaga rahasia."
"Tunggu," Nadia, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu bersama Dimas, akhirnya angkat bicara.
"Bagaimana Pak Darmawan bisa tahu tentang pertemuan rahasia tersebut?"
Sebelum Pak Darmawan bisa menjawab, terdengar suara langkah kaki dari atas.
"Kita harus pergi," bisik Pak Darmawan cemas.
"Ambil dokumen-dokumen penting itu. Yang lain biar tetap di sini."
Mereka bergegas menaiki tangga, tepat ketika suara pria berjas yang mereka lihat sebelumnya terdengar semakin dekat. Di lantai atas Dimas segera cepat tanggap, dia menyalakan alarm kebakaran museum.
"Pengalihan perhatian yang bagus," puji Reza saat alarm itu berhasil memicu kepanikan pengunjung yang membuat pria ber jas itu terjebak diantara kerumunan orang yang berhamburan keluar.
Sementara itu, mereka terus melanjutkan perjalanan dan akhirnya sampai disebuah pintu besi tua.
"Tidak ada yang pernah menggunakan pintu ini selama bertahun-tahun," kata Pak Darmawan sambil mendorong pintu besi yang berkarat di bagian bawah museum. Udara pengap dan debu menyambut mereka.
Di belakangnya, Kinanti, Reza, Nadia, dan Dimas saling berpandangan dengan tegang. Pria berjas misterius itu masih berkeliaran di atas, dan suara langkah-langkah samar terdengar dari arah tangga.
"Cepat," bisik Pak Darmawan, "mereka tidak boleh menemukan tempat ini."
Lorong gelap itu membawa mereka ke sebuah ruangan luas yang tersembunyi di bawah museum. Begitu mereka masuk, cahaya-cahaya temaram menyala secara otomatis, menampakkan pemandangan yang membuat mereka terkesiap.
Dinding-dinding ruangan dipenuhi foto-foto dan dokumen tua. Di tengah ruangan, sekelompok orang tua sedang duduk mengelilingi meja bundar. Salah satu dari mereka adalah Pak Harianto dari toko antik.
"Kalian terlambat," katanya sembari mengantar mereka ke ruang tengah yang dipenuhi wajah-wajah tua yang asing namun entah mengapa terasa familiar.
"Selamat datang di markas Garuda Putih," sapa seorang pria tua dengan bekas luka di pipi kirinya.
"Saya Kolonel Pratama, atau mungkin kamu lebih mengenalku sebagai kakekmu, Reza."
Reza terhenyak. Ini pertama kalinya dia bertemu kakeknya yang selama ini dia kira sudah meninggal.
"Tapi... Papa bilang Kakek sudah..."
"Meninggal? Ya, itu yang harus kami katakan pada semua orang," Kolonel Pratama tersenyum tipis. "Kartika mengajarkan kami bahwa rahasia terbaik adalah yang disimpan di tempat paling tersembunyi. Dalam hal ini, di hadapan semua orang."
"Garuda Putih adalah organisasi rahasia yang dibentuk Kartika," Pak Darmawan menjelaskan.
"Mereka mengumpulkan dan menyimpan bukti-bukti kejahatan perang yang tidak pernah terungkap."
"Dan sekarang," seorang wanita tua angkat bicara, "mereka mulai memburu kami lagi. Orang-orang yang tidak ingin kebenaran terungkap."
Nadia, yang sedari tadi mengamati foto-foto di dinding, tiba-tiba memanggil Kinanti.
"Kamu harus lihat ini." Ucapnya seraya menunjuk ke dinding di dekatnya.
Di dinding itu terpasang foto besar. Kartika sedang berdiri di depan sekolah mereka, dan dikelilingi murid-muridnya. Di sampingnya, tertulis tanggal
23 November 1946
Dua hari sebelum dia menghilang.
"Kartika belum mati," kata Kolonel Pratama pelan.
"Dia sengaja menghilang untuk melindungi dokumen-dokumen ini. Dan sekarang..." dia mengeluarkan sebuah amplop usang dari laci meja, "...mungkin sudah waktunya dunia tahu kebenarannya."
"Kami sudah menunggu saat ini," kata seorang nenek dengan sanggul putih rapi.
"Kartika selalu bilang suatu hari akan ada yang menemukan petunjuk-petunjuknya. Dan sekarang kalian di sini."
"Tapi kenapa baru sekarang?" tanya Kinanti. "Kenapa rahasia ini masih harus dijaga setelah sekian lama?"
"Karena," Pak Pratama mengeluarkan sebuah buku catatan usang dari laci meja, "apa yang Kartika temukan saat itu bukan hanya tentang perjuangan kemerdekaan. Ini tentang pengkhianatan. Tentang orang-orang yang menjual negara mereka sendiri. Dan anak-anak serta cucu mereka..." dia melirik ke arah jendela, "masih berusaha menutupi jejak orangtua mereka sampai hari ini."
Suara gaduh dari atas mengejutkan mereka. "Mereka sudah dekat," Pak Harianto bergerak cepat ke arah lemari besi di sudut ruangan. "Kita harus memindahkan dokumen-dokumen ini."
"Tidak," Kolonel Pratama menggeleng. "Sudah terlalu lama kita bersembunyi. Saatnya menghadapi mereka."
Dimas, yang sejak tadi berjaga di dekat pintu, berbisik panik, "Ada banyak orang turun ke sini!"
"Papa," Kinanti menatap ayahnya dengan cemas, "apa yang harus kita lakukan?"
Sebelum Pak Darmawan sempat menjawab, Reza sudah mengambil tindakan. "Nadia, kamu masih bawa kamera? Bagus. Mulai dokumentasikan semua yang ada di sini. Dimas, hubungi media. Kita buat mereka tidak bisa menyembunyikan ini lagi."
"Persis seperti Kartika," Kolonel Pratama tersenyum bangga pada cucunya. "Selalu siap dengan rencana."
Langkah-langkah kaki semakin mendekat. Kinanti merasakan tangan Reza menggenggam tangannya, memberikan kekuatan. Di sekitar mereka, para veteran Garuda Putih berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan muncul dari balik pintu.
"Kartika selalu bilang," Pak Harianto berkata pelan, "'Kebenaran, seperti matahari, mungkin bisa disembunyikan untuk sementara. Tapi dia akan selalu menemukan cara untuk bersinar.'"
Pintu mulai bergetar. Waktunya telah tiba.