NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 03

Sartika duduk di bangku kayu di depan rumah Sri, jari-jarinya saling bertaut, pikirannya masih kalut. Sri menatapnya dengan penuh harap, menunggu jawaban yang belum juga keluar.

"Gimana, Tik? Kamu mau pergi ke luar negeri?" tanya Sri, suaranya lembut tapi tegas.

Sartika menghela napas panjang. Sejak pertemuan terakhir mereka, pikirannya tak pernah berhenti berputar. Malam-malam ia terjaga, memikirkan Dinda, memikirkan Malik, memikirkan hidup mereka yang tak pernah membaik.

"Aku... aku masih ragu, Sri," akhirnya ia berujar.

Sri tersenyum tipis. "Aku ngerti. Keputusan ini nggak gampang. Tapi kamu sendiri yang bilang, Tik. Kamu nggak mau Dinda terus-terusan hidup susah."

Sartika menggigit bibirnya. Matanya terasa panas. "Aku takut ninggalin dia... Aku ibunya, Sri. Kalau aku pergi, siapa yang bakal jaga dia?"

Sri mencondongkan tubuhnya, menatap Sartika penuh keyakinan. "Kamu nggak ninggalin dia, Tik. Kamu berjuang buat dia. Ini bukan soal pergi dan melupakan. Ini soal berkorban supaya Dinda punya masa depan."

Sartika menunduk, hatinya mencelos. Apa Sri benar? Apakah ini pengorbanan yang memang harus ia lakukan?

Sri menghela napas, lalu meraih tangan Sartika. "Dengar, Tik. Aku nggak maksa. Aku cuma kasih jalan. Kalau kamu siap, aku bisa bantu urus semuanya."

Sartika menggigit bibirnya, pikirannya berkecamuk. Ia harus mengambil keputusan. Dan kali ini, ia tak bisa lagi menunda.

"Besok, aku sudah akan pergi ke Jakarta untuk mengurus beberapa dokumen buat beberapa orang yang sudah mendaftar," ujar Sri, menatap Sartika dengan harapan.

Sartika menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Waktu terasa bergerak lebih cepat dari yang ia duga.

"Kalau kamu serius, Tik, ini kesempatanmu," lanjut Sri. "Aku bisa daftarin kamu sekarang. Tapi kalau kamu masih ragu, aku nggak bisa janji kapan ada kesempatan lagi."

Sartika menggigit bibir. Bayangan Dinda yang kelaparan semalam kembali menghantam pikirannya. Malik yang pulang dengan tangan kosong, tanpa rasa bersalah, masih jelas dalam ingatannya.

"Aku..." suaranya tercekat.

Sri menunggu, membiarkan Sartika bergulat dengan pikirannya sendiri.

Sartika mengembuskan napas berat. Lalu, dengan suara nyaris berbisik, ia akhirnya berkata:

"Apa yang harus aku lakukan kalau mau ikut?"

"Gampang, Tik. Kamu cuma perlu menyerahkan fotokopi ijazah terakhirmu, KTP, dan Kartu Keluarga. Satu lagi, ada biaya pendaftaran sekitar lima juta rupiah. Uang ini digunakan untuk proses administrasi sebelum keberangkatan, seperti pengurusan dokumen dan pelatihan dasar."

Sri menatap Sartika dengan yakin. "Kamu nggak perlu khawatir, ini aman. Nggak seperti agen abal-abal yang banyak menipu orang di luar sana. Aku sendiri sudah melalui proses ini, dan buktinya aku bisa kerja dengan baik di Malaysia. Kita sudah berteman lama, Tik. Masak kamu masih nggak percaya sama aku?"

Sartika terdiam. Lima juta. Jumlah yang terasa mustahil baginya saat ini. Untuk makan sehari-hari saja ia harus berpikir keras, apalagi mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat.

"Tapi aku nggak punya uang sebanyak itu, Sri," ujarnya lirih.

Sri tersenyum, seolah sudah menduga jawabannya. "Aku ngerti, Tik. Banyak yang kayak kamu. Makanya biasanya mereka minjem dulu ke orang yang bisa bantu. Atau kalau kamu mau, aku bisa coba tanyain ke agen, kadang mereka kasih opsi potong gaji nanti setelah kamu kerja di sana."

Sartika menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat. Ia ingin pergi, ingin mengubah hidupnya dan Dinda. Tapi uang lima juta? Ia bahkan tak tahu harus mencari ke mana.

"Kalau kamu serius mau berangkat, cari cara buat dapat uangnya, Tik," lanjut Sri. "Jangan sia-siakan kesempatan ini."

Sartika menghela napas, merasa ada beban besar menekan dadanya. Jika ini satu-satunya jalan, apa ia sanggup melakukannya?

Sartika menunduk, jemarinya meremas ujung kain lusuh yang membalut tubuhnya. Lima juta... jumlah yang terasa seperti jurang tak terjangkau.

"Aku nggak tahu bisa dapat uang sebanyak itu dari mana, Sri," suaranya lirih, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.

Sri menatapnya dengan sabar. "Aku ngerti, Tik. Tapi kalau kamu benar-benar mau pergi, pasti ada jalan."

Sartika menghela napas panjang. Meminjam? Dari siapa? Ia tak punya harta untuk dijadikan jaminan, tak ada sanak keluarga yang cukup berada untuk membantunya.

Sri menatapnya dengan penuh pengertian, lalu berkata, "Ya udah, Tik. Nanti jam lima sore kau datang aja ke sini, bawa uangnya. Kalau memang serius mau berangkat, ini kesempatanmu."

Sartika menelan ludah, hatinya berdegup kencang. "Besok pagi-pagi sekali aku harus sudah sampai di bandara," lanjut Sri. "Jadi kalau kamu benar-benar mau ikut, semuanya harus beres hari ini."

Sartika hanya bisa mengangguk pelan. Ia tahu, waktu yang tersisa semakin sedikit. Jika ia ingin mengambil kesempatan ini, ia harus menemukan cara untuk mendapatkan uang itu, dan harus segera.

Sartika menggigit bibirnya, pikirannya masih berkecamuk, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan.

"Baiklah, Sri. Aku akan usahakan."

Sri tersenyum lega. "Bagus, Tik. Aku tunggu sampai jam lima sore, ya. Kalau kamu berhasil kumpulin uangnya, kita bisa langsung urus pendaftarannya."

Sartika menghela napas, dadanya terasa sesak. Lima juta bukan jumlah yang kecil baginya. Tapi ini kesempatan yang tak bisa ia sia-siakan.

"Aku pergi dulu, Sri. Aku harus cari cara."

"Semangat, Tik. Aku yakin kamu bisa," ujar Sri sambil menepuk bahu Sartika dengan penuh keyakinan.

Sartika melangkah pergi, hatinya masih ragu, tapi ada tekad yang mulai tumbuh dalam dirinya. Ia harus menemukan cara, demi masa depan Dinda.

Sartika berjalan pulang dengan langkah berat. Hatinya dipenuhi kegelisahan. Lima juta rupiah, jumlah yang terasa mustahil baginya. Tapi jika ia tak mendapatkannya, maka kesempatan untuk pergi ke luar negeri dan mengubah hidupnya akan lenyap begitu saja.

Setibanya di rumah, ia melihat Dinda duduk di lantai dengan perut kosong. Anak itu menatapnya dengan mata penuh harap.

"Ibu, kita makan apa?" tanya Dinda dengan suara lirih.

Sartika menghela napas panjang. Ia teringat bakul berisi pisang pemberian Bu Rahayu. Dengan cepat, ia mengambilnya dan mengupas satu untuk Dinda.

"Makan ini dulu, ya, Nak."

Dinda menerima pisang itu tanpa banyak bertanya, langsung menggigitnya dengan lahap. Sartika menatap anaknya dengan perasaan campur aduk. Jika ia tetap di sini, Dinda akan terus hidup dalam kesulitan.

Sartika mengepalkan tangannya. Ia harus mencari cara untuk mendapatkan uang itu.

Tapi bagaimana? Dari siapa?

Pikirannya berputar-putar mencari jawaban, sementara matahari perlahan condong ke barat. Waktu terus berjalan, dan ia tak punya banyak pilihan.

Sartika terkejut saat Malik masuk ke rumah dengan sebuah tas besar, tampak berat dan berisi.

Malik, memperlihatkan sejumlah uang yang terlihat banyak itu membuat hatinya berdebar. Sejumlah uang yang cukup banyak sekitar sepuluh juta, ataupun lebih.

Dari mana Malik bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam keadaan yang serba sulit seperti sekarang?

"Uang siapa ini, Mas?" Sartika bertanya, suaranya mengandung ketegasan. "Kau dapat dari mana? Apa kau mencuri?"

Malik terdiam sejenak. Wajahnya yang biasanya banyak bicara tampak sedikit canggung. Ia meremas tas itu lebih erat, seolah mencari-cari alasan yang tepat.

"Ada pekerjaan, Tik," jawabnya akhirnya, dengan suara yang terdengar sedikit terdesak. "Aku... bantu-bantu orang. Cuma kerja kecil-kecilan."

Sartika menatapnya tajam. Ia tahu ada yang disembunyikan, tapi tidak tahu pasti apa itu. Pekerjaan macam apa yang bisa memberinya uang sebanyak itu dalam waktu singkat?

"Kerja kecil-kecilan?" Sartika menimpali, masih tidak puas dengan jawabannya. "Sebegitu banyaknya? Malah lebih banyak dari gaji sebulan kerja di kota, Mas. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Malik menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Kamu nggak perlu khawatir, Tik. Uangnya halal kok. Aku nggak ngelakuin hal yang buruk. Udah, jangan dipikirin, yang penting kita bisa makan enak sekarang."

Sartika menatap Malik dengan mata yang dipenuhi tekad. "Kalau begitu, aku pakai uang ini buat kerja ke luar negeri ya, Mas," katanya, dengan harapan bahwa uang yang dibawa Malik bisa menjadi jalan keluarnya. Ini adalah kesempatan yang hampir mustahil didapatkan, dan ia tak ingin menyia-nyiakannya.

Namun, Malik tampak kaku mendengar perkataan itu. Wajahnya berubah, dan ia menatap Sartika dengan tatapan serius.

"Tidak, Tik. Kau nggak bisa pergi," jawab Malik, nada suaranya tegas, jauh dari sikapnya yang biasanya santai. "Aku nggak setuju kalau kamu pergi."

Sartika terkejut, rasa marah mulai membara di dadanya. "Kenapa? Ini kesempatan buat kita keluar dari kesulitan, Mas. Kamu tahu itu. Kalau aku bisa kerja di luar negeri, kita bisa hidup lebih baik, Dinda bisa punya masa depan yang lebih cerah!" suaranya mulai meninggi, tak bisa menahan kekecewaannya.

Malik meremas tas yang ada di tangannya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku nggak mau kamu jauh dari Dinda. Dia masih butuh kamu di sini, Tik. Kamu nggak bisa meninggalkan dia. Aku nggak bisa biarkan kamu pergi."

Sartika merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya, tapi rasa frustrasi lebih besar. "Jadi kamu lebih memilih aku tetap di sini, hidup menderita, tanpa harapan? Apa kamu nggak peduli dengan masa depan kita, Mas? Aku nggak bisa terus hidup seperti ini!"

Dia berdiri, melangkah menjauh, perasaan marah dan kecewa semakin membesar. "Kamu nggak ngerti apa yang aku butuhkan, Malik. Aku butuh kesempatan ini."

Malik berdiri dan dengan cepat mendekatinya. "Sartika, tolong, dengarkan aku. Ini bukan soal kamu pergi atau nggak. Aku nggak ingin kamu terjerumus dalam hal-hal yang nggak jelas hanya demi uang. Aku tahu kamu punya banyak beban, tapi kita bisa cari jalan lain."

Sartika menatap Malik dengan tatapan tajam, bibirnya bergetar menahan amarah. "Tapi kita nggak punya waktu, Malik! Kalau aku nggak pergi sekarang, kesempatan ini hilang, dan kita tetap terjebak di sini."

Hening sejenak di antara mereka, hanya ada suara napas berat yang terdengar. Sartika merasa terjebak antara cintanya pada Malik, rasa tanggung jawabnya pada Dinda, dan impian untuk mengubah hidup mereka.

"Malik, aku butuh ini. Aku butuh kamu untuk mendukungku. Aku butuh kamu untuk percaya pada keputusan ini." suara Sartika mulai terdengar lebih lembut, namun penuh harapan.

Malik menatapnya dengan raut wajah yang keras, namun dalam matanya ada keputusasaan yang mendalam. "Aku nggak bisa. Aku nggak bisa izinkan kamu pergi."

Sartika merasa hatinya hancur. Marah, kecewa, dan bingung, ia berbalik dan berjalan keluar dari rumah, meninggalkan Malik yang terdiam di dalam.

Ia harus membuat keputusan, dan ia tahu kali ini, ia tak bisa bergantung pada orang lain.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!