Aksa harus menelan pil pahit saat istrinya, Grace meninggal setelah melahirkan putri mereka. Beberapa tahun telah berlalu, tetapi Aksa masih tidak bisa melupakan sosok Grace.
Ketika Alice semakin bertumbuh, Aksa menyadari bahwa sang anak membutuhkan sosok ibu. Pada saat yang sama, kedua keluarga juga menuntut Aksa mencarikan ibu bagi Alice.
Hal ini membuat dia kebingungan. Sampai akhirnya, Aksa hanya memiliki satu pilihan, yaitu menikahi Gendhis, adik dari Grace yang membuatnya turun ranjang.
"Aku Menikahimu demi Alice. Jangan berharap lebih, Gendhis."~ Aksa
HARAP BACA SETIAP UPDATE. JANGAN MENUMPUK BAB. TERIMA KASIH.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tujuh
Mama Reni mendekati Ghendis. Menggenggam tangan menantunya. Dia tahu perasaan gadis itu.
"Ma, katakan dengan jujur. Apa benar temanku Dicky meninggal?" tanya Ghendis dengan suara parau karena air mata yang sudah membasahi pipinya.
"Kenapa kau menangis begitu?" tanya Ibu Novi dengan suara ketus.
"Bu, sudahlah. Ghendis baru sadar dan baru saja melewati masa kritis. Jangan dibebani dengan hal lain," ucap Aksa.
Mendengar Aksa yang bicara dengan sedikit membentaknya, membuat Ibu Novi terdiam. Dia lalu berjalan, kembali ke sofa. Pura-pura mengajak Alice bermain. Dia takut jika menantunya itu marah.
"Ma, jujurlah. Apa temanku meninggal?" tanya Ghendis lagi dengan suara lemah.
Tak mungkin Mama Reni menyembunyikan hal itu lagi. Dia hanya menganggukan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Ghendis.
Melihat reaksi Mama Reni, Ghendis lalu berusaha bangun. Namun, badannya masih terasa sangat lemah. Dia lalu berusaha menarik selang infus.
"Aku mau ke kuburan Dicky," ucap Ghendis. Dia berusaha mencabut selang di tangannya. Melihat itu, Aksa menahan gerakan tangan wanita itu.
"Jangan nekat Ghendis. Ini sangat berbahaya. Jika kamu memang ingin ke kuburan. Biar aku minta tolong perawat bawakan kursi roda. Aku akan antar kamu," ucap Aksa.
Air mata tumpah membasahi pipinya. Napas Ghendis tampak tak beraturan dan akhirnya dia kembali pingsan.
Aksa memencet bel memanggil dokter. Ghendis kembali di periksa. Beruntung kata dokter keadaannya masih stabil.
"Sepertinya trauma masih ada. Saya minta jangan mengatakan hal yang membuat pasien terkejut dulu. Hingga keadaan benar-benar stabil," pesan dokter.
Setelah dokter pergi. Mama Reni tak bisa lagi menahan untuk bicara dengan ibu Novi.
"Novi, kamu sebagai ibu apakah tidak ada rasa empati pada Ghendis. Dia baru saja sdr dari koma dan langsung diberitahu berita mengejutkan. Apa tak bisa menahan sedikit saja," ucap Mama Reni dengan penuh penekanan.
"Maaf, Ren. Aku malu dengan kelakuan anakku. Aku takut Aksa menceraikan dan mencampakkan Ghendis karena perbuatannya ini," ucap Ibu Novi dengan menunduk. Dia malu ditegur di depan Aksa.
"Kenapa Aksa harus meninggalkan Ghendis? Sebagai ibunya, apa kamu tak mengenal pribadi anak sendiri. Kamu percaya semua ini kesalahan Ghendis? Lagi pula, jika Aksa menceraikan Ghendis, bukan dia yang rugi. Tapi Aksa. Ghendis masih bisa cari pengganti lebih darinya, sedangkan Aksa belum tentu dapat wanita setulus putrimu!" ucap Mama Reni.
Wanita paruh baya itu tampak memainkan jemarinya. Sepertinya sangat gugup dan mungkin tak terima atas ucapan mama Reni. Aksa hanya diam, karena tak tahu harus bicara apa. Beruntung Alice tertidur sehingga tak melihat Mimi nya pingsan.
"Bu, mungkin ibu capek. Aku antar pulang ya?" tanya Aksa.
Ibu Novi sebenarnya belum puas memarahi Ghendis. Dalam hatinya berkata, tunggu hingga Aksa dan Mama Reni istirahat, banyak yang akan dia katakan pada putrinya itu.
"Mama kamu juga pasti butuh istirahat, biar ibu saja di sini. Kasihan Alice jika terlalu lama di rumah sakit," jawab Ibu Novi.
"Mama dan Alice juga pulang. Biar aku saja yang di rumah sakit. Aku telepon supir dulu," balas Aksa.
Aksa lalu menghubungi sang supir dan meminta mengantarkan Ibu Novi dan mamanya. Mertuanya itu tak bisa membantah lagi.
Sepanjang perjalanan antara ibu Novi dan mama Reni, tak ada yang bersuara. Larut dalam pikiran masing-masing.
***
Tengah malam Aksa yang tertidur di kursi terbangun mendengar suara tangis. Dia membuka matanya dan melihat Ghendis sedang memukul dadanya. Dia menangis terisak. Mungkin menahan sebak di dada.
Sekarang aku harus berusaha dan berjuang bagaimana melanjutkan hidup di saat aku merasa mati lebih baik. Aku berusaha tetap sehat dan berpikir waras. Aku di sini sedang berusaha berdamai dengan semua luka. Aku di hantam oleh kerasnya dunia. Aku menangis hampir setiap malam. Biarkan aku pulih dengan caraku sendiri. Mungkin tidak sekarang. Mungkin nanti di waktu yang tepat. Apakah aku tak pantas untuk bahagia? Kalau aku tak pantas bahagia, aku mau pulang ya Allah. Jemput aku ....
Aksa bangun dan mendekati Ghendis. Dengan ragu dia duduk di samping tempat tidur istrinya itu. Meraih tangannya dan menggenggamnya.
"Jangan menangis, Ghendis. Ini tak baik untuk kesehatanmu," ucap Aksa pelan.
Ghendis memandangi wajah Aksa. Entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu. Sorot matanya penuh kebencian.
"Aku sudah mati, tak ada gunanya lagi menjaga kesehatan. Bukan saja fisikku yang sakit, mentalku juga telah hancur," balas Ghendis.
"Jangan bicara begitu, Ghendis. Mana Ghendis yang penuh semangat," ucap Aksa.
"Sudah aku katakan, dia telah mati!"
Aksa menarik napas dan membuangnya perlahan. Dia tahu tak akan mudah menghadapi gadis ini. Selain karena dia sedang terluka mengetahui kekasihnya meninggal, dia juga membencinya.
"Ghendis, maafkan aku ...!"
"Aku mau ke makam Dicky," ucap Ghendis. Dia tak menjawab ucapan maaf dari pria itu.
"Aku akan bawa kamu ke sana setelah keadaanmu makin membaik," ucap Aksa.
"Aku mau sekarang ...!"
"Baiklah, tapi tunggu pagi menjelang. Aku akan minta izin dokter."
Mendengar ucapan Aksa, Ghendis diam. Dia lalu memalingkan wajahnya dari pria itu. Jika tidak ingin ke makam Dicky, mungkin dia tak akan mau bicara dengan Aksa.
...----------------...
Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
thor. bikin aksa nyesel