"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Jarum di Tumpukan Jerami
"Aku ada informasi baru," ujar Aditya dan Roni bersamaan.
Kedua pria itu saling berpandangan sesaat setelah mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Aditya mempersilakan pada Roni untuk berbicara lebih dulu. Pria itu mendudukkan diri di samping Tristan.
"Barusan hasil tes keluar. Darah yang terdapat pada pin adalah darah dua orang. Yang pertama milik Ibu Wina, satu lagi milik orang lain. Mereka sudah mengecek ke basis data tapi tidak ada DNA yang sesuai. Itu artinya pelaku belum pernah melakukan kejahatan sebelumnya," jelas Roni.
"Kalau begitu semakin sulit untuk menemukan pelaku."
"Ya.. lalu apa yang kamu temukan?" Roni melihat pada Aditya.
"Logo di pin yang ditemukan adalah logo perusahaan keamanan, Sentinel. Perusahaan ini berpusat di Moskow tapi sudah memiliki anak cabang di beberapa negara, salah satunya di Indonesia. Kantornya berada di Jakarta. Aku yakin pemilik pin ini adalah orang yang membunuh Ibu Wina."
"Apa info ini valid?" tanya Roni.
"Tentu saja."
"Kalau begitu besok kita ke Jakarta. Aku akan meminta surat perintah sekarang," ujar Roni sambil berdiri dari duduknya.
Walau tidak yakin petunjuk yang dimiliki bisa membuat mereka menangkap pelaku secepatnya, namun apa pun itu, mereka harus mencobanya. Kasus ini lebih rumit dibanding kasus Edwin. Bisa jadi pembunuh Wina adalah orang berkuasa. Namun satu pertanyaan penting yang harus dijawab, apa motifnya membunuh Wina yang hanya seorang Ibu rumah tangga biasa?
Waktu sudah pukul sembilan malam, Aditya dan Tristan meninggalkan kantor Polsek Sukajadi. Mereka lebih dulu kembali ke kantor Polrestabes untuk melaporkan perkembangan penyelidikan mereka. Ternyata Jaya, Nusa dan Ikhsan juga baru pulang setelah mereka menangkap Ageng. Tanpa melalui interogasi yang panjang, pria itu langsung mengakui perbuatannya yang sudah membunuh Edwin. Namun pria itu menyangkal soal pembunuhan Lastri. Istrinya itu pergi dari rumah. Salah satu alasannya memukuli Edwin adalah untuk melampiaskan emosinya yang ditinggal Lastri begitu saja.
Tomi mengajak semua anggota timnya untuk berkumpul di ruang rapat. Aditya langsung diminta melaporkan perkembangan kasus Lastri. Dari perkembangan yang didapat, diketahui kalau pembunuh Lastri bisa jadi adalah orang yang berkuasa.
"Pak, apa tidak lebih baik kalau kasus ini ditarik ke sini? SDM di sana masih kurang. Kita bisa menarik satu atau dua anggota di sana untuk bergabung bersama kita," usul Aditya.
"Usulan Aditya bagus juga," sambung Jaya.
"Menurutmu siapa yang bisa ditarik ke sini?"
"Roni. Dia adalah penanggung jawab kasus Ibu Wina."
"Baiklah. Saya akan mendiskusikannya dengan Pak Tamar besok. Kalian akan berangkat ke Jakarta besok?" Tomi melihat pada Aditya dan Tristan.
"Iya, Pak."
"Apa yang bisa kami bantu?" tanya Nusa.
"Saat ini informasi yang kami miliki masih minim. Mudah-mudahan ada perkembangan baik sekembalinya dari Jakarta. Oh ya noda darah di pin, salah satunya adalah darah si pembunuh. Tapi tidak ada di basis data kepolisian," terang Tristan.
"Aku akan menggali lebih dalam ke keluarga korban dan mencari jejak di dekat rumah korban. Siapa tahu ada yang tertinggal."
Ucapan Jaya disambut anggukan yang lain. Kasus Lastri termasuk kasus yang pelik. Kematiannya berhubungan dengan yang kasus lain. Rapat segera ditutup dan semua dipersilakan pulang ke rumah masing-masing.
***
Keesokan harinya Aditya berangkat ke Jakarta bersama Tristan dan Roni. Pria itu lebih dulu menuju kantor Polsek Sukajadi untuk menjemput Roni. Mereka pergi menggunakan mobil Aditya. Roni duduk di jok belakang. Baru kali ini dia menaiki mobil mewah.
"Wah mobilmu mewah juga," ujar Roni.
"Ini mobil hadiah, Bang."
"Yang kasih kamu hadiah pasti uangnya ngga berseri ya, hahaha.."
Hubungan Roni dengan Aditya dan Tristan sudah lebih mencair. Awalnya pria itu memang tidak senang dengan kehadiran dua juniornya dari kantor Polrestabes. Mereka dianggap mencampuri kasus yang tengah di tanganinya. Namun setalah melihat kinerja Aditya dan Tristan yang baik, perlahan sikapnya mulai berubah. Dia bahkan meminta dua rekannya itu memanggil dengan sebutan Abang alih-alih Bapak.
"Kamu dapat info soal Sentinel dari mana?"
"Dari sepupuku."
"Sepupuku kerja di mana?"
"Di Infinity Corp."
"Wah perusahaan besar itu. Sepupumu kerja di bagian apa?"
"Masih kerja serabutan, Bang. Namanya juga baru join. Alhamdulillah atasannya baik dan mau kasih info sama dia."
Aditya sengaja tidak menyebutkan yang sebenarnya ditentang Arsyad. Dia hanya tidak ingin orang-orang mengenalnya karena keturunan Hikmat. Dia ingin orang lain dekat dengannya karena tulus dan mengakui kinerjanya karena kerja kerasnya, bukan karena latar belakang keluarganya.
"Oh ya, Bang. Kasus Ibu Wina akan ditarik ke kantor Polrestabes."
"Silakan saja, mungkin memang lebih cocok kalau kasus itu dilimpahkan ke sana. Aku kekurangan personil untuk menyelidiki kasus ini. Apalagi sepertinya kasus ini bukan kasus biasa."
"Kalau Abang bersedia, Abang juga akan ditarik ke sana."
"Tentu saja."
Tol Cipularang masih lengang ketika Aditya memacu kendaraan roda empatnya di sana. Mereka memang sengaja berangkat pagi agar bisa tiba lebih awal di Jakarta. Sambil berkendara, ketiga berbincang membahas kasus yang tengah mereka tangani. Roni sendiri merasa pesimis kalau kasus ini akan bisa selesai dalam waktu dekat, syukur-syukur kalau tidak masuk ke peti es karena tidak dapat terselesaikan.
Perjalanan mereka berakhir ketika kendaraan milik Aditya berbelok memasuki pelataran parkir gedung kantor Sentinel. Setelah memarkirkan kendaraannya, ketiganya memasuk lobi gedung berlantai sepuluh ini. Mereka segera menuju meja resepsionis.
"Selamat pagi, ada yang bisa dibantu?"
"Pagi, kami ingin menemui bagian HRD," Roni memperlihatkan kartu identitasnya dan surat yang dibawa dari kantornya.
"Sebentar, Pak."
Petugas resepsionis tersebut segera menghubungi bagian HRD. Selesai mengatakan kedatangan Roni dan yang lain, wanita itu memandu ketiga petugas polisi itu menuju lift yang ada di samping kanan meja resepsionis. Dia memijit tombol enam lalu keluar lagi dari lift. Kotak besi itu pun mulai bergerak naik. Sesampainya di lantai enam, kedatangan mereka langsung disambut oleh seorang pria paruh baya. Dia langsung memperkenalkan diri seraya menyalami ketiganya.
"Silakan ikut saya."
Pria bernama Baskara itu membawa Roni dan yang lain ke ruang meeting yang ada di lantai ini. Ini pertama kalinya petugas polisi mendatangi kantor Sentinel.Pria itu terlihat cukup tegang juga. Dia merasa kedatangan polisi ke kantornya bukan hanya kunjungan biasa.
"Begini Pak Baskara, kedatangan kami berkaitan dengan kasus pembunuhan yang sedang kamu tangani. Dari hasil penyelidikan, kami menemukan bukti yang mengarah ke kantor ini."
"Bukti apa?"
Terdengar suara pria lain tak lama setelah pintu ruangan terbuka. Baskara berdiri untuk menyambut atasannya, Ivan. Mendengar ada petugas polisi yang datang ke kantornya, Ivan merasa harus menemuinya sendiri. Pria itu belum lama menjabat sebagai pimpinan Sentinel, baru dua tahun lamanya dia menjabat. Tentu saja dia tidak ingin ada masalah dengan perusahaan yang dipimpinnya ini.
"Perkenalkan ini Pak Ivan, Pimpinan Sentinel."
Aditya, Tristan dan Roni berdiri lalu menyalami Ivan. Pria itu mempersilakan ketiganya duduk kembali. Pembicaraan pun kembali berlanjut. Roni mengeluarkan foto Wina dan Lastri, lalu memperlihatkan pada Ivan dan Baskara.
"Apa kalian mengenal wanita ini?"
Kompak Ivan dan Baskara memperhatikan foto yang diperlihatkan oleh Roni. Keduanya saling berpandangan lalu menggelengkan kepalanya.
"Dia siapa?" tanya Ivan.
"Dia adalah korban pembunuhan. Ini Ibu Wina, dan ini Ibu Lastri."
"Oke, lalu apa hubungannya dengan perusahaan kami?" tanya Ivan lagi.
"Di TKP kami menemukan pin ini."
Roni memperlihatkan foto lain yang sekarang adalah gambar pin yang ditemukan Aditya. Ivan dan Baskara kembali memperhatikan foto tersebut.
"Ini pin perusahaan Sentinel, benar?"
"Iya."
"Selain pin ini ditemukan di TKP, pin ini juga terkena oleh noda darah. Darah yang pertama adalah milik korban dan darah kedua kami meyakini kalau itu darah pelaku."
"Apa semua karyawan di sini memiliki pin seperti ini?"
"Tidak. Hanya sekelas manajer saja yang memilikinya dan seluruh anggota tim SAFE," terang Ivan.
"SAFE?"
"Ya, perusahaan ini menawarkan beragam pilihan seperti guard services, valuables security transport, security training, security devices, security consultancy dan cyber security. Tim guard services kami disebut tim SAFE. Mereka semua memiliki pin seperti ini," terang Ivan panjang lebar.
"Berapa banyak anggota tim SAFE?"
"Sejauh ini 50 orang."
"Apa kami bisa meminta data mereka dan apa tugas mereka selama dua Minggu terakhir?"
Baskara nampak ragu menyetujui apa yang diminta oleh Roni. Pria itu menolehkan kepalanya pada Ivan. Atasannya itu hanya menganggukkan kepalanya saja. Baskara bangun dari duduknya lalu menuju telepon ekstensi yang ada di sudut ruangan. Pria itu menghubungi sekretarisnya dan meminta wanita itu menyediakan apa yang diminta oleh Roni.
Sepuluh menit kemudian, seorang wanita masuk ke dalam ruangan. Di tangannya terdapat sebuah map yang berisi informasi yang diminta oleh Roni. Setelah menerima map tersebut, Roni, Aditya dan Tristan langsung melihat lembaran kertas tersebut. Aditya mencoba mencari sosok tiga orang yang diperlihatkan kakek penunggu kali. Namun tidak ada yang cocok dengan personil SAFE.
"Selain tim SAFE, siapa lagi yang memiliki pin?" tanya Tristan.
"Petinggi manajemen dan tim valuables security transport."
"Berapa orang personilnya?"
"12 orang."
"Apa kami bisa meminta datanya sekaligus petinggi manajamen, termasuk kegiatan mereka selama dua Minggu terakhir?"
Kembali Baskara menghubungi sekretarisnya. Lagi-lagi Aditya mencari tiga sosok yang dilihatnya, tapi tetap tidak ditemukan. Ternyata kedatangan mereka ke Jakarta pun masih menemukan jalan buntu.
"Kami akan membawa data ini."
"Silakan. Kalau kalian membutuhkan bantuan kami, katakan saja. Perusahaan kami bergerak atas dasar kepercayaan. Kami tidak ingin karena masalah ini membuat reputasi kami tercoreng," ujar Ivan.
"Terima kasih atas kerjasamanya. Maaf sudah menganggu waktunya."
Roni, Aditya dan Tristan pun segera meninggalkan kantor tersebut. Aditya mempersilakan Tristan menyetir mobilnya, sementara dirinya melihat-lihat lagi berkas yang didapatnya dari kantor Sentinel.
***
Ini penampakan Ivan
menyusahkan tapi ujungnya baiklah 😂😂
waaah sean emang kmu punya orderan ala aja😆😆😆😆😆