Di kota Plaguehart, Profesor Arya Pratama melakukan eksperimen berbahaya untuk menghidupkan kembali istrinya, Lara, menggunakan sampel darah putrinya, Widya. Namun, eksperimen itu gagal, mengubah Lara menjadi zombie haus darah. Wabah tersebut menyebar cepat, mengubah penduduk menjadi makhluk mengerikan.
Widya, bersama adiknya dan beberapa teman, berjuang melawan zombie dan mencari kebenaran di balik wabah. Dengan bantuan Efri, seorang dosen bioteknologi, mereka menyelidiki lebih dalam, menemukan kebenaran mengerikan tentang ayah dan ibunya. Widya harus menghadapi kenyataan pahit dan mengambil keputusan yang menentukan nasib kota dan hidupnya.
Mampukah Widya menyelamatkan kota dengan bantuan Dosen Efri? Atau justru dia pada akhirnya ikut terinfeksi oleh wabah virus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pramesti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Para Preman
Di dalam kamar, di rumah kecil telantar itu, ada satu zombie terikat erat di kasur. Tubuhnya dipenuhi bekas gigitan, matanya tertutup kain, dan wajahnya tampak hancur.
Tiba-tiba, suara motor Harley terdengar berhenti tepat di depan rumah. Widya, Alexa dan Anna menatap ke arah pintu masuk yang sedikit terbuka secara bersamaan. Dalam hitungan detik, dua sosok preman berpostur kekar muncul dari balik pintu. Mereka mengenakan jaket kulit lusuh, dan memegang senjata tajam.
"Siapa kalian? Kenapa berani masuk ke rumah ini?" salah satu preman bertanya dengan suara serak, mengarahkan pistol ke arah Widya.
Widya mengatur napas, mencoba untuk tenang. "Maaf, kami tidak tahu jika rumah ini dihuni," jawab Widya dengan nada tegas. "Kalau begitu, kami akan keluar dari rumah ini," sambungannya, menarik tangan Alexa dan hendak melangkah keluar dari rumah.
Namun, preman itu menghalangi jalan mereka, dan tiba-tiba tertawa keras. "Tidak semudah itu kalian bisa keluar dari rumah ini."
Widya menatap tajam ke arah dua preman besar yang mendekat, mengerutkan alisnya dengan heran. "Apa maksud kalian? Kenapa kami tidak dibolehkan keluar dari tempat ini?" tanyanya, dengan nada cemas.
"Karena, kalian sudah masuk tanpa izin. Artinya, kalian siap jadi santapan ibu kami," jawab salah satu preman, menunjuk ke arah zombie yang terikat di dalam kamar. Preman itu melanjutkan, "Kami sudah berusaha mencari daging segar untuknya, tapi kami tidak berhasil. Dan kebetulan kalian ada di sini, masuk tanpa izin, berarti kalian sudah siap kami jadikan santapan berikutnya."
Mendengarkan itu, Widya melangkah lebih dekat dan menatap ke arah preman dengan tatapan yang sangat tajam. "Jika kalian ingin menjadikan kami sebagai santapan ibu kalian, maka kalian harus melewati aku dulu!" seru Widya, dengan suara tegas.
Sementara Alexa menggenggam tangan Anna lebih erat, mencoba menenangkan anaknya yang ketakutan. Namun, kedua perman itu tertawa terbahak-bahak meremehkan Widya.
Tanpa peringatan, preman pertama mengarahkan pistol ke kepala Widya. Dengan gerakan cepat, dia memutarkan tubuhnya dan menendang tangan preman yang memegang pistol. Senjata itu terlempar ke sisi lain ruangan.
Namun, preman yang lain tidak tinggal diam. Dia melayangkan pukulan ke arah Widya dengan kecepatan luar biasa. Widya berhasil menghindar, namun pukulan itu masih sempat mengenai pundaknya, membuatnya terhuyung dan hampir jatuh.
"Besar juga nyalinya," kata preman pertama, menarik senjata lain, pisau, pada pinggangnya dan melangkah maju ke arah Alexa serta Anna yang berdiri ketakutan di dekat dinding.
Alexa, Anna melangkah mundur, sehingga tubuh mereka merapat ke tembok. "Jangan! Jangan bunuh kami!" seru Alexa ketakutan, sementara Anna menggenggam tangan ibunya, menangis ketakutan.
"Kalian harus mati, jika tidak ingin dijadikan santapan ibuku!" ancam preman pertama, menyeringai jahat, mengacungkan pisau tajam ke arah mereka dan melangkah semakin dekat.
Widya, yang melihat Alexa dan Anna sedang terancam, berlari dengan sekuat tenaga, melompat maju dan menendang preman itu dari belakang. "Jangan sentuh mereka!” teriak Widya, suaranya penuh kemarahan.
Preman itu terpental, tubuhnya terbanting keras ke tembok, menyebabkan retakan di dinding rumah. Tapi sebelum Widya bisa melanjutkan serangan, preman yang kedua menyerang dengan brutal.
Dengan gerakan gesit, Widya memukul, menendang preman kedua. Sementara itu, Alexa dan Anna berlari ke sisi rumah, mencoba menghindari pertarungan yang semakin sengit.
Di tengah pertarungan sengit itu, preman yang terpental ke tembok, mencoba bangkit dengan penuh kemarahan. Tanpa memberi peringatan, dia meraih botol kaca minuman keras yang tergeletak di sampingnya, dan dengan cepat menghantamkan botol itu ke belakang kepala Widya. "BRAKK!" Suara keras terdengar saat botol kaca menghantam tengkorak Widya.
Widya terjatuh, kepalanya berdenyut hebat, pandangannya mulai kabur dan pusing. Sedangkan Alexa, berteriak histeris. "Widya!" teriaknya, terkejut melihat pemandangan itu.
Anna, menangis keras, sementara Alexa menahan air matanya dan terus memanggil nama Widya. "Widya, bangun! Ayo bangun!" seru Alexa, memanggil namanya berkali-kali.
Sementara Widya, bisa mendengar teriakan Alexa dan Anna yang semakin tidak jelas. Darah segar, mengalir banyak dari kepalanya. Penglihatannya semakin kabur, suara tangisan ketakutan dari Alexa dan Anna semakin samar. "Alexa... Anna..." bisik Widya, suaranya hampir tidak terdengar. Dan akhirnya, Widya kehilangan kesadaran.
Saat itu, para preman menangkap Alexa dan Anna. Mereka berdua di tarik paksa, dan di ancam. "Kalian berdua, ikut kami. Jangan coba-coba memberontak," kata salah satu preman, mengancam, mengarahkan ujung pisau ke leher Alexa dan Anna.
Sementara itu, di saat yang sama, di perpustakaan kampus, Dosen Efri mengarahkan sebuah rencana untuk keluar dari kampus yang sudah dipenuhi zombie.
"Semuanya. Kita tidak bisa terus berdiam disini!" seru Efri, dengan cepat melanjutkan perkataannya. "Bagaimana, kalau kita sama-sama bergerak menuju ke atas gedung kampus?"
Seluruh mahasiswa saling berpandangan, termaksud Dosen Roger. Mereka tampak ragu dan tidak mengerti dengan rencana yang di arahkan Dosen Efri. "Maksudmu, rooftop? Untuk apa kita ke atas kesana?" tanya Dosen Roger.
Sebelum menjawab, Efri berdiri tegak dan mulai menjelaskan rencananya. "Kita akan membuat sinyal SOS, dan tempat itu sangat strategis."
"Tapi pak, bagaimana caranya kita bisa sampai ke rooftop?" sela Eric, bertanya dan melanjutkan perkataannya dengan cepat. "Sementara zombie di luar sangat banyak, bahkan juga di anak tangga."
"Benar pak. Kita juga tidak bisa keluar dari ruangan ini, menggunakan pintu depan," sahut Erin, sebelum Dosen Efri sempat menjawab pertanyaan kembarannya.
Efri menarik napas dengan panjang, lalu tersenyum tipis. "Kalau soal cara melewati zombie yang semakin banyak, itu ada di kelompokkan kita bersama dalam melawan zombie," jawabnya, dengan nada pelan namun tegas. "Lalu, untuk keluar dari perpustakaan ini, kita gunakan pintu belakang."
Semuanya tampak ragu, namun mereka harus menyetujui rencana Efri. "Baiklah. Kami setuju dengan rencana ini," ujar Alvin.
Mereka melangkah ke pintu belakang perpustakaan, namun Efri memberi isyarat untuk tetap berhati-hati dan jangan ada yang terpisah. "Kalian tetap di dekat aku dan tim kita tidak boleh terpencar!" serunya, membuka pintu belakang perpustakaan secara perlahan.
Semuanya mengangguk, dan bersiap. Ternyata, di belakang gedung perpustakaan tidak terlihat zombie sama sekali disana. Dengan langkah hati-hati, mereka berlari pelan menuju lorong yang sangat dekat dengan anak tangga pertama.
Namun, di bawah anak tangga pertama yang menuju lantai dua, ternyata sudah penuh dengan zombie yang berkeliaran. Efri, tiba-tiba berhenti secara mendadak, sehingga para mahasiswa yang ada di belakangnya bertabrakan.
"Aduh!" seru Chaca, dengan suara yang sedikit besar dan meninggi. Zombie yang ada di bawah anak tangga itu, mendengarkan suaranya. Dengan gerakan cepat, kepala zombie berputar menatap ke arah mereka semuanya.
Dengan wajah menyeramkan, segerombolan zombie di bawah anak tangga, bergerak kaku menuju ke arah mereka. "Sial. Kita ketahuan!" seru Efri, menggigit bibirnya.
"Pak Efri, gawat! Zombie dari arah lain juga sudah melihat keberadaan kita," kata Alvin, berteriak. Matanya melihat sekeliling, dan ternyata zombie dari arah lain berlari menuju ke arah mereka.
Tegang, panik, mereka semua terperangkap di tengah segerombolan zombie. Semuanya bersiap, mengangkat senjatanya masing-masing dan segera melawan zombie yang semakin mendekat ke arah mereka.
Btw FIGHTING!!