Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Endless Pain
Bacin merasakan keanehan yang semakin menghimpit dirinya. Ia terbaring di tanah, tubuhnya penuh luka, dan rasa sakit yang mencekam hampir membuatnya kehilangan kesadaran. Tapi yang membuatnya semakin tertekan bukanlah fisik yang terkoyak, melainkan kenyataan bahwa ia tidak bisa melihat apa yang menyerangnya. Tidak ada sosok, tidak ada bayangan, tidak ada jejak apapun yang bisa ia identifikasi.
Rasanya seperti ada kekuatan yang begitu gelap dan tidak terdefinisikan, bergerak mengelilinginya, mengirisnya dengan cara yang tak kasat mata. Setiap kali ia mencoba membuka mata, semuanya kabur, seperti dunia ini hanyalah bayangan yang mengaburkan kenyataan. Kegelapan di sekelilingnya begitu pekat, seakan menelan dirinya utuh. Tidak ada suara, tidak ada bau, hanya kekosongan yang meresap masuk ke dalam jiwanya.
Bacin merasakan bahwa dunia ini mulai memudar, seperti ia sedang terjebak dalam kekosongan yang mencekam. Ia ingin berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar. Kegelapan itu membuat tubuhnya semakin lemah, semakin rapuh, dan ia tidak bisa melawan apapun. Rasa sakit itu semakin dalam, semakin menyiksa. Namun, ia tak bisa menemukan sumbernya—apa yang melukai tubuhnya, apa yang menahannya? Tidak ada jawaban.
Putus asa mulai menyelimuti Bacin, menelusup ke dalam jiwanya yang sudah terkoyak. Ia merasa seperti sedang terperangkap dalam ruang yang tak terhingga, terperangkap di dalam dimensi yang tidak bisa ia pahami. Setiap detik terasa seperti abad yang panjang, di mana ia hanya dipenuhi rasa sakit tanpa akhir dan kebingungan yang tak terjawab.
Ia mencoba meraba, mencoba untuk merasakan apapun di sekitarnya, namun semuanya hampa. Tubuhnya bergerak perlahan, tetapi terasa seperti ada sesuatu yang menahannya, sesuatu yang tidak bisa ia lihat, tidak bisa ia sentuh, namun jelas ada.
Dengan setiap nafas yang terengah-engah, Bacin semakin tenggelam dalam perasaan hampa itu. Terperangkap dalam kesakitan dan ketidakpastian, ia mulai mempertanyakan apakah ia benar-benar masih hidup. Apakah ada harapan untuknya? Ataukah ini adalah takdirnya—terperangkap selamanya dalam kegelapan yang tidak terlihat?
Ia mencoba menenangkan dirinya, mencoba memfokuskan pikiran, tetapi semakin ia berusaha untuk bertahan, semakin kuat pula kegelapan itu mencekam dirinya. Rasa putus asa semakin mendalam, seakan setiap usaha untuk bertahan hanyalah sebuah ilusi kosong. Bacin merasa bahwa ia telah kehilangan kendali atas tubuhnya, atas jiwanya, dan yang lebih buruk, atas hidupnya sendiri.
Dalam keputusasaannya yang semakin dalam, Bacin hanya bisa bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sedang mengujiku?"
Namun, tak ada yang memberi jawaban. Dan kegelapan itu tetap menghisap semua yang ada di dalam dirinya, semakin dalam, semakin gelap, tanpa ada cahaya yang bisa menembus.
Beberapa jam berlalu, namun bagi Bacin, waktu terasa seperti tak berujung. Tubuhnya terus-menerus dihancurkan, terkoyak, terbelah, lalu disatukan kembali hanya untuk dihancurkan lagi. Rasa sakit itu tidak pernah berhenti, seolah ada sesuatu yang menghancurkan tubuhnya dari dalam dan luar secara bersamaan. Setiap serangan terasa lebih menyakitkan daripada yang sebelumnya, seakan ada semacam keabadian dalam penderitaan ini, yang tak pernah berhenti dan tak pernah memberi ampun.
Setiap luka yang terbuka seakan mengingatkan Bacin bahwa ia terperangkap dalam siklus siksaan yang tiada henti. Tubuhnya hancur dan terpecah dalam berbagai bentuk yang mengerikan, namun, entah bagaimana, ia selalu kembali utuh, hanya untuk disiksa lagi. Bahkan rasa sakit itu terasa seperti sebuah ritus tanpa akhir, dan ia tidak bisa menghindar.
Saat itu, Bacin merasakan bahwa ada satu titik yang hampir menghancurkan dirinya. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental dan emosional. Ia merasa seolah-olah keinginan untuk bertahan telah benar-benar lenyap, ditelan oleh kegelapan yang menembus jiwa. Ia merasa dirinya tak lebih dari sekadar alat untuk disiksa, sebuah objek yang tak punya arti selain untuk dihancurkan berulang kali.
Namun, setelah sekian lama, mungkin karena tubuhnya yang sudah terlalu lelah, atau mungkin karena kekuatan luar biasa yang menahan dirinya, Bacin akhirnya tak mampu lagi bertahan. Keputusasaan merasuki dirinya, dan ia terjatuh dalam kegelapan yang lebih dalam lagi.
Dengan satu tarikan nafas terakhir yang tersisa, Bacin pingsan.
Dalam kegelapan itu, tak ada rasa sakit, tak ada derita. Semua terasa hampa. Ia hanyut dalam kehampaan itu, tak tahu apakah ia akan terbangun lagi ataukah ini adalah akhir dari segalanya. Dan di sanalah ia tergeletak, tubuhnya hancur namun tak bisa mati, pikiran kosong tanpa ada satu jawaban pun.
Bacin terbangun perlahan, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan yang masih mengelilinginya. Tubuhnya terasa berat dan kaku, namun perlahan-lahan, rasa sakit itu mulai menghilang, tubuhnya kembali utuh. Entah berapa lama ia telah pingsan, dan seberapa banyak waktu yang terlewatkan, namun ada satu hal yang jelas—siksaan yang terus-menerus itu akhirnya berhenti. Ia mengangkat tubuhnya dengan susah payah dan berdiri, terkejut karena tidak ada lagi rasa sakit yang menyelimutinya.
Bacin menatap sekelilingnya dengan penuh kewaspadaan. Tak ada lagi suara-suara mengerikan atau sentuhan gelap yang merayap di dalam dirinya. Ia merasa bingung, namun juga lega. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk keluar dari tempat terkutuk ini, tempat yang telah menelannya dalam siklus penderitaan tanpa akhir. Kakinya melangkah perlahan menuju pintu keluar yang menuju dunia luar yang diselimuti kabut hitam pekat.
Saat ia keluar, kabut itu menyelimuti seluruh tubuhnya, dan suasana yang mencekam langsung menyambutnya. Kabut hitam menutupi pandangannya, membatasi jarak pandangnya, seakan semua yang ada di sekitarnya hanya bayangan-bayangan menyeramkan. Bacin tetap berjalan, setiap langkahnya penuh kehati-hatian. Ketika ia melewati sebuah sudut bangunan yang penuh noda darah, matanya tertumbuk pada sebuah benda yang tergeletak di tanah.
Sebuah kapak pemadam kebakaran, dengan bilah yang ternoda darah. Bekas darah itu terlihat segar, menandakan bahwa senjata ini baru saja digunakan. Bacin mendekat dengan cepat dan mengambil kapak itu. Beratnya terasa pas di tangannya, dan instingnya memberitahunya bahwa kapak ini adalah senjata yang tepat untuk saat ini. Ia menggenggamnya erat, merasakan kekuatan yang baru kembali padanya.
Dengan senjata baru di tangannya, Bacin merasakan rasa percaya diri yang sedikit kembali, meskipun kabut hitam yang menyelimuti tetap memberi perasaan yang mencekam.
Bacin berjalan dengan hati-hati, langkahnya pelan dan terukur. Setiap jejak kakinya terasa seperti membekas di tanah yang basah, namun ia berusaha sebisa mungkin tidak membuat suara. Ketakutan merayap di dalam dirinya, seakan-akan setiap detik berlalu bisa mengundang datangnya bahaya yang lebih besar. Kabut hitam di sekitarnya membuat pandangan menjadi kabur, dan setiap bayangan di sekitar terasa semakin menakutkan.
Saat melewati sebuah bangunan hancur, Bacin melihat kaca jendela yang pecah dan membingkai refleksi dirinya. Namun, tiba-tiba ia terhenti. Dalam pantulan kaca itu, matanya membelalak, tubuhnya kaku, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Di belakangnya, di luar jangkauan pandangannya, ada sosok yang mengikuti setiap langkahnya.
Sosok itu berdiri dengan senyuman mengerikan di wajahnya. Senyumannya sangat lebar, hingga hampir mengarah ke telinga. Kuku-kukunya memanjang tajam, seperti pisau yang siap melukai. Yang membuat Bacin semakin ngeri adalah kenyataan bahwa makhluk ini seakan meniru setiap gerakan yang ia buat. Setiap kali Bacin bergerak, makhluk itu ikut bergerak dengan tepat sama, seperti bayangannya. Namun, bukan bayangan biasa—ini adalah sesuatu yang lebih gelap, lebih jahat, dan lebih menakutkan.
Rasa takut menguasai tubuhnya, namun ia tahu jika ia menengok, itu akan semakin memperburuk situasi. Makhluk itu bisa langsung menyerangnya dengan kecepatan yang tak terduga. Bacin menggigit bibirnya, berusaha untuk tetap tenang, meskipun rasa cemas mulai merayap ke seluruh tubuhnya. Ia terus melangkah maju, semakin cepat, namun tidak berani menengok ke belakang.
Setiap langkah terasa lebih berat, seperti ada beban tak terlihat yang membebani tubuhnya. Namun, makhluk itu tetap mengikuti dengan senyuman yang semakin melebar. Seiring waktu berjalan, Bacin bisa merasakan ketegangan yang semakin kuat. Ada sesuatu yang salah, dan ia tahu bahwa makhluk itu tidak hanya mengikutinya—makhluk itu sedang menunggu kesempatan untuk menyerangnya.