"Ganti rugi 80 juta atau menikah dengan saya?"
Kristal Velicia, gadis yatim piatu dengan paras yang sangat cantik. Menjadi penyebab kecelakaan sebuah mobil mewah.
Gadis itu di tuntut ganti rugi atau menikah dengan pemilik mobil tersebut.
Pria tampan bersifat dingin bersama gadis cantik dan ceria.
Bagaimanakah nasib pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vgflia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9
Langit sangat suram di atas sana. Awan-awan gelap berkumpul. Perlahan, tetesan-tetesan bening mulai turun membasahi bumi.
Guntur menggelegar, hujan turun semakin deras tanpa ada niatan untuk berhenti.
Kristal, gadis itu duduk meringkuk di makam kedua orang tuanya. Dia tidak beranjak sama sekali, membiarkan hujan turun membasahi tubuhnya.
Seorang pria berjalan mendekat. Dia berjongkok di samping Kristal, sambil memayunginya.
"Mama..." gumam gadis itu.
...•••...
"Hai, girl!" sapa Bram saat pintu cafe terbuka.
"Hai," balas Jane tanpa semangat.
Bram, lelaki berumur dua puluh lima tahun itu mengeryitkan dahinya dengan bingung. "Kenapa wajahmu seperti tidak ada semangat hidup? Dan dimana Kristal?" tanyanya sambil menoleh kesana kemari.
Jane menghela nafas panjang. "Kristal tidak masuk, dan tidak bisa di hubungi. Dia juga tidak mengabari Pak Wiliam. Aku lelah menghandle semuanya sendirian dari pagi." Jane kembali menidurkan kepalanya di atas meja.
"Hah? Seorang Kristal tidak masuk kerja? Tanpa alasan? Kau tidak bercanda, Jane?" Bram duduk di depan Jane.
Jane mengangkat wajahnya dan menatap Bram sinis. "Apa wajahku ini terlihat sedang bercanda? Sana, jangan menggangguku! Aduh, badanku." Jane meremas pudaknya yang nyeri. Dia kelelahan mengerjakan semuanya dari pagi.
Bram terdiam. Mendekat ke arah Jane dengan perlahan. "Jangan-jangan itu karena..." Dia menjeda ucapannya, melirik Vano yang ada di depan mesin kopi.
Jane mengikuti arah pandang Bram, kemudian tersenyum sinis. "Iya, mungkin saja karena lelaki itu. Pasti Kristal sangat sakit hati mendengar ucapannya. Ah, aku berharap Kristal segera mencari lelaki baik," ucap Jane dengan lantang, sengaja agar Vano mendengarnya.
Bram ternganga. Susah payah dia memelankan suaranya, tapi Jane malah tidak mau bekerja sama.
Terdengar dengusan dari Vano. Jane merotasikan matanya, beranjak mengambil tasnya. Dia tidak ingin ada satu ruangan dengan lelaki, yang menyakiti sahabat penyelamatnya itu. Kalau bukan karena Kristal, mungkin sekarang dia sudah membusuk di dalam tanah, karena bunuh diri.
Tepat saat Jane ingin keluar, Pak Wiliam masuk ke dalam cafe. Sontak Jane menghentikan langkahnya. Ketiga orang itu saling memandang dengan bingung. Sangat jarang bos mereka itu mampir di hari biasa, selain hari weekend.
"Oh, kamu sudah mau pulang, ya, Jane?" tanya Pak Wiliam.
Jane tersenyum sambil mengangguk dengan sopan. "Iya, Pak."
"Hm, kamu duduk sebentar. Ada yang mau bapak bicarakan dengan kalian." Pak Wiliam duduk di pojok ruangan dan menaruh beberapa berkas di meja.
Meskipun bingung, ketiganya tetap berjalan mendekati Pak Wiliam. Untunglah suasana cafe sedikit sunyi, jadi mereka tidak di sibukkan dengan pesanan para pelanggan.
Setelah ketiganya duduk di depan Pak Wiliam. Pria berusia empat puluhan itu membuka suara.
"Ini beberapa surat lamaran yang pernah melamar di cafe ini untuk bekerja part time. Kalian pilihlah dua orang, lalu hubungi mereka untuk ikut training," ucapnya sambil menyerahkan beberapa map ke hadapan Jane, Bram, dan Vano.
Wajah ketiganya penuh tanda tanya. Pasalnya, selama ini Pak Wiliam tidak pernah lagi menerima karyawan baru setelah Vano. Dan itu sudah berlalu sejak dua tahun belakangan. Kenapa tiba-tiba Pak Wiliam ingin merekrut karyawan baru? Dan itu langsung dua orang.
Pak Wiliam yang melihat berbagai macam pertanyaan di wajah ketiga karyawannya membuka suara. "Mulai hari ini Kristal tidak akan bekerja disini lagi."
"A-apa? Kenapa, Pak?" Jane terkejut dengan perkataan Pak Wiliam, begitupun dengan Bram dan Vano.
"Dia akan segera menikah."
"Apa?!" seru Jane dan Bram bersamaan.
"Kalian ini kenapa teriak-teriak. Nanti kalau pelanggan lari kalian mau tanggung jawab, hah?!"" ucap Pak Wiliam dengan ketus. Sebenarnya itu hanya alasan. Telinganya sakit mendengar suara mereka.
"Tunggu, Pak. Bapak nggak bercanda, kan?" tanya Jane lagi.
"Kristal nikah sama siapa, Pak? Bukannya dia jomblo dari lahir?" tanya Bram.
Sedangkan Vano, dia hanya diam dan tidak mengatakan sepatah katapun.
"Sudah-sudah, kalian akan tahu nanti. Segera cari training untuk menganti Kristal, dan satu waiters. Bapak harus pergi sekarang." Pak Wiliam mengambil dompet dan kunci mobilnya dan berjalan keluar cafe.
"Sekali di campakkan langsung menikah. Kristal, gacor sekali kau dek!" Bram menepuk tangannya sambil menggeleng kepala tidak percaya.
"Akhhh, kenapa memukulku?" Bram mengusap lengannya dengan wajah kesal.
"Tidak apa-apa, aku hanya jengkel tapi tidak tahu harus melampiaskannya pada siapa. Kristal, anak itu menganggap aku sahabatnya atau tidak, sih? Bisa-bisanya aku mendengar pernikahannya dari Pak Wiliam!" Jane meremas ujung meja dengan kesal.
"Mungkin dia punya dendam padamu, karena mengkhianatinya." Kompor Bram yang hanya dibalas tatapan tajam oleh Jane.
"Sudahlah, aku mau pulang saja!"
Bram terkekeh geli melihat punggung Jane, yang keluar dari cafe dengan kesal. sedangkan Vano hanya diam membisu dari tadi.
...•••...
Beberapa saat yang lalu...
Kristal membuka kelopak matanya. Perlahan, cahaya menyilaukan menusuk netranya. Kristal mengangkat tangannya, menghalangi cahaya itu.
"Sudah bangun?"
Suara berat terdengar dari arah samping.
Kristal menoleh, mengerjapkan matanya berkali-kali. "Bapak?"
Kay mendengus kesal. "Berapa kali harus saya katakan, jangan panggil saya bapak!"
Kristal tidak menghiraukan perkataan Kay. Dia mendudukkan tubuhnya dengan perlahan. Matanya menatap ke sekeliling ruangan dengan bingung.
"Aku dimana?"
"Rumah sakit," jawab Kay singkat tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.
Dahi Kristal berkerut. "Kenapa aku disini?"
Jari kekar Kay yang sibuk menekan layar ponselnya terhenti. Dia melirik Kristal dengan datar. "Hujan-hujanan di kuburan sampai demam tinggi. Kamu masih bertanya kenapa kamu ada disini?"
Kristal terdiam. Kembali mengingat kejadian semalam.
Pintu ruangan terbuka, memperlihatkan dokter yang berjalan masuk di ikuti dengan seorang perawat dari belakang.
"Permisi, Nyonya. Saya periksa sebentar," ucap sang dokter, yang di panggil Kay beberapa saat lalu.
Kristal mengerutkan dahinya. Pelayanan di rumah sakit apa memang sebagus ini? Dia bahkan di panggil Nyonya.
...•••...
Kristal menatap lembar kertas di tangannya dengan bingung. Sudah satu jam berlalu saat dia siuman, dan sekarang dia sedang duduk di kursi bersama Kay yang ada di depannya.
"Aku tidak masuk ke dalam novel, kan?" batinnya.
"Saya akan berikan kamu satu miliar sebagai uang muka. Kamu hanya perlu menjalani pernikahan dengan saya selama setahun, dan setelah itu saya akan memberikan kamu satu miliar lagi dengan rumah dua lantai saat kontrak berakhir," sahut Kay tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
Kepala Kristal berdenyut mendengar nominal yang di ucapkan pria di depannya ini. Matanya dari tadi tak lepas dari syarat-syarat yang tertulis di kertas itu.
"Bapak ingin menikahi ku cuman untuk punya status 'sudah menikah?' Terus Kristal nggak perlu melayani bapak, nggak perlu ikut campur urusan bapak, bahkan nggak perlu ngurusin rumah?! Serius Kristal nggak perlu ngapa-ngapain?" Kristal memandang Kay setelah membaca isi kontrak di tangannya.
"Saya juga akan berikan kamu tunjangan lima puluh juta setiap bulannya. Kamu hanya perlu jaga reputasi saya di depan publik dan di depan keluarga. Diluar itu saya tidak peduli kamu mau berbuat apa." Tambah Kay sembari membalas pesan di grub untuk menunda rapatnya.
"Soal ganti rugi 80 juta-"
"Itu juga lunas," sela Kay lalu meletakkan handphonenya dan menatap wajah pucat Kristal.
Kristal meringis. Dia menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Tawaran pria di depannya ini memang sangat menggiurkan, tapi apakah tidak apa-apa menikah secepat ini?
"Bagaimana? Ganti rugi 80 juta atau menikah dengan saya?" tanya Kay lagi. Wajah datarnya tidak berubah sedikitpun.
"S-soal itu. Ehm, tapi Kristal masih bisa kerja, kan, Pak?" tanya Kristal ragu-ragu.
"Kamu bercanda? Istri dari Presdir Eclipse Group bekerja di cafe. Kamu mau taru dimana wajah saya?!" sahut Kay sinis. Gadis aneh ini sudah diberi hidup enak masih sempatnya berpikiran untuk bekerja.
"Ha? Perusahaan kemarin punya bapak?!" Kristal melotot tidak percaya. Pemilik perusahaan besar itu ternyata ada di depannya sekarang, dan bahkan menawarinya untuk menikah.
Kay melirik Kristal. "Lalu kamu pikir punya siapa kalau bukan punya saya?!" nada ketusnya tidak berubah sema sekali.
Kristal memajukan bibirnya. "Tapi Kristal nggak bisa tiba-tiba berhenti bekerja, Pak. Mereka kewalahan nanti kalo handle sendirian. Ijinin Kristal kerja untuk sementara, ya, Pak? Minimal sampe ada yang bisa gantiin Kristal." Kristal menyatukan kedua tangannya dengan tatapan memohon. Dia bahkan mengedipkan kedua matanya, berharap Kay dapat luluh.
Wajah Kay tidak berubah. Dia mengambil handphonenya tanpa meladeni Kristal. Gadis itu mendengus saat ucapannya di acuhkan.
"Satu minggu, kamu punya waktu satu minggu sebelum menikah," finalnya setelah mengecek kalender di handphonenya.
"Apa? Kok cepat sekali, pak?!"
"Satu minggu atau tidak sama sekali."
Kristal mengerucutkan bibirnya kesal. "Malam itu ku tawari ganti rugi dia mengacuhkan ku. Sekarang dia datang menawariku untuk menikah dengannya. Dasar pria tidak waras," gumamnya.
"Apa kau bilang?!" Kay memajukan tubuhnya. Mata obsidiannya menatap Kristal dengan tajam.
"Mau, Pak. Kristal mau." Pria ini benar-benar tidak bisa di singgung.