Pernikahan yang terjadi antara Ajeng dan Bisma karena perjodohan. Seperti mendapat durian runtuh, itulah kebahagiaan yang dirasakan Ajeng seumur hidup. Suami yang tampan, tajir dan memiliki jabatan di instansi pemerintahan membuatnya tidak menginginkan hal lain lagi.
Ternyata pernikahan yang terjadi tak seindah bayangan Ajeng sebelumnya. Bisma tak lain hanya seorang lelaki dingin tak berhati. Kelahiran putri kecil mereka tak membuat nurani Bisma tersentuh.
Kehadiran Deby rekan kerja beda departemen membuat perasaan Bisma tersentuh dan ingin merasakan jatuh cinta yang sesungguhnya, sehingga ia mengakhiri pernikahan yang belum genap tiga tahun.
Walau dengan hati terluka Ajeng menerima keputusan sepihak yang diambil Bisma. Di saat ia telah membuka hati, ternyata Bisma baru menyadari bahwa keluarga kecilnya lah yang ia butuhkan bukan yang lain.
Apakah Ajeng akan kembali rujuk dengan Bisma atau menerima lelaki baru dalam hidupnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leny Fairuz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Ingin Mendekat
Jam baru menunjukkan pukul 6.30 Wib. Masih banyak waktu yang tersisa untuk berangkat ke kantor karena jam ngantor masih lama.
Mengendarai mobil dengan berpakaian dinas lengkap Bisma memutar arah dan membawa mobilnya memasuki kafe resto milik Ajeng yang sudah buka sejak pagi.
Senyum cerah yang menghiasi wajahnya langsung sirna melihat dua sosok yang duduk berhadapan sambil berbincang dan bersenda gurau. Tanpa basa-basi Bisma langsung duduk di hadapan keduanya.
Ajeng terkejut melihat kehadiran Bisma yang kini santai diantara dirinya dan Sigit yang juga mampir untuk sarapan pagi.
“Bapak mau minum apa?” dengan senyum khasnya Ajeng menawari Bisma.
“Yang selama ini kamu sediakan,” Bisma menjawab santai membuat mata Ajeng langsung membulat.
Senyum terbit di wajah Bisma melihat raut Ajeng. Ia memang merindukan kopi serta semua menu yang pernah Ajeng siapkan untuknya selama kebersamaan mereka, hingga sepagi ini ia memaksa untuk mampir ke kafe resto Ajeng yang ia tau juga menyiapkan menu sarapan pagi.
Sigit memandang Bisma dengan kening berkerut. Ia tidak mengenal laki-laki yang kini duduk santai di hadapannya.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” sepeninggal Ajeng untuk menyiapkan pesanan Bisma membuat Sigit langsung bertanya.
Bisma menggelengkan kepala cepat. Ia pun tidak pernah mengenal Sigit. Selama terikat pernikahan dengan Ajeng, keduanya tidak pernah menghadiri undangan yang berkaitan dengan kantor atau pun rekan kerja Ajeng, kecuali keluarga terdekat saja, itu pun dapat dihitung dengan jari karena kesibukan masing-masing.
“Dari pada gak ada teman ngobrol,” jawab Bisma santai.
Terus terang ia tidak suka melihat Ajeng duduk bersama dengan laki-laki lain, apalagi berbagi senyum dan tawa dengan santainya. Entah mulai kapan perasaan itu datang mengganggunya, karena selama ini ia baik-baik saja.
“Kelihatan anda mengenal Ajeng sangat baik?” Sigit bertanya to the point.
Ia melihat Bisma dengan santai mengatakan apa yang ia pesan tanpa menyebut detil yang ia inginkan. Ia jadi penasaran dengan sikap akrab yang ditunjukkan Bisma, sedangkan Ajeng terlihat kaku.
“Tanyakan saja pada Ajeng?” Bisma berkata dengan santai sambil meraih air mineral yang masih utuh di atas meja.
Tak lama Ajeng datang dengan seorang pegawainya membawakan pesanan Bisma. Dengan santai ia meletakkan piring yang berisi nasi goreng seafood dan kopi hitam dengan sedikit gula.
“Selamat menikmati .... “ ujar Ajeng berusaha santai dengan mengulas senyum sekilas.
Tatapannya langsung berpindah ketika Bisma memandangnya dengan lekat.
“Rasanya tetap sama, selalu enak,” Bisma berkata jujur setelah meminum kopinya beberapa teguk.
“Silakan lanjutkan pembicaraannya mas Sigit, pak Bisma .... “ Ajeng tidak ingin berlama-lama dengan keduanya.
Karena hari sudah jam 7, saatnya ia memandikan Lala yang kini sedang minum susu bersama bu Isma. Ia hendak membalik badan setelah mempersilakan kedua pelanggan barunya menikmati sarapan pagi yang telah tersedia.
“Apa kamu tidak ingin menemani kami sarapan di sini?” Bisma berusaha menahan kepergian Ajeng.
Entah kenapa rasanya ia ingin berbincang lebih lama, dan mendengar suara lembutnya yang memanjakan indera pendengarannya. Ia tidak ingin menikmati sarapan pagi dengan lelai asing yang di matanya kelihatan berusaha menarik perhatian Ajeng.
Tatapan Sigit tak beralih dari Bisma yang meminta Ajeng untuk menemani mereka berdua sarapan di pagi yang cerah itu.
“Maaf, saya masih ada kesibukan lain. Permisi .... “ tanpa menunggu jawaban Bisma, Ajeng berjalan dengan cepat.
Akhirnya Bisma dan Sigit menikmati sarapan pagi tanpa banyak berbicara, hanya hati masing-masing yang sibuk mempertanyakan hubungan yang terjadi diantara mereka dengan Ajeng sehingga memiliki kedekatan yang berbeda.
Keesokan paginya Bisma kembali datang ke kafe resto Ajeng untuk menikmati sarapan. Ia pun tanpa tau malu meminta Ajeng untuk memasak sendiri tanpa menyuruh pegawai lain melakukannya.
Walau dengan perasaan kesal Ajeng tetap menuruti keinginan Bisma. Ia tidak ingin menarik perhatian pelanggan yang lain jika menolak apa yang Bisma mau.
Pagi ini Bisma agak kesiangan, karena banyaknya proyek di lapangan yang harus ia kerjakan tadi malam. Menjelang awal tahun, banyak laporan-laporan yang harus ia siapkan dan ia koreksi sebagai pertanggung jawaban pekerjaan akhir tahun. Ia tipe yang perfeksionis, dan tidak mudah percaya dengan orang lain.
Walau pun Deby dan beberapa staf lain memaksa lembur untuk membantunya menyelesaikan semua laporan, tapi Bisma menolak. Ia meminta staf mengerjakan sesuai jam kerja. Ia dan Ibnu yang memeriksa semua laporan yang telah diselesaikan tepat jam 4 sore.
Saat tiba di kafe resto untuk sarapan pagi mukanya berubah kecut melihat Hilman, Sigit dan Ajeng duduk bersama menikmati kopi hangat. Perbincangan ketiganya tampak santai dengan sesekali terdengar tawa Sigit dibarengi Hilman.
Ajeng hanya tersenyum meladeni percakapan keduanya seputar dunia kerja masing-masing. Sebenarnya ia sudah tau akan kedatangan Bisma, tapi kali ini ia membiarkan saja apa maunya lelaki yang kini sudah tidak ada hubungan dengannya lagi. Ia yakin pegawai yang lain akan melayani Bisma.
Pagi ini ia dan Hilman sudah janjian untuk melihat lahan yang akan dijadikan kolam untuk ternak lele. Permintaan pasokan lele yang meningkat membuat Ajeng ingin memproduksi sendiri dan memanen lele langsung di kolam miliknya tanpa harus pergi ke pemasok lain.
Beruntung teman Hilman yang ingin balik kampung akan melepas beberapa lahan kolam lele yang siap panen. Merasa uangnya sudah ada, tidak ada salahnya bagi Ajeng untuk menambah usaha pembibitan dan pembiakan lele sendiri.
“Jadi udah resmi ni...?” Sigit memandang Ajeng dan Hilman bergantian.
Ia dapat melihat gerak-gerik Hilman yang begitu perhatian pada Ajeng. Sedangkan ia sendiri hanya menawarkan pertemanan. Ia sangat tau diri, ia hanya seorang pegawai bank. Walau pun kelasnya sebagai kepala cabang, tapi tidak akan mampu menandingi sosok Hilman pengusaha tajir, yang digadang-gadang calon suami Ajeng.
Saat kepindahannya di bank pemerintah Surabaya, ia sudah mengenal Ajeng yang menjadi bawahannya. Dirinya memang masih lajang. Hingga tiga bulan kemudian Ajeng mengundurkan diri, ia belum sempat untuk mengenal lebih dekat sosok Ajeng yang jadi perbincangan rekan lain, karena pengunduran dirinya terbilang mendadak. Juga rumor tentang permasalahan dalam rumah tangganya.
Sigit pun tidak pernah mengenal sosok suami Ajeng yang menurut rekannya adalah seorang pegawai pemerintahan yang mempunyai jabatan dan berasal dari keluarga tajir. Karena penasaran akan sosok Ajeng membuatnya memutuskan mutasi ke Malang agar dapat mengenal Ajeng lebih dekat.
Tapi kenyataannya berbeda. Seorang lelaki yang lebih darinya selalu berada di sisi Ajeng, hingga membuatnya berkecil hati karena dirinya bukan sesiapa dibanding lelaki pengusaha itu.
“Belumlah ....” Hilman berkata pelan sambil menghisap rokoknya dan membuang asapnya perlahan dari hidung.
“Pembicaraan ke arah sana?” Sigit penasaran akan kedekatan keduanya.
Memang sudah semingguan ini setiap sarapan pagi ia selalu bertemu dengan Hilman yang baru kembali dari Jakarta karena ada urusan pekerjaan yang tak bisa ia tinggalkan. Keduanya seperti teman lama, dan terlibat percakapan yang cukup menyenangkan.
Sigit pun merasa terbantu dengan pertemanan yang ia jalin dengan Hilman. Dari pembicaraan yang tercipta, Hilman yang sedang mencoba bisnis properti meminta sarannya untuk menangani masalah pembiayaan. Sigit sangat antusias dengan perbincangan mereka kali ini.
“Masih kelabu,” Hilman berkata miris, “Padahal aku serius pingin mengakhiri masa lajang tahun ini.”
Bisma yang duduknya berjarak dua meter di belakang Sigit, langsung berdiri telinganya mendengar percakapan keduanya.
“Sudah berapa lama dekat dengan Ajeng?” rasa penasaran membuat Sigit tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Hampir dua tahun malah .... “
Glek!
Sontak jawaban Hilman membuat Bisma tersedak kopi hangat yang baru ia teguk. Dengan cepat ia meraih tisu untuk membersihkan cipratan kopi yang tumpah di celana hitamnya.
Pikiran Bisma bekerja cepat. Kecurigaannya masuk akal bahwa sudah ada hubungan yang terjadi antara Hilman dan Ajeng saat dirinya masih terikat pernikahan.
“Jadi kamu orang ketiga dalam perpisahan Ajeng dan suaminya?” kejar Sigit.
Bisma kembali menajamkan pendengarannya. Ia ingin kepastian agar proses perceraian dapat ia urus dengan segera. Ia tidak ingin terjadi mediasi, dengan adanya pengakuan Hilman, ia akan mendapat bukti bahwa telah terjadi perselingkuhan yang menyebabkan ia menggugat cerai Ajeng.
Lebih baik ia memulai kembali untuk mencari pendamping yang sesuai kriteria dan ia anggap pantas. Tidak mungkin ia kembali pada Ajeng yang nyata-nyatanya telah mendua disaat terikat pernikahan dengannya.
Walau pun pernikahan yang terjadi tanpa rasa cinta, dan telah dianugerahkan seorang peri kecil cantik tetap saja egonya tak terima karena Ajeng telah berani menghadirkan lelaki lain dalam rumah tangga mereka.