Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Keributan
Kantin AR selalu menjadi tempat berkumpulnya para siswa selama jam istirahat. Suara obrolan, tawa, dan bunyi alat makan memenuhi ruangan. Namun, suasana mendadak berubah ketika sekelompok siswa masuk dengan langkah penuh percaya diri. Athala Richela Wijaya, bersama gengnya, masuk dengan aura yang langsung menarik perhatian.
Athala melangkah ke tengah kantin, matanya langsung tertuju pada satu meja di sudut ruangan. Aletha, Alvin, Rere, Lala, dan Raga sedang makan dan bercanda ringan di sana. Alvin bahkan sesekali bercanda dengan gaya khasnya yang membuat teman-temannya tertawa.
Brakk!
Athala menghentakkan tangannya di meja mereka. Semua aktivitas di kantin seketika terhenti. Semua orang menoleh, penasaran dengan apa yang akan terjadi.
"Hehh! Ngapain lo duduk bareng pacar gue!" suara Athala meninggi, nadanya penuh amarah.
Aletha yang sedang meminum jusnya, berhenti sejenak. Ia menatap Athala dengan alis terangkat, lalu melirik Alvin. Alvin hanya tersenyum santai, bahkan nyaris terkekeh.
"Eh, ada nenek lampir datang," Alvin membuka suara. "Ngapain lo dateng-dateng bikin keributan? Mau pamer drama baru lo?"
Athala mengepalkan tangannya. "Gue nggak bercanda, Alvin! Lo tau kan gue pacarnya Dafit! Ngapain lo duduk bareng dia?!"
Alvin tertawa kecil sambil memegang perutnya. "Pacar? Lo? Dafit? Astaga, gue nggak tau ya kalau Dafit punya selera seburuk itu."
"Alvin!" bentak Athala, wajahnya semakin merah.
Sebelum Athala sempat menambahkan ocehannya, Tika, salah satu teman Athala, memotong dengan nada merengek. "Ihhh, bebeb, kok gitu sih? Aku nggak suka," ucapnya sambil memeluk lengan Alvin.
Alvin menoleh, tatapannya datar. "Enak aja lo panggil gue 'bebeb.' Kalau bebek, gue baru doyan. Tapi lo? Najis banget gue pacaran sama cewek sedeng kayak lo."
Tika terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Bebeb... nggak boleh gitu ya..." katanya dengan suara pelan.
Di sisi lain, Alvian, kakak Alvin, yang duduk di meja sebelah, tertawa keras. "Hahaha! Alvin, lo tuh nggak ada duanya. Sampai punya penggemar cewek kayak gitu."
Athala melirik tajam ke arah Alvian. "Lo juga! Jangan sok ikut campur di sini!"
Alvian mengangkat bahu. "Gue cuma penonton, santai aja. Ini dramanya seru."
Athala kembali menatap Aletha. Matanya penuh amarah. "Heh, Aletha! Bangun dari situ, atau gue seret lo keluar sekarang juga!"
Aletha mengangkat satu alis. "Serius nih? Lo nyuruh gue pergi? Ini tempat gue dan teman-teman gue duluan."
Athala menggeram, tetapi sebelum dia sempat membalas, Rere berbicara dengan nada santai. "Athala, serius deh. Lo tuh nggak level sama kita. Terlalu murahan untuk dilawan. Uppsss, sorry ya, girls."
Athala benar-benar kehilangan kendali. "Anjing ya lo semua—"
Brakk!
Aletha tiba-tiba menggebrak meja, membuat semua orang di kantin membeku. Tatapan Aletha tajam, menusuk langsung ke arah Athala.
"Udah selesai?" tanya Aletha dengan suara rendah dan dingin.
Athala tersentak, tetapi dia mencoba menutupi rasa terkejutnya dengan senyum sinis. "Lo pikir lo siapa, hah? Lo tuh cuma cewek baru yang nggak tau tempat. Gue udah lama ngincer Dafit, jadi lo nggak usah cari masalah sama gue!"
Dafit, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. "Athala, gue nggak pernah anggap lo siapa-siapa. Jadi jangan sok ngatur hidup gue."
"Ihhh, Dafit, sayang, kita kan udah mau tunangan," kata Athala dengan nada manja.
Alvin tertawa terbahak-bahak. "Tunangan? Lo serius? Dengar ya, jalang. Kapan seorang Dafit mau sama lo? Anggep temen aja nggak, apalagi tunangan. Mimpi lo ketinggian!"
"Hahaha! Lucu banget, sumpah," timpal Raga. "Kalau mimpi jangan tinggi-tinggi kali, Athala. Jatuhnya sakit tau."
Athala semakin kehilangan kendali. Dia mengarahkan tangannya ke wajah Aletha, menamparnya dengan keras.
Plakk!
Semua orang di kantin terdiam. Aletha tetap diam, menoleh perlahan, dan menatap Athala dengan ekspresi datar.
"Udah puas?" tanya Aletha pelan.
Namun Athala tidak berhenti. Dia menampar Aletha lagi.
Plakk!
Aletha tetap tidak bereaksi. Ia berdiri perlahan, menatap Athala dengan mata tajam.
"Udah selesai lo?" tanyanya lagi dengan nada yang lebih dingin.
Athala mundur selangkah, tetapi dia mencoba menutupi rasa takutnya. "Lo mau apa, hah?!"
Bughh!
Aletha melayangkan tinju ke wajah Athala. Darah langsung mengalir dari sudut bibirnya.
"Ini buat lo yang udah gangguin gue makan."
Bughh!
"Ini buat lo yang udah nampar gue."
Bughh!
"Dan ini... buat lo yang sok ngatur hidup gue."
Athala terjatuh, wajahnya lebam. Semua orang di kantin terdiam. Beberapa bahkan mengambil ponsel untuk merekam kejadian itu.
"Aletha nggak main-main, bro."
"Pray for Athala."
"Ratu bullying kalah, guys!"
Athala terduduk di lantai dengan wajah penuh luka dan rasa malu yang jelas terpancar.
Tangan gemetar menutupi pipinya yang memerah, sementara darah masih mengalir dari sudut bibirnya. Semua tatapan di kantin kini tertuju padanya, bukan dengan simpati, melainkan dengan rasa puas atas kejatuhannya.
Aletha berdiri di tempatnya dengan sikap tenang. Ia menarik napas panjang, lalu kembali duduk tanpa banyak kata. Tangannya mengambil kembali gelas jus yang tadi ia tinggalkan. Sambil menyeruput minuman itu, ia menoleh sekilas ke arah Athala yang masih belum bergerak.
"Lain kali, kalau mau ribut, cari tempat lain," ucap Aletha santai, namun penuh dengan ancaman tersembunyi.
Rere terkekeh kecil sambil menatap Aletha. "Lo keren banget, Tha. Gila, sih. Gue sampe nggak tau mau ngomong apa."
Alvin menambahkan sambil menepuk bahu Aletha. "Salute, gue! Cewek macam lo ini anak baru lagi."
Dafit berdiri dan menatap Athala dingin. "Athala, dengar ya. Gue nggak pernah suka sama lo, dan nggak akan pernah suka. Jadi berhenti bikin drama nggak penting. Dan tolong, jangan ganggu hidup gue lagi."
Athala mendongak, menatap Dafit dengan mata berkaca-kaca. Namun, kali ini bukan karena amarah, melainkan rasa sakit bercampur dengan rasa malu yang tak tertahankan. "Dafit... Lo nggak ngerti apa gue lakuin ini karena gue suka sama lo?"
Dafit hanya menggelengkan kepala. "Lo suka gue, tapi lo nggak tau caranya menghargai orang. Itu bukan cinta, Athala. Itu obsesi. Gue benci orang yang nggak bisa bedain dua hal itu."
Athala ingin membalas, tapi kata-kata Dafit terasa seperti pukulan telak. Ia tak sanggup berkata apa-apa lagi. Air matanya mulai mengalir, dan tanpa sepatah kata, ia berdiri, berlari keluar dari kantin bersama gengnya.
Begitu Athala dan gengnya keluar, suasana kantin perlahan kembali normal. Bisikan-bisikan mulai terdengar di seluruh penjuru ruangan. Beberapa siswa masih sibuk mengunggah video kejadian tadi ke media sosial.
"Trending topic nih, pasti," ujar salah satu siswa dengan wajah penuh antusias.
"Athala habis dipecundangi. Aletha sekarang ratu baru," timpal yang lain.
Aletha hanya menggeleng pelan mendengar komentar-komentar itu. "Ratu baru? Astaga, mereka pikir ini kerajaan apa?" gumamnya.
Rere tertawa kecil. "Biarin aja, thata. Lo udah resmi jadi idola kantin sekarang."
Alvin mengangkat gelasnya, seperti hendak bersulang. "Untuk Aletha, sang pahlawan kantin!"
Semua di meja mereka tertawa. Bahkan Raga, yang biasanya cuek, terlihat tersenyum kecil. Ia menepuk punggung Aletha pelan. "Good job," ucapnya singkat, tapi penuh makna.
Semua di meja mereka tertawa lagi. Suasana di antara mereka kembali hangat, seolah tidak ada kejadian besar yang baru saja terjadi.
Namun di luar kantin, Athala duduk di salah satu bangku taman sekolah, menangis tanpa suara. Kepalanya tertunduk dalam, sementara gengnya mencoba menenangkannya. Tapi tidak ada yang bisa mereka katakan untuk memperbaiki harga dirinya yang baru saja hancur di depan seluruh siswa.
"Aletha..." gumam Athala pelan, dengan tatapan penuh dendam. "Gue nggak akan lupa ini. Lo bakal nyesel pernah ngelawan gue."
______________________________________________