Hari pertama di SMA menjadi langkah baru yang penuh semangat bagi Keisha, seorang siswi cerdas dan percaya diri. Dengan mudah ia menarik perhatian teman-teman barunya melalui prestasi akademik yang gemilang. Namun, kejutan terjadi ketika nilai sempurna yang ia raih ternyata juga dimiliki oleh Rama, seorang siswa pendiam yang lebih suka menyendiri di pojok kelas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moka Tora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Langkah Awal di Tempat Baru
Kota baru tempat Keisha akan memulai hidupnya ternyata lebih besar dan ramai daripada yang ia bayangkan. Jalanan dipenuhi mobil yang melaju cepat, gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, dan udara pagi dipenuhi suara aktivitas kota yang sibuk. Dari balik jendela taksi yang membawanya ke asrama sekolah, Keisha menatap pemandangan ini dengan perasaan campur aduk.
Tiba di gerbang sekolah barunya, Keisha tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Sekolah unggulan ini terlihat begitu modern dengan bangunan-bangunan besar yang dikelilingi taman hijau. Para siswa terlihat sibuk bergerombol, mengenakan seragam rapi yang mencerminkan prestise sekolah ini.
“Ini akan jadi tantangan baru,” gumam Keisha pada dirinya sendiri sambil menarik napas dalam-dalam.
Seorang perempuan muda dengan papan nama bertuliskan “Miss Clara” menghampirinya dengan senyum ramah. “Selamat datang, Keisha. Saya Clara, bagian dari tim penerimaan siswa baru. Mari, saya antar kamu ke asrama dan ruang administrasi.”
~
Asrama tempat Keisha akan tinggal ternyata tidak kalah megah. Ruangannya bersih dan nyaman, dengan tempat tidur bersekat, meja belajar pribadi, dan lemari pakaian yang cukup besar. Keisha akan berbagi kamar dengan seorang siswa lain. Tak lama setelah ia masuk, pintu terbuka, dan seorang gadis dengan rambut panjang lurus dan senyuman cerah melangkah masuk.
“Hai, kamu pasti Keisha! Aku Anita, teman sekamarmu,” sapa gadis itu dengan antusias.
Keisha tersenyum ramah. “Hai, Anita. Senang bertemu denganmu.”
Anita langsung duduk di tepi tempat tidurnya, mulai bercerita tentang kehidupan di sekolah itu. Ia menjelaskan aturan asrama, kegiatan ekstrakurikuler, dan bagaimana para siswa sering bersaing secara akademis.
“Di sini, semuanya berlomba-lomba jadi yang terbaik. Tapi jangan khawatir, kalau kamu butuh bantuan, aku selalu siap!” Anita berkata dengan senyum lebar yang membuat Keisha merasa lebih nyaman.
~
Hari pertama Keisha di kelas dimulai dengan orientasi. Para siswa duduk di aula besar, mendengarkan penjelasan dari kepala sekolah dan beberapa guru. Di antara para siswa yang hadir, Keisha menyadari betapa beragamnya mereka. Beberapa berasal dari luar negeri, sementara yang lain membawa aksen khas dari berbagai daerah di Indonesia.
Saat sesi perkenalan, Keisha mendapat giliran untuk berbicara. Ia berdiri dengan sedikit gugup, tetapi mencoba terlihat percaya diri.
“Halo, nama saya Keisha. Saya sangat senang bisa bergabung di sini dan berharap bisa belajar banyak dari kalian semua.”
Beberapa siswa bertepuk tangan, tetapi sebagian besar hanya mengangguk singkat. Keisha menyadari bahwa di tempat ini, ia harus membuktikan dirinya dengan lebih dari sekadar kata-kata.
~
Ketika pelajaran dimulai, Keisha segera menyadari bahwa standar akademik di sekolah ini jauh lebih tinggi daripada yang ia bayangkan. Guru-guru memberikan materi dengan cepat, dan diskusi di kelas sering kali penuh dengan argumen dan analisis mendalam.
Di salah satu kelas, seorang siswa laki-laki yang duduk di barisan depan menarik perhatian Keisha. Dengan penampilan rapi dan sikap percaya diri, ia terlihat mendominasi diskusi.
“Dia itu Ryan,” bisik Anita saat istirahat. “Juara umum di sini. Dia jenius, tapi agak sombong.”
Keisha hanya tersenyum tipis. Ia tahu bahwa menghadapi siswa seperti Ryan akan menjadi tantangan tersendiri, tetapi ia tidak ingin langsung menilai seseorang dari kesan pertama.
~
Malam harinya, setelah selesai mengerjakan tugas, Keisha duduk di ruang belajar asrama sambil membaca catatan yang ia buat sepanjang hari. Tiba-tiba, seorang siswa laki-laki mendekatinya.
“Kamu Keisha, kan? Aku Danu,” katanya sambil mengulurkan tangan.
Keisha menyambut uluran tangan itu dengan ramah. “Iya, aku Keisha. Ada yang bisa aku bantu?”
Danu tersenyum. “Nggak, aku cuma penasaran aja. Aku dengar kamu dapat beasiswa karena prestasi debatmu. Keren, sih. Kalau butuh partner buat latihan, kabarin aku, ya.”
Keisha merasa tersanjung dengan tawaran itu. Danu terlihat santai dan mudah bergaul, berbeda dengan kebanyakan siswa lain yang cenderung sibuk sendiri.
~
Beberapa minggu berlalu, dan Keisha mulai beradaptasi dengan ritme kehidupan di sekolah barunya. Ia bergabung dengan klub debat dan mulai dikenal sebagai anggota yang cerdas dan kritis. Namun, tantangan besar datang ketika ia harus bersaing dengan Ryan dalam seleksi tim inti untuk lomba debat internasional.
Seleksi itu diadakan dalam bentuk debat internal yang disaksikan oleh seluruh anggota klub. Keisha tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya, tetapi ia juga merasa gugup menghadapi Ryan yang sudah lebih berpengalaman.
Ketika debat dimulai, suasana di ruangan itu tegang. Ryan memulai argumennya dengan percaya diri, menyampaikan poin-poin yang kuat dan terstruktur. Namun, Keisha tidak gentar. Ia mendengarkan dengan seksama, lalu membalas dengan argumen yang tidak kalah tajam.
Diskusi berlangsung sengit. Kedua peserta saling menyerang dan mempertahankan pendapat mereka dengan penuh semangat. Ketika sesi berakhir, tepuk tangan menggema di ruangan itu.
“Keisha, Ryan, kalian berdua luar biasa,” kata pembimbing klub debat. “Ini akan menjadi keputusan yang sulit, tapi saya yakin kalian berdua punya potensi besar.”
Meski hasil seleksi belum diumumkan, Keisha merasa bangga dengan usahanya. Ia tahu bahwa ia telah memberikan yang terbaik, dan itu sudah cukup untuk membuatnya merasa puas.
~
Malam itu, Keisha duduk di balkon asrama, memandangi langit malam yang cerah. Anita duduk di sebelahnya, membawa dua cangkir teh hangat.
“Gimana rasanya debat tadi?” tanya Anita.
Keisha tersenyum tipis. “Capek, tapi puas. Gue ngerasa bisa ngimbangin Ryan, dan itu udah cukup buat gue.”
Anita mengangguk. “Gue yakin lo punya peluang besar buat masuk tim inti. Lo berbakat banget, Kei.”
Mendengar dukungan itu, Keisha merasa lebih bersemangat. Ia tahu bahwa perjalanan di sekolah ini masih panjang, tetapi ia siap menghadapi setiap tantangan yang ada.
Di tengah segala kesibukan dan tekanan, Keisha menemukan kekuatan baru dalam dirinya. Ia menyadari bahwa kehidupan di tempat baru ini bukan hanya tentang bersaing, tetapi juga tentang belajar dan bertumbuh sebagai pribadi.
Langkah awalnya di sekolah baru ini mungkin penuh dengan tantangan, tetapi Keisha tahu bahwa setiap langkah akan membawanya lebih dekat pada impiannya.