Ziel, seorang CEO muda yang tegas dan dingin, memutuskan pertunangannya setelah menemukan bukti perselingkuhan Nika. Namun, Nika menolak menerima kenyataan dan dengan cara licik, ia menjerat Ziel dalam perangkapnya. Ziel berhasil melarikan diri, tetapi dalam perjalanan, efek obat yang diberikan Nika mulai bekerja, membuatnya kehilangan fokus dan menabrak pohon.
Di tengah malam yang kelam, Mandara, seorang gadis sederhana, menemukan Ziel dalam kondisi setengah sadar. Namun, momen yang seharusnya menjadi pertolongan berubah menjadi tragedi yang mengubah hidup Dara selamanya. Beberapa bulan kemudian, mereka bertemu kembali di kota, tetapi Ziel tidak mengenalinya.
Terikat oleh rahasia masa lalu, Dara yang kini mengandung anak Ziel terjebak dalam dilema. Haruskah ia menuntut tanggung jawab, atau tetap menyembunyikan kebenaran dari pria yang tak lagi mengingatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Menghilangkan Canggung
Suasana pun kembali hening, tapi ada ketegangan tak terlihat di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan pekerjaan, tapi diam-diam, mereka saling melirik. Ziel tetap mempertahankan ekspresi datarnya, sementara Dara berusaha menahan senyum setiap kali tak sengaja bertemu pandang.
"Gila, kalau aku senyum, dia pasti mikir aku aneh. Harus jaim! Jaim, Dara! Tapi kok dia senyum samar gitu tadi? Dia suka aku juga, ya? Eh, stop ngayal! Fokus, Dara, fokus!"
Ziel mendesah pelan, suaranya terdengar berat di tengah keheningan. "Kalau ada yang tidak kau mengerti, langsung tanyakan. Ini proyek besar, dan aku tidak mau ada kesalahan," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. Nada suaranya tenang, tapi tegas, seperti biasa. Namun, sebenarnya ia hanya berusaha menutupi pikiran yang mulai melantur.
"Siap, Pak Bos!" Dara menjawab dengan gaya memberi hormat, meski Ziel sama sekali tidak melihatnya. Ia kembali fokus pada dokumen di tangannya, tapi diam-diam bibirnya tersenyum kecil. "Kenapa dia bahkan saat serius aja kelihatan memesona, ya? Ih, Dara, jangan mulai lagi."
Ziel hanya mengangguk kecil mendengar jawaban Dara, tetap menatap layar laptopnya. Namun, di dalam hatinya, ia tak bisa mengabaikan nada ceria dalam suara Dara tadi. "Dia ini selalu punya energi yang aneh. Nggak peduli situasinya, selalu aja bisa bikin suasana lebih ringan. Tapi... kenapa malah aku yang jadi nggak fokus sekarang?"
Suasana kembali sunyi, hanya diisi dengan ketikan Ziel dan suara lembut Dara saat membolak-balik halaman dokumen. Beberapa menit berlalu, Dara akhirnya membuka suara. "Pak Bos, soal anggaran ini, saya nggak yakin apakah biaya tambahan di sini benar-benar diperlukan..."
Ziel menoleh untuk pertama kalinya, menatapnya serius. "Bagian mana?"
Dara buru-buru mendekat, menyodorkan dokumen itu dengan jari telunjuknya yang mungil menunjuk halaman yang dimaksud. Ziel menerima dokumen itu, matanya fokus membaca. Sementara itu, Dara diam-diam mencuri pandang ke arah wajahnya. "Kenapa dia bisa kelihatan setampan ini? Gila, wajahnya benar-benar bikin hati deg-degan. Dara, sadar! Fokus ke dokumen, bukan ke wajahnya!"
"Ini memang perlu," kata Ziel akhirnya, membalikkan dokumen itu ke arahnya. "Tapi aku akan coba optimalkan lagi supaya lebih efisien. Ada lagi?"
"Ah, baik, Pak Bos. Untuk saat ini, itu saja," jawab Dara dengan nada sedikit bergetar, buru-buru mundur ke tempat duduknya. Ia merasa pipinya mulai memanas. "Duh, kenapa aku jadi grogi begini? Kemarin-kemarin aku masih kagum dalam batas normal. Sekarang malah meleleh cuma gara-gara lihat dia serius. Fokus, Dara, fokus!
Ziel menghela napas, menatapnya sekilas sebelum kembali pada laptopnya. Ia tahu Dara baru saja mencuri pandang padanya, ia bisa merasakannya. Tapi anehnya, hal itu malah membuatnya tersenyum samar. "Dia memang menyebalkan, kadang omongannya bikin pusing, tapi... anehnya aku nggak pernah merasa bosan saat dia ada di dekatku."
Mereka kembali larut dalam pekerjaan, sesekali berbicara soal tugas-tugas yang harus diselesaikan. Dara beberapa kali mengajukan pertanyaan, dan Ziel menjawabnya dengan singkat namun jelas. Tak ada yang berani mengungkapkan apa yang mereka rasakan, tetapi dalam diam, keduanya sama-sama menyimpan rasa.
Keesokan Harinya
Dara sudah siap dengan pakaian kantornya, mengenakan blazer sederhana tapi rapi. Ia memasuki ruang makan dan melihat Ziel duduk di depan meja, wajahnya tampak pucat.
"Pak Bos, Anda kelihatannya kurang sehat. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Dara, menyipitkan matanya seperti dokter gadungan yang sedang mendiagnosis pasien.
Ziel meneguk segelas air putih sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mual pagi ini," dustanya, karena sebenarnya setiap pagi ia muntah-muntah.
Dara mengerutkan kening. "Mual pagi-pagi? Wah, jangan-jangan Pak Bos salah makan, ya? Atau lagi diet ekstrim?"
Ziel menatapnya sebentar, lalu berkata datar, "Bukan. Ini sering terjadi kalau tidurku tidak cukup." lagi-lagi Ziel berdusta.
"Ohhh..." Dara mengangguk pelan, tapi matanya masih menyipit curiga. "Tapi, mual setiap pagi kayak begini sih, agak... aneh, Pak Bos."
Ziel menurunkan gelasnya ke meja, menatap Dara. "Kau terlalu banyak bertanya."
Dara langsung melipat tangan di depan dada, pura-pura tersinggung. "Yah, saya cuma peduli, Pak Bos. Siapa tahu saya bisa bantu kasih solusi. Tapi, ya sudah kalau nggak mau cerita."
Ziel hanya menghela napas kecil, memilih mengalihkan perhatian ke makanan di depannya.
"Semoga Pak Bos suka sarapan yang saya siapkan. Saya nggak tahu selera Pak Bos, jadi masaknya asal saja," ujar Dara sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Ziel.
Ziel mencicipi makanannya tanpa banyak bicara. Dara memerhatikan dengan cemas, menunggu komentar. Tapi Ziel tetap tenang, menyantap makanannya perlahan.
"Pak Bos... nggak bilang apa-apa, jadi artinya enak, ya?" goda Dara sambil menyeringai.
Ziel meletakkan sendoknya, menatap Dara sekilas. "Tidak buruk."
Dara mendengus kecil, "Komentarnya Pak Bos datar banget! Tapi oke lah, kalau begitu saya lulus tes sarapan, ya?"
Ziel mengangguk tipis. "Pastikan saja kau selalu siap memasak."
"Siap, Pak Bos! Apalagi makan gratis, nggak ada ruginya buat saya," jawab Dara sambil terkekeh, sementara Ziel hanya menggelengkan kepala pelan.
Ziel merasa sedikit lebih baik. Meski masih muntah setiap pagi, ada sesuatu yang membuatnya nyaman. Aroma tubuh Dara di ruangan itu terasa... menenangkan. Tapi Ziel mengabaikan pikirannya dan melanjutkan makan.
Beberapa Menit Kemudian
Saat mereka masuk lift, Dara sibuk dengan ponselnya. Jarinya bergerak cepat di layar. Ziel meliriknya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya.
"Saya cari ojek, Pak Bos. Biar cepat sampai kantor," jawab Dara tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Ziel menaikkan alisnya. "Kau bisa berangkat bersamaku."
Dara menghentikan gerakannya dan menatap Ziel, matanya melebar. "Naik mobil Pak Bos?! Serius?"
Ziel menatapnya datar. "Kenapa tidak?"
Dara menggigit bibir, lalu meringis kecil. "Pak Bos, nanti kalau karyawan lain lihat saya turun dari mobil Pak Bos, mereka bisa gosipin saya, lho! Saya ini baru jadi asisten. Nanti kalau dibilang asisten spesial, gimana?"
Ziel mengangkat bahu. "Kau memang asistenku. Wajar saja kau berangkat bersamaku."
Dara masih tampak ragu. "Tapi, Pak Bos..."
Ziel memotong. "Kalau kau tidak mau, silakan naik ojek. Aku tidak peduli."
Dara langsung menegakkan tubuhnya. "E-eh, nggak, nggak, Pak Bos. Saya ikut saja. Mumpung gratis!"
Ziel hanya mengangguk kecil, sementara Dara berusaha menahan tawa karena Ziel tetap terlihat datar meski sudah melontarkan sindiran halus.
Di Parkiran
Saat Ziel masuk ke dalam mobil, ia langsung menyalakan mesin dan menunggu Dara masuk. Namun, setelah beberapa saat, ia menyadari Dara masih berdiri terpaku di samping mobil dengan wajah bingung. Ziel menurunkan kaca mobil dengan ekspresi tak sabar.
"Kenapa masih berdiri di situ? Kita bisa terlambat sampai di kantor kalau kamu malah jadi patung di situ," katanya dengan nada sedikit kesal.
Dara tersentak dari lamunannya. Ia menggaruk dahinya yang tidak gatal, kebingungan harus berkata apa. "Saya... eh, saya bingung harus duduk di mana, Pak Bos," ujarnya dengan nada ragu.
Ziel mendengus, seolah tak percaya dengan kebingungan Dara. "Tentu saja duduk di depan," jawabnya tegas. "Kalau kau duduk di belakang, bukankah aku lebih mirip supir pribadimu daripada atasanmu?"
Dara buru-buru membuka pintu depan dengan wajah memerah. "Maaf, Pak Bos," katanya cengengesan sambil masuk ke dalam mobil dan menutup pintu dengan hati-hati.
Ziel menggelengkan kepala sambil menahan senyum tipis, lalu menjalankan mobilnya. "Kau ini kadang terlalu banyak berpikir, Dara," gumamnya lebih pada dirinya sendiri.
Di perjalanan, Dara tidak bisa menahan diri untuk berbicara. "Pak Bos, mobil ini nyaman banget! Wah, saya bisa tertidur di kursi ini kalau tiap hari begini."
Ziel melirik Dara sekilas. "Tapi jangan lupa, kau ada di sini untuk kerja, bukan tidur."
Dara cengengesan. "Ya, tahu, Pak Bos. Tapi nggak ada salahnya bermimpi sedikit, 'kan? Siapa tahu suatu hari saya juga punya mobil seperti ini."
Ziel menghela napas panjang, lalu berkata datar, "Kau terlalu banyak bicara."
Dara hanya terkekeh pelan. "Biar mobilnya nggak bosan, Pak Bos."
Ziel memilih diam, fokus menyetir. Dalam hati, ia merasa tenang. Meski Dara banyak bicara, setidaknya ia tidak membuat suasana menjadi canggung.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Kalau patah hati remuk berkeping paling Steven sama Martin