Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Leri
Bab 10
Kita tinggalkan Diaz, Samir dan Eriva yang terkena jebakan macet perjalanan.
Kita kembali ke rumah Pak Wahyu.
###
Malam semakin larut. Rumah sederhana Pak Wahyu, yang dikelilingi oleh pekuburan sunyi, hanya diterangi lampu gantung tua yang menggantung di langit-langit ruang tamu. Kini Tuan Gunawan sudah posisi duduk tegap, sementara Laluna berdiri tak jauh darinya, menunduk.
“Luna,” ujar Tuan Gunawan sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal. “Kau tahu apa yang harus dilakukan. Pergi dari sini, dan jangan pernah muncul lagi.”
Laluna mengangguk pelan, lalu segera keluar meninggalkan ruangan tanpa banyak bicara. Suara pintu yang ditutup perlahan mengiringi kepergiannya.
Ruang tamu dengan kursi kayu sederhana, serta satu meja di tengahnya. Hanya itu benda yang ada di ruang tamu milik Pak Wahyu.
Tuan Gunawan dan Guru Besar, menghela napas panjang. Wajahnya yang berkerut semakin menampakkan kegelisahan. Mereka duduk berhadapan. Tuan Gunawan dan Kakek Guru berdampingan, sedangkan Pak Wahyu dan istrinya, duduk di sisi berlawanan.
“Tuan Gunawan, sampai kapan drama ini berlanjut? Saya tidak tega melihat Tuan Diaz terus mencari jejak Leri, seolah-olah hidupnya hanya terfokus pada masa lalu yang sulit dilupakan.”
Tuan Gunawan menatap tajam. “Wahyu, jangan ikut campur. Aku lebih tahu bagaimana caranya mengurus anak. Semua ini ada alasannya.”
Pak Wahyu terdiam. Ia tahu Tuan Gunawan adalah pria yang penuh perhitungan dan jarang membuka ruang untuk diskusi. Namun, ada sesuatu dalam nadanya yang membuat suasana semakin berat.
Setelah jeda sejenak, Tuan Gunawan melanjutkan dengan suara yang lebih tegas.
“Wahyu, aku datang kemari bukan hanya untuk membahas itu. Aku ingin kau memikirkan kembali tawaranku soal tanah TPU ini. Aku sudah membawa seorang spiritual besar dari negeri ini untuk memastikan proses pemindahan makam. Kau kenal beliau?"
"Salam Guru Besar. Siapa yang tidak mengenal Anda. Aku dari kalangan bawah pun tahu betapa terkenalnya Perguruan Jagat Pradhana," ucap Pak Wahyu, beserta istri diikuti salam dengan sedikit menunduk.
"Kau tahu Wahyu, dengan bantuan Kakek Guru, pembongkaran TPU bisa dilakukan dengan cara yang tidak melanggar aturan dan tetap menghormati arwah yang bersemayam di sini.”
Pak Wahyu terkejut, meskipun ia sudah menduga pembicaraan ini akan muncul lagi.
“Tuan Gunawan, ini bukan kali pertama Anda membahas soal tanah TPU ini. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi menjelaskan bahwa tanah ini memiliki nilai sejarah dan spiritual yang tinggi. Bagaimana mungkin kita memindahkan makam-makam ini hanya untuk bisnis?”
Tuan Gunawan tersenyum tipis, penuh keyakinan.
“Wahyu, tanah ini memiliki potensi besar. Aku berencana membangun sebuah pusat pelatihan medis internasional di sini. Tidak hanya akan membawa keuntungan besar, tapi juga membantu banyak orang. Bayangkan, rumah sakit terbaik dengan fasilitas canggih berdiri di sini. Aku bisa menciptakan generasi dokter hebat yang memahami kebutuhan manusia secara holistik.”
Pak Wahyu menggeleng perlahan. “Tapi, Tuan, ini bukan hanya soal bisnis. Makam-makam di sini bukan sekedar untuk umum. Dulunya, makam di sini diawali oleh orang yang sangat berjasa untuk kota ini. Tuan pasti tahu siapa beliau."
Tuan Gunawan berdiri dari duduknya, mendekat ke arah Pak Wahyu. “Dengar, Wahyu. Aku tidak ingin ada masalah di antara kita. Tapi ini kesempatan besar, dan aku tidak akan membiarkan apapun menghalangi jalanku. Pikirkan lagi. Aku tidak ingin memaksamu, tapi waktu kita tidak banyak.”
Pak Wahyu hanya diam, tatapannya tertuju ke lantai kayu rumahnya yang mulai usang. Dia tahu bahwa keputusan ini akan membawa dampak besar, baik untuk dirinya maupun untuk tempat yang sudah ia jaga selama puluhan tahun.
Dari balik kamar yang hanya tersekat dinding dari ruang tamu, ada seseorang yang menyimak pembicaraan itu. Dalam pikirannya berputar, harus ikut mencari solusi.
'Sepertinya, ini waktu yang tepat untuk mengambil keputusan besar,' gumam sosok gadis bertubuh mungil.
"Baiklah Wahyu, aku tidak ingin buang-buang waktu. Tanda tangani kertas ini, jika kau setuju. Aku tidak ingin menunggu keputusanmu yang selalu tanpa kepastian."
"Benar sodara Wahyu, kamu jangan egois. Ini juga untuk kepentingan banyak orang. Dengan berdirinya rumah sakit di tanah ini. Banyak orang terbantu mendapatkan penghasilan. Lapangan kerja akan banyak terbuka."
"Baiklah, aku akan kembalikan kertas ini setelah ditandatangani."
"Kami pamit," ucap Tuan Gunawan.
Sementara itu, Pak Wahyu terdiam lama setelah Tuan Gunawan dan guru besar pergi dari rumahnya. Suasana terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat. Ia masih mencoba mencerna keputusan yang baru saja ia buat.
"Hitam di atas putih..." gumamnya pelan. Perjanjian itu seperti menempatkan dirinya di ujung tombak, tanpa jalan mundur.
Namun, ia sadar, jika Tuan Gunawan masih berada di sini, pikirannya tak akan mampu tenang. Dengan berat hati, ia akhirnya mengiyakan.
Di sela keheningan itu, langkah ringan terdengar mendekat dari dalam rumah.
Muncul seorang gadis muda berwajah manis, rambut panjangnya yang legam terurai lembut hingga hampir menyentuh pinggang.
Wajahnya begitu bersih, meski tanpa riasan. Matanya yang besar memancarkan keteduhan, namun ada ketegasan di sana. Meski pakaian yang dikenakannya sangat sederhana—hanya kemeja lusuh dengan rok panjang—keanggunan alaminya membuat siapa pun yang memandang tak akan mampu mengalihkan perhatian.
“Bapak,” suara lembutnya memecah keheningan. “Aku mendengar semuanya...”
Pak Wahyu mendongak, menatap putrinya dengan sorot mata penuh rasa bersalah.
“Mungkin ini saatnya aku menerima tawaran Tuan Asher,” lanjut gadis itu, yang tak lain adalah Leri.
Pak Wahyu terdiam. Tenggorokannya tercekat. Tawaran itu adalah sesuatu yang ia hindari selama ini.
“Bapak... terserah kamu saja, Nak. Kamu yang jalani, kamu yang tahu risiko dari semua keputusan. Bapak hanya ingin kau bahagia.”
Bu Mirna yang mendengar percakapan mereka, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leri erat. Air mata mengalir di pipinya.
“Terima kasih, Nak. Maafkan Ibu dan Bapak... kami tidak bisa memberimu kebahagiaan seperti orang lain. Tapi apa pun yang kau lakukan, jangan merasa ini adalah balas budi kepada kami.”
Bu Mirna menatap dalam-dalam ke mata putrinya. “Bahkan jika kau tidak melakukan ini, kau tetap anak kami, Leri. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Kami hanya bisa memberikan kesederhanaan ini, tapi cinta kami tak terbatas untukmu.”
Leri tersenyum tipis. Ia menggenggam tangan ibunya, lalu menoleh pada ayahnya.
“Aku tahu, Bu, Pak... keputusan ini mungkin tidak mudah untuk kita semua. Tapi aku juga ingin membantu kalian. Jika ini jalanku, maka aku akan melakukannya dengan ikhlas. Aku akan buktikan, kesederhanaan yang kalian berikan bukanlah sebuah kelemahan, tapi kekuatan yang tak akan bisa dimengerti oleh mereka.”
Pak Wahyu tak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk, meski hatinya masih berat menerima keputusan itu. Dalam batinnya, ia tahu, putrinya telah tumbuh menjadi gadis yang kuat dan penuh keberanian.
Bersambung...