Gray adalah seorang anak yang telah kehilangan segalanya karena Organisasi jahat yang bernama Shadow Syndicate dia bahkan dijadikan Subjek Eksperimen yang mengerikan, namun dalam perjalanannya untuk menghentikan Organisasi tersebut, ia menemukan teman yang mengalami nasib sama sepertinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
022 - Neraka Hardcore (7)
Mereka berlari menuju gua yang ditunjukkan Serlina, langkah kaki mereka bergema di antara pepohonan. Ketegangan memenuhi udara, diselingi oleh debar jantung mereka yang berpacu. Serlina, masih berada dalam pelukan Ren, sesekali menoleh ke belakang, matanya mencerminkan ketakutan yang masih membayangi dirinya.
Tiba-tiba, dari balik akar pohon raksasa yang menaungi mulut gua, muncul sesosok makhluk yang membuat mereka semua tersentak. Sosok tersebut mengenakan jubah hitam yang kusut dan compang-camping, namun yang paling membuat mereka ngeri adalah kepalanya. Kepala itu menyerupai gurita raksasa dengan banyak tentakel yang bergelayut menjijikkan, warna hijau gelap kusam, dengan mata-mata kecil yang berkilauan jahat. Wajahnya tidak terlihat, tertutupi oleh jubah dan tentakel-tentakel tersebut. Makhluk itu mengerikan dan menjijikan.
Sosok mengerikan itu menyadari kehadiran mereka. Seketika, aura korupsi yang sangat kuat meledak dari tubuhnya, seperti gelombang kegelapan yang menyelimuti mereka. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, dan pepohonan di sekitar mereka seakan bergoyang hebat. Bau busuk yang menyengat memenuhi hidung mereka, bau kematian dan kehancuran. Udara menjadi sesak, sulit untuk bernapas.
Gray merasakan kekuatan gelap di dalam dirinya bereaksi. Tubuhnya bergetar, dan matanya menyala dengan cahaya kehijauan. Kekuatan itu mendesak untuk dilepaskan, untuk melawan makhluk mengerikan yang berdiri di depan mereka. Taro tampak tegang, tangannya meraih tongkat sihirnya. Ren, meskipun tampak ketakutan, menjaga Serlina dengan erat, melindungi adiknya dari serangan makhluk tersebut.
Keempatnya terdiam, mempersiapkan diri untuk menghadapi konfrontasi yang tidak terelakkan. Makhluk berkepala gurita itu bergerak perlahan, tentakel-tentakelnya menggeliat, menciptakan suara yang menjijikkan. Pertarungan tampaknya tidak bisa dihindari. Pertanyaan besar kini muncul, bagaimana cara mereka mengalahkan makhluk mengerikan tersebut, dan bagaimana mereka bisa menyelamatkan anak-anak lain yang kemungkinan besar ditahan di dalam gua tersebut?
Suara desisan pelan keluar dari mulut makhluk itu, suaranya terdengar seperti batu yang digosok-gosokkan, menandakan ancaman nyata yang akan mereka hadapi. Keempatnya terpaku, menunggu serangan pertama dari makhluk tersebut, takut, namun tetap teguh dengan tekad mereka untuk menyelamatkan anak-anak yang hilang.
Gray, tanpa ragu, melesat maju. Kekuatan gelap dalam dirinya meledak, tubuhnya bergerak dengan kecepatan luar biasa yang hanya bisa dicapainya saat kekuatan itu sepenuhnya dilepaskan. Ia menyerbu makhluk berkepala gurita itu, sepotong kayu di tangannya berubah menjadi senjata improvisasi yang mematikan di bawah kendalinya yang terlatih. Serangannya cepat dan akurat, menusuk ke celah-celah di antara tentakel yang bergelayut.
Makhluk itu, meskipun besar dan menyeramkan, tampak terkejut oleh kecepatan Gray. Tentakelnya bergerak untuk menangkis serangan, namun kecepatan Gray terlalu tinggi. Ia menghujani makhluk itu dengan pukulan demi pukulan, memanfaatkan celah-celah pertahanan yang ada. Taro, melihat peluang, segera meluncurkan mantra sihir alam. Sebuah untaian tanaman merambat yang kuat muncul dari tanah, melilit beberapa tentakel makhluk itu, menghambat gerakannya.
Ren, melindungi Serlina di belakangnya, menggunakan kesempatan itu untuk mengambil posisi strategis. Ia melemparkan beberapa batu kecil, berusaha untuk mengalihkan perhatian makhluk tersebut dan menciptakan celah bagi Gray dan Taro untuk melancarkan serangan lebih kuat. Batu-batu itu mengenai beberapa tentakel, membuat makhluk itu meraung kesakitan, suara yang mengerikan dan menggetarkan tanah.
Serangan gabungan mereka mulai menunjukkan hasil. Makhluk itu terhuyung-huyung, tentakelnya bergoyang liar, mencoba melepaskan diri dari tanaman merambat dan menghindari serangan Gray yang terus menerus. Namun, kekuatan gelap Gray semakin meningkat. Ia merasakan aura korupsi dari makhluk itu, dan kekuatannya sendiri beresonansi dengannya, memberinya kekuatan tambahan untuk melancarkan serangan yang lebih dahsyat.
Gray melihat sebuah titik lemah—sebuah celah kecil di antara tentakel dekat pangkal kepala gurita tersebut. Dengan satu gerakan cepat, ia menusuk kayu di tangannya tepat ke titik lemah itu. Makhluk itu meraung panjang dan keras, tubuhnya terhuyung ke belakang, sebelum akhirnya roboh ke tanah, tubuhnya hancur berkeping-keping. Aura korupsi yang sebelumnya begitu kuat, kini menghilang, meninggalkan udara yang terasa lebih bersih. Keempatnya terengah-engah, kelelahan, namun kemenangan terasa manis.
Hening sejenak menyelimuti mereka sebelum suara gembira Serlina memecah kesunyian.
"Kita menang!"
Serunya, merangkul Ren dengan erat. Di belakang mereka, dari dalam gua, terdengar suara-suara anak-anak yang ketakutan namun bercampur dengan rasa lega. Petualangan mereka belum berakhir. Sekarang, mereka harus menyelamatkan anak-anak yang masih terkurung dalam gua tersebut. Jalan menuju keselamatan masih panjang, dan tantangan baru mungkin menanti di depan.
"Kita menang dengan mudah, kupikir akan sangat sulit karena aura korupsinya sangat besar."
Gray masih belum menyadari bahwa sebenarnya kekuatan nya bertambah dengan menyerap korupsi.
"Aku juga tidak menyangka, mari kita periksa ke dalam"
Udara di dalam gua lembap dan dingin, bau apak dan tanah basah memenuhi hidung mereka. Obor yang dinyalakan Taro menerangi lorong sempit dan berliku, menyingkap pemandangan yang mengerikan sekaligus melegakan. Sebanyak lima belas anak-anak terkurung di sebuah ruangan luas di ujung lorong, sebagian besar terbaring lemah, tubuh mereka kurus dan penuh memar. Empat di antara mereka, sayangnya, sudah tidak bernyawa. Yang sebelas lainnya masih hidup, meskipun terlihat ketakutan dan kelelahan. Di antara mereka, ada anak laki-laki dan perempuan, beberapa dari ras manusia, dan yang mengejutkan, beberapa dari ras lain yang berbeda.
“Taro!”
Sebuah suara garang menggema di ruangan itu. Seorang pria muda dengan tubuh kekar dan bulu-bulu oranye kemerahan seperti harimau — ciri khas ras Beast — bangun dengan cepat, matanya menyala karena kombinasi amarah dan kelegaan. Dia terlihat mengerikan, namun di balik penampilannya yang menakutkan, ada aura protektif yang kuat terhadap anak-anak yang terbaring di sekitarnya.
Taro, sedikit terkejut namun tetap tenang, membalas,
“Tenang, Liong. Kita sudah aman sekarang.”
Dia mengulurkan tangan, memberikan isyarat kepada Liong untuk menenangkan diri.
Liong mendengus,
“Aman? Lihatlah keadaan mereka! Mereka hampir mati kelaparan dan kehausan. Makhluk sialan itu…”
Suaranya bergetar karena emosi, namun ia segera mengendalikan diri, beralih menatap anak-anak yang masih hidup dengan tatapan penuh kasih sayang dan protektif.
"Jangan khawatir, makhluk itu sudah mati"
"Kalian tunggu disini, kami akan memanggil penyembuh"
Beberapa jam kemudian, Ren mendekat, memeriksa kondisi anak-anak dengan hati-hati. Anya mulai bekerja, mengucapkan mantra penyembuhan lembut untuk meredakan rasa sakit dan meningkatkan kondisi mereka. Gray, masih merasakan sisa-sisa kekuatan gelap dalam dirinya, mengamati sekeliling ruangan, mencari petunjuk apa pun yang mungkin menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Rabu, dengan kemampuan sihirnya yang masih berkembang, mencoba membantu Anya dengan menyalurkan energi kecil untuk memperkuat mantra penyembuhannya. Serlina, masih berpelukan dengan Ren, menatap anak-anak lain dengan campuran rasa takut dan belas kasih. Jazul, diam-diam, mulai menggambar simbol-simbol di tanah, seolah-olah mempelajari sesuatu dari situasi yang ada.
Udara di dalam gua kembali hening, hanya diiringi suara-suara lirih anak-anak yang perlahan mulai kembali sadar dan suara-suara lembut Anya dan Rabu. Namun, di balik ketenangan itu, sebuah pertanyaan besar menggelantung: Apa yang terjadi selanjutnya?