NovelToon NovelToon
Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Dokter Bar-Bar Kesayangan Mafia Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Dokter Genius / Beda Usia / Roman-Angst Mafia
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.

Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.

Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 : Sebuah surat

Malam itu, angin berhembus kencang, membuat daun-daun pohon di luar berdesir, seolah merespon ketegangan yang mulai memenuhi kamar Lucius. Tiba-tiba, suara ketukan di jendela yang gelap itu memecah keheningan. Lucius dan Rudolf, yang tidur terjaga karena kewaspadaan, langsung terbangun. Keduanya saling berpandangan sejenak, mata mereka yang biasa tegas kini dipenuhi rasa curiga.

Lucius dengan cepat meraih pisau yang disimpannya di bawah bantal, sementara Rudolf tidak kalah sigap. Mereka bergerak pelan, mendekati jendela dengan hati-hati. Setiap langkah mereka terasa berat, seperti ada ancaman yang semakin dekat. Begitu jendela dibuka, cahaya rembulan menyinari sosok Leonard yang berdiri di luar, wajahnya tampak serius, bahkan sedikit cemas.

"Kita harus segera pergi dari sini," kata Leonard dengan suara tegas. "Keberadaan kalian sudah diketahui pihak musuh. Sebelum mereka tiba, lebih baik kita pergi sekarang."

Lucius menatapnya dalam-dalam, merasakan ketegangan di udara. Sebuah perasaan enggan menyelimuti hati mereka. Pergi begitu saja, tanpa bisa mengucapkan selamat tinggal, tanpa memberi penjelasan. Tapi, mereka tahu, situasi ini tidak bisa dianggap remeh. Jika mereka tinggal lebih lama, akan membahayakan orang-orang disekitar mereka.

Rudolf menghela napas, tampaknya ia juga merasa berat hati, namun akhirnya ia mengangguk. Keduanya tahu, hidup mereka yang lebih penting daripada alasan untuk bertahan di tempat yang sudah tidak aman lagi. Namun sebelum pergi, Lucius memutuskan untuk meninggalkan sesuatu. Dengan cepat, dia menulis sebuah surat singkat. Tulisannya penuh dengan rasa terima kasih yang tulus, meskipun hatinya merasa berat untuk meninggalkan mereka begitu saja.

Setelah menulis surat tersebut, Lucius meletakkannya di atas meja bersama dengan sejumlah uang dalam amplop yang cukup besar—cukup untuk menutupi segala biaya dan lebih banyak lagi. Uang itu bukan hanya sebagai bentuk rasa terima kasih, tetapi juga untuk memastikan mereka bisa melanjutkan hidup tanpa kekhawatiran finansial.

Lucius dan Rudolf memandang surat itu sejenak. Ada rasa kehilangan yang menggigit, tapi mereka tahu mereka tidak punya pilihan. Dengan langkah cepat, keduanya melompati jendela, menyelinap ke dalam kegelapan malam yang menyelimuti desa.

Di luar, malam semakin larut, dan hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di sepanjang jalan sepi. Mereka menghilang begitu saja, membiarkan bayang-bayang mereka tersapu oleh angin malam. Begitu cepat, begitu diam-diam. Seperti mereka pernah ada, namun tak pernah benar-benar tinggal.

Keputusan mereka untuk pergi tanpa pamit mungkin akan meninggalkan kesan yang lebih dalam bagi keluarga Antonius—terutama Luna, yang meskipun keras kepala, sudah mulai melihat sisi lain dari pria misterius itu. Namun, untuk saat ini, yang mereka tahu hanya satu hal: mereka harus pergi, sebelum bahaya datang terlalu dekat.

...****************...

Pagi itu, mentari bersinar hangat, menerobos tirai tipis di ruang tamu. Luna, seperti biasanya, mengetuk pintu kamar Lucius dan Rudolf dengan sedikit keras, "Hei, bangun! Sarapan sudah siap!" serunya, setengah kesal. Namun, tidak ada jawaban. Biasanya, Rudolf sudah berteriak balik dengan lelucon sarkastiknya, atau Lucius akan menyuruhnya berhenti berisik.

Luna mengetuk lagi, kali ini lebih pelan. Tetap hening. Ada sesuatu yang tidak biasa.

Merasa ada yang aneh, Luna menelan ludah, mencoba menghilangkan rasa gugupnya. "Aku masuk, ya," katanya pelan, sembari memutar gagang pintu. Saat pintu terbuka, yang menyambutnya hanyalah keheningan dan ruangan yang rapi—terlalu rapi untuk ukuran dua pria yang tinggal di dalamnya.

Matanya tertuju pada meja kecil di dekat jendela, di mana sebuah amplop cokelat tebal dan secarik kertas diletakkan rapi. Luna mendekat, membaca surat itu dengan alis yang semakin berkerut.

"Kepada Luna dan dokter Antonius,

Terima kasih untuk segalanya. Maaf kami pergi tanpa pamit. Situasi mendesak memaksa kami untuk meninggalkan tempat ini. Kami sangat berterima kasih atas bantuan, keramahan, dan perawatan yang diberikan selama ini.

Sebagai tanda terima kasih, kami meninggalkan sejumlah uang untuk menutupi semua biaya, dan lebih dari itu. Semoga uang ini bisa membantu klinik dan kehidupan kalian ke depan. Aku berjanji suatu saat akan kembali untuk mengambil jam tanganku dan memberikan ucapan terima kasih secara langsung.

Hormat kami,

Lucius dan Rudolf."

Luna menggenggam surat itu erat, matanya tertuju pada amplop yang isinya terlihat menggembung. Dengan tangan gemetar, dia membukanya, dan matanya langsung melebar. Uang. Banyak sekali uang.

Luna menghitung dengan cepat. Lima puluh ribu dolar. Lima puluh ribu dolar!

"Ya Tuhan," gumamnya, hampir tak percaya. Rasa terkejut itu bercampur dengan rasa marah dan kesal. Mereka pergi tanpa pamit, meninggalkannya hanya dengan uang dan sebuah janji samar untuk kembali.

Langkah kaki tergesa terdengar dari belakang. Antonius masuk ke kamar dengan wajah penasaran, "Apa yang terjadi, Luna?"

"Mereka pergi, Kek," jawab Luna, menyerahkan surat itu kepada kakeknya. Antonius membaca surat tersebut dengan wajah tenang, lalu tersenyum kecil.

"Hmm, ya sudah jangan dipikirkan. Mungkin memang sudah waktunya mereka pergi." katanya bijak, sambil menatap amplop yang masih digenggam Luna.

Luna mendesah panjang, masih memandang amplop itu dengan campuran emosi. "Ya, tapi... setidaknya mereka kan bisa bicara atau sekedar berpamitan dulu pada kita. Pergi begitu saja hanya meninggalkan uang dan surat, memangnya kita ini apa?"

Antonius menepuk pundaknya pelan, "Sudah... Sudah... Lebih baik kita sarapan. Mereka pasti sudah memikirkan matang-matang, dan mungkin tidak ingin merepotkan kita. Jangan dipikirkan lagi, kau simpan saja uang itu untuk kebutuhan klinik"

...****************...

Luna dan Antonius sedang berbincang di ruang tamu saat terdengar suara berat dari luar memanggil.

“Permisi, apa klinik sudah buka?”

Luna keluar, diikuti Antonius, dan mendapati dua pria berbadan kekar berdiri di depan pintu. Dengan lengan bertato dan ekspresi keras, keduanya lebih terlihat seperti penjaga klub malam daripada pasien klinik kecil di desa itu. Luna menelan ludah, mencoba memasang senyum ramah meskipun hati kecilnya ingin segera mengusir mereka.

"Ada keperluan apa, ya?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar tapi tetap terdengar tegas.

Salah satu pria mengeluarkan sebuah foto dari sakunya dan menunjukkannya kepada Luna. Foto itu adalah Lucius. "Apa kalian mengenal atau tahu keberadaan pria ini? Menurut informasi dari warga sekitar, dia tinggal di sini."

Luna dan Antonius saling berpandangan. Seketika otak Luna bekerja cepat mencari jawaban yang paling masuk akal. Antonius, dengan nada tenang, menjawab, "Iya, dia sempat ke sini beberapa hari lalu karena terluka parah. Tapi dia pergi begitu saja tanpa pamit. Kami tidak tahu dia pergi ke mana."

Pria bertato yang lebih tinggi melangkah maju, membuat Luna segera berdiri di depan Antonius seperti perisai hidup. Matanya menyipit, memancarkan keberanian khas miliknya yang tidak pernah takut menghadapi siapa pun. "Apa kalian temannya?" tanyanya curiga.

Pria itu menyeringai tipis. "Memangnya kenapa kalau kami temannya?"

Luna melipat tangan di dada, ekspresinya berubah menjadi serius. "Kalau begitu kalian harus membayar biaya perawatannya. Berani sekali dia kabur dari sini setelah kami merawatnya tanpa membayar sepeser pun. Apa dia pikir, klinik kami tidak butuh uang?"

Kedua pria itu terdiam beberapa detik, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Suara mereka menggema, membuat beberapa burung di pohon sekitar terbang ketakutan.

"Ah, maaf kalau begitu. Kalau kami yang harus bayar, berapa totalnya?" tanya pria yang lebih pendek, masih terkekeh.

"15.000 dolar," jawab Luna tanpa ragu, suaranya terdengar seperti kasir toko kelontong. "Dia menghabiskan simpanan obat-obatan kami, dan kami juga harus membayar fee perawat dan dokter yang membantu mengobatinya."

Antonius melirik cucunya, kaget sekaligus kagum. Luna terdengar sangat profesional, meski dalam situasi tegang seperti ini.

Pria bertato itu mengangguk, lalu melambaikan tangannya. Tak lama, seorang pria lain mendekat dari arah mobil mereka sambil membawa sebuah tas kecil. Dengan tenang, dia menyerahkan uang yang jumlahnya sesuai dengan permintaan Luna. Luna menerimanya, menghitungnya dengan teliti di depan mereka sambil bergumam pelan, "Baiklah, sesuai. Terima kasih."

Pria itu menatap Luna, "Jadi, kalian benar-benar tidak tahu dia pergi ke mana?"

Luna mengangkat bahu, ekspresinya datar. "Mana kami tahu ke mana perginya, orang tidak tahu berterima kasih seperti itu." Nada sarkasnya begitu jelas, membuat Antonius hampir tertawa.

Kedua pria itu akhirnya menyerah. Mereka saling pandang, lalu berjalan kembali ke mobil mereka tanpa berkata apa-apa lagi.

Di dalam mobil, pria bertato yang lebih pendek menyalakan mesin, lalu berkata, "Apa kau percaya dokter tua dan gadis kecil itu tidak tahu keberadaan bajingan itu?"

Yang satunya menatap lurus ke depan, ekspresinya serius. "Melihat reaksi mereka, kurasa mereka benar-benar tidak tahu siapa Lucius. Kita laporkan ini pada bos. Tapi beri tahu yang lain untuk mengawasi tempat ini. Siapa tahu kedua bajingan itu kembali."

Mobil itu melaju pergi, meninggalkan debu di jalan desa.

Di klinik, Luna masih sibuk menghitung ulang uang di tangannya. Antonius menatap cucunya dengan ekspresi tidak percaya.

"Luna, kenapa kau menerima uang dari mereka? Bukankah Lucius sudah membayar biaya perawatannya sendiri?!" seru Antonius sambil terkekeh.

Luna mengangkat bahu dengan santai. "Kenapa tidak? Klinik ini butuh uang, Kek. Lagipula, mereka yang bilang mau membayar. Tidak mungkin aku menolaknya, kan?"

Antonius menggeleng sambil tertawa kecil. "Tidak ada yang bisa mengalahkanmu kalau soal uang."

Namun, dalam hati kecilnya, Luna bertanya-tanya. Siapa sebenarnya Lucius, dan kenapa banyak orang mencarinya?

...****************...

1
dheey
bagussss luna!!!
Ratna Fika Ajah
Luar biasa
Nurwana
mo tanya thor... emang umur Luna dan Lucius berapa???
Seraphine: Perbedaan usia 8 tahun
Jadi waktu Luna masih SMA dia 18 tahun.
dan si Lucius ini ngempet dulu buat deketin Luna sampai si Luna lulus jadi dokter dulu, karena bab2 awal dia masih abege 🤣✌️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!