Menjadi aktris baru, nyatanya membuat kehidupan Launa Elliza Arkana jungkir balik. Menjadi pemeran utama dalam project series kesukaannya, ternyata membuat Launa justru bertemu pria gila yang hendak melec*hkannya.
Untung saja Launa diselamatkan oleh Barra Malik Utama, sutradara yang merupakan pria yang diam-diam terobsesi padanya, karena dirinya mirip mantan pacar sang sutradara.
Alih-alih diselamatkan dan aman seutuhnya, Launa justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Barra, hingga ia terperosok ke dalam jurang penyesalan.
Bukan karena Barra menyebalkan, tapi karena ia masih terikat cinta dengan sahabat lamanya yaitu Danu.
“Lebih baik kau lupakan kejadian semalam, anggap tidak pernah terjadi dan berhenti mengejarku, karena aku bukan dia!” ~Launa Elliza
“Jangan coba-coba lari dariku jika ingin hidupmu baik-baik saja.” ~ Barra Malik Utama
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erma Sulistia Ningsih Damopolii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 15 Kecemasan
Dibalik Launa yang mungkin merasa risih menerima pesan tersebut, ada jiwa lain yang tengah gusar hendak bagaimana ketika membaca kembali pesannya yang sudah centang dua.
“Duh sudah dibaca lagi, tapi bodo amat, aku hapus aja, sepertinya kurang sesuai sampai dia enggan membalasnya.” Bara bermonolog sembari menggerakkan jemari untuk menghapus pesan yang sudah terlanjur terbaca itu.
“Berhubung karena saya orangnya lebih mementingkan tanggung jawab, jadi saya rasa saya perlu bertanggung jawab dengan membawamu ke rumah sakit.” Seyakin itu Bara mempercayai perkataannya dan mengirimkannya tanpa dihapus atau pun diedit.
Bara menunggu balasan Launa seraya mengetuk meja menggunakan jemarinya. Satu menit, dua menit, tiga menit sampai lima menit, tak ada balasan sama sekali hingga akhirnya Bara menghubungi wanita itu via telepon.
Namun, yang dia dapati justru suara seorang pria yang dengan ketusnya menjawab telepon Launa. Bisa Bara tebak itu siapa, si paling sahabat yang tadi datang menyerangnya.
“Mana Launa?” Tanya Bara tak kalah ketus, tak ada takut-takutnya sama sekali karena pria ini bukan saudara atau kakak laki-laki Launa melainkan hanya pria yang ingin mengejar wanita itu.
“Untuk apa anda tanya-tanya Launa? Lebih baik, anda berhenti mengganggu Launa karena dia sama sekali tidak sudi bicara dengan anda paham?” Tegas Danu mengakhiri panggilan secara sepihak.
Tak terima di katai begitu, Bara mencoba menghubungi kembali namun sama sekali tidak diangkat. Hingga di panggilan kelima barulah Bara menyerah, namun dengan perasaan yang tak karu-karuan.
Bagaimana tidak? Baru kali ini dia diabaikan oleh seorang artis pendatang baru. Artis pendatang lama saja sampai ingin berebut meraih atensinya, namun Bara abaikan. Tapi Launa justru memperlakukannya bak penggemar rahasia yang memang patut diabaikan.
Akhirnya, Bara memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia pun menyandarkan diri di kursi kejayaannya, namun baru saja hendak istirahat dari penatnya pikiran seharian ini, pemilik suara cempreng yang sama sekali tidak ia harapkan datang menghampirinya.
“Ada apa?”
“Kenapa kakak pecat mas Garry dan memutuskan pertunangan kami seenaknya?” Protes Jovita hingga Bara memijat pangkal hidungnya.
Sudah ia duga, hal ini pasti akan terjadi. Pemilik mata sosial distancing itu pasti sudah mengaduh dan memfirnah dirinya di depan sang adik.
Oleh karena itu, Bara sudah sedia payung sebelum hujan. Ia pun merogoh ponselnya, dan memutar rekaman suara sewaktu Garry berbicara dengan Nadia tadi.
Dengan seksama Jovita mendengarkannya, kalau dilihat dari matanya yang berkaca-kaca dan nafas yang memburu, Bara yakin dia akan segera meninggalkan Garry tanpa pikir panjang. Tanpa curiga sedikit pun bahwa pikirannya itu akan salah.
Bara pun menghampiri sang adik, bagaimanapun Jovita adalah keluarga satu-satunya yang dia miliki. Meski kadang mereka persis anjing dan kucing, akan tetapi, saat sudah begini luka Jovita adalah lukanya juga.
Bara pun berdiri tepat di depan adiknya, dan meraih kepala sang adik yang sedang duduk itu untuk kemudian ia rengkuh demi memberi suntikan energi untuk Jovita.
“Kamu tenang saja ya, kakak yakin kamu pasti akan mendapatkan pria yang lebih baik dari badjingan_”
“Nggak kak.” Jawab Jovita singkat lalu sontak melepaskan diri dari rengkuhan sang kakak.
“Nggak? Nggak apa maksudmu Vit?”
“Aku nggak sanggup andai harus putus dari mas Garry. Kakak tau kan aku sangat mencintainya, aku tidak ingin berpisah darinya.” Jawab Jovita tanpa berani menatap pemilik mata elang itu sebenarnya.
“Apa katamu? Cinta? Lelaki toxic seperti itu kamu cintai? Astaga Vit, come on, kamu harus move on dan melepaskan pria gila itu.”
“Cukup kak! Jangan mengata-ngatai mas Garry lagi. Aku yakin wanita itu yang mengejar-ngejar mas Garry sehingga berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Apalagi sebelum ini kan kakak tidak merestui hubungan kami, jadi pasti kakak juga ingin kami berpisah kan?” Tukas Jovita hingga Bara mengumpatnya dengan kata bodoh.
“Kenapa bisa kamu sebucin ini Jovita? Kalau kamu tidak percaya, kakak akan perlihatkan rekaman cctv ruangan ini_”
“Nggak perlu!” Cegah Jovita saat Bara hendak mengambil ponselnya kembali. Bagaimana tidak? Rekaman suara yang Bara perdengarkan hanya sepotong, tidak sampai pada kalimat di mana Bara membantah ucapan Nadia dan meneriaki nama wanita itu. Hal itulah yang sampai detik ini membuat Jovita menduga bahwa wanita itu adalah Launa.
Tidak hanya itu, saat Bara ingin menunjukkan hasil rekaman cctv di ruangannya, Jovita dengan tegas menolak karena tak sanggup andai dia harus sakit hati mendengarnya.
Ya, Jovita tahu dan sadar bahwa tunangannya memang toxic dan salah, akan tetapi, wanita itu seakan tutup mata dan tutup telinga demi untuk mempertahankan prianya.
Tak ingin berlama-lama lagi di sana, Jovita beranjak dari duduknya dan hendak melanjutkan langkah. Namun ada satu hal yang ia lupakan, kembali ia menatap mata sang kakak, lalu berkata.
“Ingat ya kak, kakak harus menerima Garry kembali bekerja di sini dan merestui hubungan kami karena jika tidak, saya pastikan saya akan kawin lari.” Pungkas Jovita lalu kembali melanjutkan langkahnya tanpa peduli akan tanggapan Bara selanjutnya.
****
“Dia tidak akan menghubungimu lagi, aku sudah memblokir nomornya.” Bisik Danu mengembalikan ponsel Launa yang sempat ia pinjam saat menjawab panggilan Bara.
“Makasih ya Dan.”
“Sudah jangan sungkan, kamu sahabatku, sudah sepantasnya aku membantumu.” Jawab Danu sembari mengacak-acak rambut Launa.
“Sahabat? Jadi dia hanya menganggap aku sahabat sampai detik ini?” Batin Launa menatap lekat wajah teduh itu.
“Syukurlah Launa tidak menginginkan pak Bara, jadi aku masih punya peluang untuk mendekati pak Bara. Semoga Launa tidak hamil, dan akan berjodoh dengan Danu. Dengan begitu, aku bisa meraih cinta yang tertunda itu.” Gumam Iva dalam hati tanpa melepas pandangannya dari dua sahabatnya.
“Dan, apa kamu yakin dia tidak akan menggangguku lagi?”
“Tentu Na, sudah serahkan saja semuanya pada sahabat terkerenmu ini.” Balas Danu seraya menepuk-nepuk dadanya demi agar Launa yakin.
“Kalau misalnya dia ke rumahku bagaimana? Aku takut Dan.”
“Nggak usah takut, kan ada aku yang akan melindungi kamu.”
Senyum tipis pun terbit dari bib*r ranum Launa. “Kalau seandainya aku hamil bagaimana?” Ungkap Launa lagi mengutarakan ketakutannya.
“Tenang saja, kamu tidak akan hamil, karena aku sudah menyiapkan ini.” Cetus Iva seraya memperlihatkan pil kontrasep*i darurat itu pada Launa.
Bukan tanpa alasan, Iva melakukannya karena jelas tak ingin pria yang dia sukai berakhir menikahi Launa dengan dalih tanggung jawab.
Sebagai wanita yang hidup tanpa kasih seorang ayah, jelas Iva sangat mengharapkan cinta dari pria yang diincarnya.
Namun bukan berarti Iva berniat jahat dan menghalalkan segala cara untuk menghalangi jodoh seseorang, dia hanya ingin melindungi kebahagiaanya. Selain itu, pemilik rambut bob itu tidak ingin terlambat, karena jika sudah menikah akan sangat mustahil andai dia memisahkan mereka. Begitu tutur batin Iva tanpa siapapun tahu.
Lagi pula, Iva berani bertindak demikian, karena ia yakin, dari pancaran mata yang Launa perlihatkan, tak sedikit pun ada rasa cinta untuk Bara. Bahkan dia sangat takut dan tidak ingin menemui pria itu.
“Iva, kalian memang selalu bisa diandalkan.”
“Yah sudah kalau begitu cepat minum.” Titah Iva hingga sang pemilik suara lembut tiba-tiba menyelah ucapan Iva.
“Minum apa?”
“Heuh.”
sorry tak skip..