Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10-Merawat Mertua
Kuletakkan semangkuk bubur beserta segelas air putih yang sengaja ditaruh di nampan ke atas nakas samping pembaringan. Lantas setelahnya kubangunkan Mama secara perlahan, beliau harus segera sarapan. Jangan sampai jadwal makannya berantakan.
"Makan dulu yah, Ma," kataku setelah membantu beliau untuk duduk bersandar di bantal yang sengaja kuletakkan di belakang punggung.
Kusuapi sedikit demi sedikit, sembari sesekali berbincang agar tak terlalu diliputi keheningan. Namun, beliau menolak untuk menghabiskan dan aku pun tak ingin memaksakan. Mungkin hanya setengahnya saja yang berhasil masuk lambung.
"Diminum dulu obatnya," kataku seraya menyerahkan beberapa jenis pil dan kapsul sesuai dengan dosis yang dokter berikan.
"Mama harus banyak istirahat, kalau perlu apa-apa bilang sama aku yah," tuturku sembari merapikan bekas makan beliau.
Mama mengangguk pelan. "Maafkan Mama karena jadi merepotkan kamu."
Aku menggeleng tegas lantas berujar, "Mama jangan banyak pikiran, supaya pemulihannya cepat. Aku gak tega lihat Mama sakit kayak gini, aku juga kasihan lihat Bang Fariz yang selalu mengkhawatirkan kondisi Mama. Mukanya masam, gak enak dilihat."
Mama terkekeh pelan. "Fariz memang begitu, kalau Mama sakit dia yang rungsing dan kepikiran."
"Itu tandanya Bang Fariz sangat menyayangi Mama."
Beliau tersenyum tipis dan mengaminkan.
"Mama istirahat lagi aja, aku mau beres-beres rumah dulu. Kalau perlu apa-apa teriak aja yah," ucapku lantas kembali berdiri dan mengambil nampan.
Aku terkejut saat tanganku ditahan oleh Mama. "Kenapa, Ma?"
"Makasih," katanya diiringi sebuah senyuman tulus.
Aku pun membalas senyuman beliau tak kalah lebar. "Sama-sama. Sehat-sehat yah, Ma."
Setelahnya aku melesat pergi ke dapur untuk mencuci piring, dan menyiapkan sarapan untuk Bang Fariz yang saat ini tengah bersiap-siap di kamar.
"Nasi goreng aja gak papa, kan?" tanyaku saat Bang Fariz sudah duduk di kursi meja makan.
Aku belum mengambil belanjaan di warung langganan. Cukup kerepotan karena belum terbiasa untuk membagi waktu antara merawat Mama, melayani kebutuhan Bang Fariz, dan menuntaskan pekerjaan rumah. Belum lagi, aku pun harus mempersiapkan beberapa pesanan pembeli yang juga jumlahnya tidak sedikit.
"Gak papa, ini lebih dari cukup," sahutnya membuatku bisa sedikit bernapas lega.
Baru kali ini aku hanya menghidangkan nasi goreng dan telur dadar. Biasanya menu makanan lengkap, empat sehat lima sempurna. Dan, aku pun tak sempat untuk membuat bekal makan siang untuknya.
"Duduk, makan bareng sama Abang," titahnya saat aku hendak berdiri untuk sekadar menyiapkan beberapa potong roti agar bisa Bang Fariz bawa ke kantor, sebagai pengganti makan siang.
"Iya, sebentar aku beresin dulu yah. Tanggung," sahutku.
Aku terkesiap saat menyadari Bang Fariz sudah berdiri di sisiku seraya menahan salah satu tanganku. "Untuk makan siang Abang bisa beli sendiri. Temani Abang makan," katanya.
Bang Fariz menuntunku untuk duduk bersebelahan di kursi yang tersedia. Aku pun menurut tanpa kata.
"Kamu itu harus makan yang banyak, jangan sampai kelelahan. Tubuh kamu perlu asupan makanan dan juga istirahat yang cukup. Abang gak mau kamu sakit," katanya lalu menyuapiku satu sendok nasi goreng.
Hatiku mendadak berbunga-bunga, seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di sana. Senang sekali rasanya diperhatikan oleh Bang Fariz. Perlakuannya teramat manis.
"Abang juga harus makan, supaya kerjanya semangat dan gak loyo," kataku sembari mengambil alih sendok di tangannya untuk menyuapi Bang Fariz.
Kami sudah seperti muda-mudi yang tengah dimabuk asmara, saling menyuapi dan sesekali melempar tawa. Virus bucin sudah merasuk ke dalam jiwa.
"Nah gitu rukun-rukun enak dilihatnya juga."
Aku tersedak dan batuk-batuk saat mendengar godaan yang Mama layangkan. Allahuakbar! Malu sekali rasanya. Kami tertangkap basah tengah bermesraan.
Bang Fariz memberikan segelas air putih dan aku langsung menandaskannya.
"Mama mau ke mana? Perlu apa? Kenapa gak panggil aku aja?" tanyaku beruntun.
Beliau geleng-geleng seraya tertawa kecil. "Mana berani Mama ganggu kalian. Terusin aja, anggap Mama gak ada," katanya lantas berjalan secara perlahan menuju kamar mandi.
Aku bergegas berdiri untuk membantu beliau. Takut tubuhnya masih lemah dan terjatuh. "Aku bantu yah, Ma," ucapku seraya menuntunnya.
Saat Mama sudah masuk ke dalam, kututup pintunya dan berdiri tak jauh di sana.
"Kalau hipoglikemia-nya kambuh kasih Mama gula pasir sebanyak 20 gram yang dilarutkan ke dalam 200 cc air, atau sirup yang benar-benar terbuat dari gula asli, teh manis juga boleh. Pulang dari kantor Abang beli tablet glukosa untuk jaga-jaga."
Aku mengangguk patuh. Bang Fariz terlihat sangat cekatan dan tahu betul bagaimana cara merawat Mama.
"Nanti agak siangan Bi Sri ke sini buat bantu beresin rumah. Kamu fokus rawat dan jaga Mama aja," imbuhnya.
Aku pun kembali mengangguk.
"Abang berangkat dulu, titip Mama yah," katanya sembari menghampiriku yang tengah berdiri menunggu Mama.
Aku menyalami punggung tangannya dan Bang Fariz mendaratkan kecupan singkat di dahi, lantas berlalu pergi setelah mengucapkan salam.
"Ma sudah belum?" tanyaku seraya mengetuk pintu kamar mandi.
Tak ada sahutan, tapi suara kenop pintu yang dibuka hingga memperlihatkan Mama membuat aku lega seketika. "Mama masih pusing?" tanyaku saat merasakan tubuhnya sedikit sempoyongan.
Beliau mengangguk. "Tadi Mama check gula darahnya rendah," katanya.
Aku membantu beliau untuk duduk dan segera membuatkan teh manis sesuai perintah Bang Fariz. "Diminum dulu, Ma."
"Istirahat lagi di kamar yah," pintaku setelah beliau menandaskan teh manis tersebut.
Mama tak banyak bicara dan hanya mengangguk saja. Aku pun membantu beliau untuk berjalan.
Pantas saja Bang Fariz sangat mengkhawatirkan beliau, sebab kondisi kesehatannya yang tidak bisa diprediksi. Padahal tadi sebelum aku tinggalkan Mama terlihat sedikit segar dan baikan, tapi sekarang gula darahnya kembali menurun. Benar-benar harus dijaga dan selalu dipantau.
Mungkin ini juga yang beberapa waktu lalu beliau alami, tapi karena tidak adanya orang membuat beliau hilang kesadaran. Bi Sri memang bekerja di rumah Mama, tapi tugas beliau hanya membersihkan dan merapikan rumah saja.
Bi Sri tidak memiliki kapasitas lebih untuk memantau kesehatan Mama, ruang gerak beliau pun terbatas, tidak bisa bebas keluar masuk ke kamar majikannya. Jadi, wajar kalau Bi Sri menemukan Mama pada saat sudah pingsan.
Memang sudah sewajarnya Mama tinggal bersama kami. Selain karena faktor usia, faktor kesehatan pun menjadi alasan utama. Aku tak keberatan sama sekali jika harus merawat beliau, aku pun merasa nyaman dan baik-baik saja serumah dengan mertua.
Aku harus membicarakan masalah ini pada Bang Fariz. Aku yakin dia juga pasti akan setuju dengan usulanku.