NovelToon NovelToon
Alastar

Alastar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Bita_Azzhr17

Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 29. Luka yang Tak Terlihat

Psikolog perempuan di depan mereka tersenyum ramah, tetapi senyum itu tidak mampu menyentuh hati Alastar. Ia merasa kosong, seperti ada jurang yang terus melebar di dalam dirinya.

"Silakan duduk," kata psikolog itu lembut, menepuk sofa di depannya.

Alastar dan Kayana duduk berdampingan. Tangan Kayana diam-diam menggenggam tangan Alastar yang dingin. Alastar menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.

Ruangan Bu Mira terasa seperti tempat perlindungan. Cahaya matahari sore menyelinap masuk lewat jendela besar, sementara aroma teh chamomile mengisi udara. Wanita paruh baya itu menyambut mereka dengan senyuman hangat.

“Alastar, sudah lama nggak ke sini,” sapanya lembut.

Alastar mengangguk pelan, duduk di sofa sambil meremas ujung jaketnya. Kayana duduk di sebelahnya, tidak berkata apa-apa, tapi genggamannya di lengan Alastar memberi dukungan yang ia butuhkan.

“Apa yang membuat kamu memutuskan kembali, Alastar?” tanya Bu Mira, memulai percakapan.

Alastar menghela napas panjang. Ia merasa tenggorokannya tercekat, kata-kata seperti tersangkut di dadanya.

Psikolog itu mengangguk. "Tidak apa-apa, Alastar. Tidak ada tekanan. Kamu bisa bicara saat kamu siap."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum Alastar akhirnya membuka mulutnya. "Aku... aku nggak tahu harus mulai dari mana," suaranya pelan, hampir seperti bisikan.

Psikolog itu menatapnya dengan sabar. "Mulailah dari apa yang terasa paling berat di hati kamu."

Alastar menunduk, matanya mulai memerah. "Kemarin malam, Ayahku nelpon. Dia... dia bilang aku harus pulang. Sudah hampir setahun aku tinggal di apartemen sendiri, dan dia nggak pernah peduli sebelumnya. Tapi sekarang, dia mulai marah karena aku nggak terlihat... sempurna."

Kayana menoleh, menatap Alastar dengan cemas. Ia tahu Alastar sering berbicara tentang keluarganya dengan nada sarkastik, tetapi ia tidak pernah tahu sejauh apa luka yang sebenarnya ia sembunyikan.

"Dia bilang," Alastar melanjutkan dengan suara bergetar, "Apa kata orang kalau anaknya nggak pernah pulang? Apa kata orang kalau anaknya kelihatan nggak beres?"

Air mata mulai mengalir di pipi Alastar, meskipun ia mencoba menahannya. "Saya capek, Tante. Capek harus jadi anak yang dia banggakan cuma karena saya kelihatan baik-baik aja. Aku nggak pernah diminta untuk bahagia. Cuma diminta untuk... terlihat sempurna."

Ruangan itu hening. Kayana menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata, tetapi gagal. Ia tidak pernah melihat Alastar selemah ini.

"Kadang..." suara Alastar pecah lagi, "Saya mikir, apa gunanya semua ini? Apa gunanya berjuang kalau nggak ada yang peduli? Kalau aku cuma dianggap sebagai... barang pajangan?"

Psikolog itu tidak langsung menjawab. Ia memberi Alastar ruang untuk menumpahkan emosinya. Setelah beberapa saat, ia berkata dengan lembut, "Alastar, apa yang kamu rasakan itu valid. Rasa lelahmu, kecewamu, semuanya adalah hal yang wajar. Kamu manusia, bukan mesin."

"Tapi aku nggak bisa ngomong ke dia," ujar Alastar, matanya menatap lantai. "Dia nggak akan ngerti. Dia nggak akan peduli."

Psikolog itu mengangguk perlahan. "Kadang, orang tua tidak tahu cara menunjukkan cinta mereka dengan benar. Tapi itu tidak berarti perasaan kamu salah."

Alastar menatap psikolog itu dengan mata yang masih basah. "Tapi ayah saya tidak memiliki cinta, baik kepada ibu saya maupun kepada saya. Saya cuma pengen satu hal. Saya cuma pengen dia bilang kalau saya cukup. Kalau saya nggak harus jadi sempurna untuk dia."

Kayana akhirnya tidak bisa menahan tangisnya. Ia menutup wajahnya dengan tangan, suara isakannya memenuhi ruangan kecil itu. "Kenapa lo nggak pernah bilang semua ini ke gue, Star?" tanyanya lirih.

Alastar menoleh padanya, wajahnya penuh rasa bersalah. "Karena gue nggak mau kelihatan lemah di depan lo. Gue... gue selalu pengen jadi orang yang lo bisa andalkan."

Kayana menggeleng dengan tegas. "Tapi gue di sini, Star. Gue di sini buat lo. Lo nggak harus kuat sendirian."

Psikolog itu tersenyum kecil. "Alastar, langkah pertama untuk sembuh adalah mengakui bahwa kamu nggak bisa menghadapi semuanya sendirian. Dan kamu baru saja melakukannya. Itu adalah langkah yang sangat besar."

Alastar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia merasa sedikit lebih ringan, meskipun beban di dadanya belum sepenuhnya hilang. Di tengah rasa sakitnya, ia mulai melihat harapan kecil, seperti cahaya di ujung lorong gelap.

"Terima kasih, Tante," katanya dengan suara serak.

Psikolog itu mengangguk, senyumnya lembut. "Perjalanan ini mungkin panjang, Alastar. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu punya orang-orang yang peduli sama kamu."

Alastar menoleh ke arah Kayana, yang masih menggenggam tangannya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti dirinya. Seseorang yang tidak menuntut kesempurnaan darinya.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa mungkin, hanya mungkin, ia bisa mulai memperbaiki dirinya.

****

Sejak usia 11 tahun, Alastar sudah terbiasa dengan kenyataan bahwa mamanya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Setiap tahunnya, ia mengunjungi mamanya, namun tidak pernah sesering yang ia inginkan. Rumah sakit jiwa itu sudah menjadi rumah kedua bagi wanita yang dulu begitu ceria dan penuh kasih. Alastar tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya. Semua perubahan itu datang tiba-tiba—seperti sebuah badai yang mengubah semuanya dalam sekejap.

Hari ini, Alastar bangun lebih pagi dari biasanya. Ia mengenakan seragam sekolahnya yang rapi, seolah hari ini adalah hari biasa seperti hari-hari lainnya. Tetapi, hatinya terasa berbeda. Ada sesuatu yang menggantung di udara, seolah ada kabar yang menunggunya. Mungkin karena hari ini ia merasa sedikit lebih cemas daripada biasanya.

Saat hendak keluar dari rumah, ponselnya bergetar, memecah ketenangan pagi itu. Alastar melihat nama yang sudah ia kenal dengan baik—Dr. Fajar. Seorang dokter yang selama ini bertugas merawat mamanya. Dr. Fajar selalu menghubunginya setiap kali ada perkembangan tentang mamanya, meski tak selalu dengan kabar baik.

“Alastar, ini Dr. Fajar. Ada hal penting yang perlu kamu ketahui. Tolong datang ke rumah sakit jiwa segera. Mamamu… kondisinya memburuk. Kami butuh kamu di sini.”

Alastar menatap layar ponselnya dalam diam. Hatinya berdebar kencang, seolah waktu berhenti sesaat. Pagi itu, ia merasa seolah dunia berpaling darinya, membawanya kembali ke tempat yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari hidupnya yang suram. Rumah sakit jiwa.

Dengan langkah terburu-buru, Alastar bergegas menuju rumah sakit Jiwa. Ia mengenakan seragam sekolahnya yang masih rapi, berusaha tetap tenang meskipun hatinya kacau. Ia sudah terbiasa dengan suasana rumah sakit jiwa, namun setiap kali memasuki tempat itu, rasa takut dan cemas selalu datang kembali. Tidak ada yang bisa mempersiapkannya untuk bertemu dengan mamanya yang berbeda dari yang ia kenal dulu.

Setibanya di sana, ia langsung menuju ruang rawat di mana mamanya dirawat. Pintu rumah sakit itu terasa semakin berat, seolah ada beban yang mengikatnya untuk melangkah lebih jauh. Dr. Fajar sudah menunggunya di ruang tunggu.

"Alastar," Dr. Fajar menyapanya dengan nada lembut, namun wajahnya memancarkan keprihatinan yang mendalam. "Kami mencoba yang terbaik, tapi mamamu sekarang lebih sulit diatur. Dia sering mengalami halusinasi dan kadang menjadi sangat marah tanpa alasan jelas."

Alastar mengangguk pelan, merasa ada jurang yang memisahkan dirinya dengan kenyataan. Semua yang ia dengar sudah sering kali ia rasakan. Mamanya, yang dulu selalu menyemangatinya, kini hanya tinggal kenangan. Ia hanya bisa menunggu dan berharap, meskipun tahu harapan itu kian menipis.

“Mama ada di ruangannya?” tanya Alastar dengan suara yang hampir tak terdengar.

"Ya," jawab Dr. Fajar. "Dia sedang tidur sekarang, tapi saya sarankan untuk berbicara dengannya. Kehadiranmu akan sangat berarti baginya."

Alastar menghela napas panjang, menenangkan dirinya sejenak. Ia melangkah menuju ruang rawat dengan kaki yang terasa begitu berat. Begitu pintu ruang rawat terbuka, ia melihat sosok yang paling ia rindukan, namun juga yang paling menakutkan baginya. Mamanya terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lelah, dan matanya kosong, menatap jauh ke arah langit-langit ruangan.

"Mama," panggil Alastar pelan, berdiri di samping tempat tidur mamanya.

Tak ada reaksi dari mamanya. Namun, setelah beberapa saat, ia perlahan menggerakkan tangannya dan menatap Alastar dengan mata yang sedikit terbuka. Alastar merasa hatinya pecah melihat tatapan itu—tatapan yang tidak lagi mengenali dirinya sepenuhnya.

"Mama, aku di sini," kata Alastar, mencoba tersenyum meskipun air mata sudah menggenang di matanya. "Aku kembali, Mama. Alastar rindu masakan Mama..."

Mamanya perlahan mengangkat tangannya, menggenggam tangan Alastar dengan erat. Namun, tatapannya tetap kosong, seolah ia masih mencari-cari siapa yang berada di sisinya.

"Alastar..." suara lembut keluar dari bibir mamanya, namun begitu samar, hampir tak terdengar.

"Aku di sini, Mama. Aku akan selalu ada untukmu."

Alastar tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan betapa ia merindukan sosok mamanya yang dulu yang penuh cinta dan perhatian. Namun, ia berjanji untuk tetap tinggal, menemani mamanya melewati hari-hari yang penuh ketidakpastian ini. Ia tak akan meninggalkannya, meskipun dunia terasa begitu gelap.

Dan di balik pintu rumah sakit jiwa itu, Alastar tahu, ia dan mamanya masih punya waktu untuk saling bertahan. Walau semuanya tak pasti, mereka akan berjuang bersama—seperti dulu, saat mereka masih bisa tertawa bersama.

1
lgtfav
👍
lgtfav
Up terus thor
lgtfav
Thor semangat👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!