Pada tahun 2050, bumi dilanda kekeringan dan suhu ekstrem. Keitaro, pemuda 21 tahun, bertahan hidup di Tokyo dengan benteng pertahanan anti-radiasi. Namun, tunangannya, Mitsuri, mengkhianatinya dengan bantuan Nanami, kekasih barunya, serta anak buahnya yang bersenjata. Keitaro dibunuh setelah menyaksikan teman-temannya dieksekusi. Sebelum mati, ia bersumpah membalas dendam.
Genre
Fiksi Ilmiah, Thriller, Drama
Tema
1. Pengkhianatan dan dendam.
2. Kekuatan cinta dan kehilangan.
3. Bertahan hidup di tengah kiamat.
4. Kegagalan moral dan keegoisan.
Tokoh karakter
1. Keitaro: Pemuda 21 tahun yang bertahan
hidup di Tokyo.
2. Mitsuri: Tunangan Keitaro yang mengkhianatinya.
3. Nanami: Kekasih Mitsuri yang licik dan kejam.
4. teman temannya keitaro yang akan
muncul seiring berjalannya cerita
Gaya Penulisan
1. Cerita futuristik dengan latar belakang kiamat.
2. Konflik emosional intens.
3. Pengembangan karakter kompleks.
4. Aksi dan kejutan yang menegangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Aditia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9: RAHASIA DIBALIK KOTAK
Keesokan paginya, sinar matahari redup menerobos celah-celah gubuk sederhana tempat Keitaro dan Kenta tinggal. Kokok ayam dan kicauan burung di kejauhan menjadi pengingat bahwa hari baru telah tiba, meskipun bayangan ancaman kiamat panas semakin mendekat.
Keitaro bangun lebih dulu. Ia duduk bersila di depan kotak misterius itu, pandangannya terfokus pada dokumen-dokumen tua yang berserakan di lantai. Kenta, yang terbangun oleh suara kertas, mengucek matanya perlahan, lalu menatap Keitaro dengan rasa ingin tahu.
"Sudah mulai bekerja, ya?" ujar Kenta sambil meregangkan tubuh yang terasa kaku.
Keitaro menoleh dan tersenyum kecil. "Simbol-simbol ini terasa familiar, tapi aku masih belum tahu bagaimana cara memecahkannya."
Kenta mendekat, lalu duduk di samping Keitaro. Ia memandang peta dan dokumen yang tersebar di lantai dengan cermat. "Jadi, apa langkah pertama kita?" tanyanya.
Keitaro menunjuk pada simbol segi enam di salah satu peta. "Langkah pertama adalah menemukan lokasi ini. Jika simbol ini benar-benar menunjukkan sumber daya tersembunyi, mungkin kita akan menemukan sesuatu yang sangat penting."
Kenta memiringkan kepalanya, memperhatikan garis-garis aneh yang membentuk peta. "Tapi, bagaimana kita tahu tempat ini masih ada? Dunia sudah banyak berubah sejak abad ke-19. Bisa saja tempat itu sudah hilang."
Keitaro mengangguk pelan. "Benar. Tapi aku punya firasat lokasi ini masih ada. Di kehidupanku sebelumnya, orang yang membelinya dulu menemukan harta bernilai miliaran. Lihat simbol-simbol kecil di sekitar segi enam ini," katanya sambil menunjuk pada detail yang hampir tak terlihat. "Ini terlihat seperti koordinat."
Kenta mengangguk setuju, dan Keitaro segera mengeluarkan ponselnya untuk memasukkan koordinat itu ke Google Maps. Setelah beberapa detik mencari, layar menampilkan sebuah lokasi.
"Gunung Fuji," gumam Keitaro sambil membaca nama yang muncul.
Kenta menatap layar ponsel dengan takjub. "Gunung Fuji? Serius? Jadi sumber daya itu ada di sana?"
"Sepertinya begitu," jawab Keitaro. "Tapi perjalanan ke sana tidak akan mudah. Kita harus bersiap dengan matang."
Kenta mengangguk, tampak mulai memahami pentingnya persiapan. "Kalau begitu, kita butuh perlengkapan yang memadai. Apakah kita akan membelinya dulu?"
Keitaro menarik napas panjang sebelum menjawab, "Ya. Kita akan membeli perlengkapan untuk mendaki gunung, juga persediaan makanan."
Kenta mengangguk "Baiklah, kalau begitu kita beli peralatan di toko biasa saja."
Mereka berdua segera bersiap, mengambil uang yang tersisa, dan pergi ke pusat kota kecil di dekat gubuk mereka. Mereka membeli perlengkapan mendaki seperti tenda kecil, pakaian hangat, kompas, serta persediaan makanan yang cukup untuk perjalanan beberapa hari.
"Ini sudah cukup," kata Keitaro sambil memeriksa isi ransel mereka. "Semoga semuanya berjalan lancar."
Dengan perlengkapan yang sudah siap, mereka pun melanjutkan perjalanan besar menuju Gunung Fuji menggunakan bus.
Di dalam bus, Keitaro dan Kenta memilih duduk di bangku paling ujung, jauh dari perhatian penumpang lain. Suara gemuruh mesin bus yang melaju di jalanan berliku menjadi latar belakang saat Keitaro akhirnya membuka pembicaraan.
"Kenta," panggil Keitaro dengan nada serius,
"Ada sesuatu yang perlu kau tahu."
Kenta menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?"
Keitaro menarik napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian. "Tentang aku yang selama ini terlihat berbicara sendiri… aku rasa sekarang saatnya aku memberitahumu semuanya."
Kenta menyesuaikan posisi duduknya, memberikan perhatian penuh. "Oke, aku dengar."
Keitaro mulai bercerita, suaranya sedikit lebih pelan agar tidak terdengar oleh penumpang lain. Ia menceritakan bagaimana ia pertama kali menemukan sistem itu, sebuah program aneh yang tiba-tiba muncul di kehidupannya setelah mati. Sistem itu memberinya misi besar: mengumpulkan 1 miliar yen sebelum kiamat panas terjadi.
"Awalnya aku pikir aku sedang berhalusinasi," ujar Keitaro sambil melirik ke arah jendela. "Tapi, sistem itu benar-benar nyata. aku berpikir bagaimana mencari uang sebanyak itu. tapi sekarang karna usahaku dan bantuanmu, misi itu akhirnya berhasil."
Kenta mendengarkan dengan seksama, wajahnya serius. "Dan apa yang terjadi setelah itu?"
Keitaro melanjutkan. "Ketika misi selesai, sistem memberikan hadiah spesial. Sebuah fitur bernama 'Toko Sistem'. Toko itu memungkinkan aku membeli makanan, minuman, dan obat-obatan saat kiamat nanti, menggunakan koin sistem yang hanya bisa didapatkan melalui misi lain atau uang dunia nyata."
Kenta mengerutkan kening, mencoba mencerna semua informasi itu. "Jadi, itu sebabnya kau bisa mendapatkan makanan dari udara seperti kemarin?"
Keitaro mengangguk. "Ya. Tapi, toko itu punya batasan. Barang-barangnya sangat mahal dan hanya dirancang untuk keadaan darurat di kiamat nanti, bukan untuk persiapan seperti sekarang."
Kenta terdiam sejenak, lalu menatap Keitaro dengan penuh keyakinan. "Aku percaya padamu. Semua yang kau katakan masuk akal, terutama setelah apa yang kulihat sejauh ini."
Keitaro tersenyum kecil, merasa lega karena akhirnya bisa berbagi rahasia ini. "Terima kasih, Kenta. Aku butuh seseorang yang bisa kuandalkan, dan aku tahu kau adalah orang itu."
Kenta menepuk bahu Keitaro dengan santai. "Tentu saja. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Aku tidak akan meninggalkanmu sekarang."
Dengan kepercayaan yang semakin kuat di antara mereka, bus terus melaju menuju Gunung Fuji. Perjalanan itu terasa seperti awal dari sesuatu yang besar, penuh ketegangan dan harapan. Keitaro dan Kenta tahu, apa pun yang menanti mereka di sana, akan berpengaruh untuk menghadapi kiamat panas nanti.
Setelah beberapa jam perjalanan, bus akhirnya berhenti di terminal kecil di kaki Gunung Fuji. Udara dingin langsung menyergap mereka begitu turun dari bus, membuat napas mereka terlihat seperti uap tipis di udara. Keitaro dan Kenta membawa ransel masing-masing, mengamati sekeliling dengan penuh kewaspadaan.
"Jadi, kita mulai dari mana?" tanya Kenta, menatap jalan setapak kecil yang menjalar ke dalam hutan lebat di depan mereka.
Keitaro mengeluarkan peta dan memeriksa koordinat yang telah mereka tentukan sebelumnya. Ia menunjuk ke arah jalan setapak itu. "Kita harus berjalan menyusuri jalur ini dulu. Dari sini, perjalanan akan semakin menantang. Lokasi yang kita cari ada di sisi barat gunung ini, di tempat yang mungkin tersembunyi."
Kenta menghela napas panjang sambil mengenakan jaket tebalnya. "Baiklah, ayo kita mulai. Semoga tidak ada kejadian aneh di sepanjang jalan."
Mereka mulai berjalan, menyusuri jalan setapak yang semakin menanjak. Pohon-pohon tinggi di sekeliling mereka menciptakan bayangan gelap, seolah-olah menyembunyikan sesuatu di antara dedaunan lebat. Suara langkah kaki mereka berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin.
Di tengah perjalanan, Kenta melirik ke arah Keitaro. "Jadi, apa rencana kita jika tempat itu ada? Kau yakin kita bisa mengaksesnya tanpa masalah?"
Keitaro tersenyum tipis, meski lelah mulai terasa di wajahnya. "Aku tidak yakin. Tapi dengan kerjasama, aku yakin kita bisa.
Perjalanan mereka semakin berat saat jalur setapak berubah menjadi jalan berbatu yang licin akibat embun pagi. Beberapa kali mereka hampir terpeleset
Mereka akhirnya tiba di sebuah area yang cukup terbuka di tengah hutan. Keitaro memeriksa peta lagi dan menandai lokasi mereka. "Kita sudah mendekati titik koordinat. Tapi dari sini, kita harus meninggalkan jalur utama dan memotong langsung ke dalam hutan."
Dengan sedikit enggan, Kenta mengikuti Keitaro masuk ke dalam hutan. Suasana semakin sunyi, hanya ada suara ranting patah di bawah kaki mereka dan sesekali suara burung dari kejauhan. Perasaan waspada semakin meningkat, seolah-olah mereka sedang diawasi.
Namun, mereka terus melangkah, membawa harapan bahwa perjalanan ini akan membawa mereka pada sesuatu yang bisa mengubah nasib dunia. Apa pun yang menanti di ujung perjalanan ini, Keitaro dan Kenta tahu mereka harus menghadapinya bersama.
Setelah berjam-jam melintasi hutan lebat, akhirnya Keitaro dan Kenta tiba di titik koordinat yang ditunjukkan peta. Mereka berdiri di sebuah area yang dikelilingi pepohonan tua dengan akar-akar besar menjalar di tanah. Udara terasa semakin dingin, dan suasana begitu sunyi hingga mereka bisa mendengar detak jantung mereka sendiri.
"Ini dia," kata Keitaro sambil memeriksa peta sekali lagi. "Titik koordinatnya tepat di sini."
mereka memandang kesekitar, berusaha menemukan sesuatu yang mencurigakan. "Tapi di mana sumber dayanya? Aku tidak melihat apa pun kecuali pohon dan batu-batu besar."
Keitaro mengamati sekeliling dengan saksama. "Tempat ini terlalu sunyi. Sesuatu pasti tersembunyi di sini." Ia berjalan ke arah sebuah batu besar yang sebagian terkubur di tanah. Saat ia menyentuh permukaannya, ia merasakan sesuatu yang aneh
batu itu terasa lebih dingin daripada udara sekitar.
"Kenta, coba bantu aku. Batu ini... mungkin menutupi sesuatu," kata Keitaro, mulai mendorong batu tersebut.