Nada Azzahra, siswa baru di SMA Nusantara Mandiri, adalah gadis ceria yang mudah bergaul. Kepribadiannya yang ramah dan penuh semangat membuatnya cepat mendapatkan teman. Namun, kedatangannya di sekolah ini mempertemukannya dengan Bara Aryasatya, cowok tengil yang ternyata adalah "musuh bebuyutan"-nya semasa SMP.
Di masa SMP, Nada dan Bara bagaikan Tom & Jerry. Pertengkaran kecil hingga saling usil adalah bagian dari keseharian mereka. Kini, bertemu kembali di SMA, Bara tetap bersikap menyebalkan, hanya kepada Nada. Namun, yang tak pernah Nada sadari, di balik sikap tengilnya, Bara diam-diam menyimpan rasa cinta sejak lama.
Setiap hari ada saja momen lucu, penuh konflik, dan menguras emosi. Bara yang kikuk dalam mengungkapkan perasaannya terus membuat Nada salah sangka, mengira Bara membencinya.
Namun, seiring waktu, Nada mulai melihat sisi lain dari Bara. Apakah hubungan mereka akan tetap seperti Tom & Jerry, ataukah perasaan yang lama terpendam akan menyatukan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lega
Malam itu, setelah semua kegiatan selesai dan suasana di rumah terasa sepi, Nada duduk di depan jendela kamarnya, menatap bintang-bintang yang bertebaran di langit malam. Pikirannya berkecamuk, membayangkan dua sosok pria Aldo dan Bara.
Aldo, dengan segala kebaikan dan perhatian yang selalu dia tunjukkan, membuat Nada merasa nyaman. Aldo adalah tipe orang yang sabar, tidak terburu-buru, selalu bisa diandalkan. Namun, ada sesuatu yang berbeda saat ia bersama Bara. Bara, meskipun usil dan terkadang membuatnya kesal, memiliki daya tarik tersendiri.
Nada menundukkan kepala, berusaha merangkai kata-kata dalam pikirannya. "Kenapa ya, setiap kali bersama Bara, aku merasa jantungku berdebar lebih cepat?" gumamnya pelan. Bara memberinya kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus terjebak dalam ekspektasi atau peraturan yang ketat.
Sementara itu, bersama Aldo, meskipun ia merasa aman dan nyaman, Nada tidak bisa menyangkal bahwa ada semacam batasan yang tak bisa dilanggar. Ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tertahan, yang tidak bisa sepenuhnya diekspresikan.
"Kenapa harus memilih antara keduanya, padahal jika mau aku ambil deh dua duanya. Hahahaha!" Nada tertawa dengan pikiran nya yang nyeleneh.
Dengan tekad yang semakin kuat, Nada menarik napas panjang dan memejamkan mata. "Aku memilih Bara," ucapnya pelan, seolah-olah menyetujui keputusan yang sudah lama ada dalam hatinya.
Rasa cemas dan bingung yang semula menguasai dirinya perlahan menghilang, digantikan oleh perasaan lega yang aneh.
"Sepertinya besok aku harus bicara dua mata dengan Aldo," gumamnya.
Dengan rasa tenang yang baru didapat, Nada memutuskan untuk tidur lebih awal malam itu.
Siang itu, angin bertiup pelan, membawa kesejukan ke seluruh area sekolah yang sedang ramai oleh suara siswa. Nada memutuskan untuk menyelesaikan salah satu hal yang harus dia lakukan.
Dia mengajak Aldo ke taman belakang sekolah yang sepi, tempat mereka biasanya berbicara tentang hal-hal sederhana. Namun kali ini, percakapan mereka akan sangat berbeda. Saat mereka tiba di taman, Aldo tampak santai, meskipun dia sedikit bingung dengan ajakan mendadak itu.
“Ada apa, Nada?” tanya Aldo, mencoba mencairkan suasana.
Nada menatap Aldo, merasa berat untuk memulai.
“Aldo,” Nada mulai, mengambil napas panjang. “Gue mau ngomong sesuatu yang penting.”
Aldo mengangguk pelan, matanya penuh perhatian.
“Lo selama ini udah jadi teman yang baik banget buat gue,” lanjut Nada. “Gue tau... perasaan lo ke gue lebih dari sekadar teman. Dan gue bener-bener menghargai itu.”
Wajah Aldo berubah, tapi dia tetap tenang. Dia tahu ke mana arah pembicaraan ini.
Nada melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar. “Tapi gue udah berpikir keras, dan gue rasa... gue gak bisa balas perasaan lo dengan cara yang sama. Gue minta maaf, Aldo.”
Hening.
Aldo menatap Nada, mencoba memahami kata-katanya sepenuhnya. Hatinya terasa sedikit hancur, tapi ia juga tahu bahwa Nada tidak pernah mencoba menyakitinya.
“Gue ngerti, Nada,” Aldo akhirnya berbicara setelah beberapa saat. “Gue udah curiga dari awal. Kayaknya... gue selalu kalah kalau dibandingin sama Bara.”
Nada menggeleng cepat. “Ini bukan soal kalah atau menang, Aldo. Lo orang yang luar biasa. Lo baik, perhatian, dan gue bersyukur punya lo sebagai teman. Tapi hati gue... hati gue tidak bisa lebih dari teman.”
Aldo menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, ia mendongak lagi dengan senyum tipis yang mencoba menyembunyikan rasa sakit.
“Lo jujur, dan gue menghargai itu. Mungkin sakit buat gue sekarang, tapi gue lebih milih lo ngomong jujur daripada gue terus berharap.”
Nada merasa lega mendengar jawaban Aldo, meskipun ia tahu keputusan ini menyakitkan untuk temannya.
“Aldo, apakah kita tetap jadi teman? Kuharap sih begitu.” kata Nada dengan hati-hati.
Aldo tertawa kecil, meskipun nada suaranya terdengar sedikit pahit. “Tentu aja, kita tetap teman. Gak ada yang berubah soal itu. Tapi kasih gue waktu, ya? Buat ngeberesin perasaan gue sendiri.”
Nada mengangguk pelan. “Tentu, gue ngerti.”
Aldo menghela napas panjang, lalu menatap Nada dengan senyum yang lebih tulus. “Gue harap lo bahagia sama dia.”
Nada merasa dadanya sesak mendengar kata-kata Aldo, tapi juga lega bahwa temannya bisa menerima keputusannya.
“Gue yakin lo juga bakal nemuin seseorang yang tepat, Aldo,” kata Nada, mencoba menghibur.
Aldo tersenyum tipis. “Gue harap begitu. Tapi untuk sekarang, gue cuma pengen lo bahagia.”
Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat, menikmati angin siang yang berhembus lembut. Meskipun perasaan mereka tidak sejalan, ada rasa saling menghormati dan persahabatan yang tidak akan berubah.
“Kalau gitu, gue balik duluan ke kelas,” kata Aldo, mengakhiri percakapan.
Nada mengangguk. “Oke. Dan Aldo... terima kasih.”
Aldo hanya tersenyum sebelum berjalan meninggalkan taman. Nada melihat punggungnya yang menjauh, merasa sedikit bersalah, tapi juga tahu bahwa ia telah melakukan hal yang benar.
Di dalam hatinya, Nada berharap Aldo bisa cepat sembuh dari rasa sakitnya dan menemukan kebahagiaan yang layak ia dapatkan.
Ketika Aldo melangkah kembali ke keramaian sekolah, ia menghela napas panjang. Rasa kecewa jelas ada di hatinya, tapi ia tidak membiarkan rasa itu berubah menjadi amarah atau kebencian.
“Aku bisa melewati ini,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Nada pantas bahagia, dan kalau Bara yang bisa kasih itu ke dia, gue harus belajar nerima.”
Di saat yang sama, Nada duduk di taman untuk beberapa saat, membiarkan dirinya merenung. Setelah beberapa menit, ia juga kembali ke kelas, dengan hati yang sedikit lebih ringan. Keputusan yang ia buat terasa sulit, tapi juga benar.
Persahabatan mereka mungkin akan sedikit berubah, tapi Nada yakin bahwa waktu akan memperbaiki segalanya.
Bara duduk di rooftop dengan wajah serius, dikelilingi oleh Jessica, Gisel, Rio, Dimas, dan Ayden. Mereka baru saja selesai membahas ide-ide awal untuk pesta kejutan ulang tahun Nada, tetapi tampaknya semua masih belum sempurna menurut Bara.
“Gue pengen merayakan ulang tahun nada yang spesial dan yang gak terlupakan,” ucap Bara sambil menyilangkan tangan di dada. “Lo semua harus bantu gue.”
Jessica tersenyum jahil. “Santai, Bara. Gue yakin Nada bakal terkesan, apa pun yang lo lakuin. Lo udah usaha aja, itu pasti berarti buat dia.”
“Bener banget,” tambah Gisel. “Tapi lo harus kasih kita detailnya. Lo maunya kayak gimana? Indoor? Outdoor? Romantis? Seru?”
Rio, yang sedari tadi sibuk memutar botol airnya, mengangkat tangan. “Eh, gue setuju kalau acaranya outdoor. Pake lampu-lampu gantung gitu. Keren, kan?”
Dimas mengangguk. “Kayak garden party? Bisa banget itu.”
Bara mengangguk pelan, matanya tampak serius. “Oke, outdoor sounds good. Tapi gue juga mau ada sentuhan pribadi. Nada suka banget bunga matahari, jadi gue pikir kita bisa bikin tema itu.”
“Bunga matahari?” tanya Ayden, mengangkat alis. “Wah, lo juga tau bunga kesukaan Nada, Bara.”
“Jelas, lah,” jawab Bara tanpa ragu. “Gue udah lama memperhatikan nada dia. Gue tau apa yang dia suka dan tidak suka.”
Jessica menyikut Ayden pelan sambil tertawa. “Udah, biarin dia pamer.”
Ayden mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke. semoga acara yang kita buat sukses. Nada sepupu gue, gue gak mau lo bikin kecewa.”
Bara hanya tersenyum tipis, tetapi tekadnya terlihat jelas.
“Jadi gini,” lanjut Bara, “gue butuh kalian semua ngebantu dekorasi. Gisel, Jessika, lo urus bagian hiasan sama bunga-bunganya. Rio sama Dimas, lo bantu gue bikin area panggung kecil. Gue mau ada musik live.”
“Musik live?” tanya Gisel, matanya berbinar. “Serius, Bara? Lo yang bakal nyanyi?”
Wajah Bara memerah sedikit. “Ya mungkin... Gue masih mikir.”
Rio tertawa. “Lo pasti nyanyi, kan? Nada bakal meleleh kalo lo nyanyi buat dia.”
Jessica menambahkan, “Bener banget. Jadi lo udah tau lagu apa yang mau lo bawain?”
Bara menggeleng. “Belum kepikiran. Tapi gue bakal cari yang spesial.”
Ayden memutar matanya, tapi senyumnya menunjukkan bahwa ia sebenarnya kagum dengan usaha Bara. “Gue bantu lo kalau lo butuh, Bara. Tapi inget, jangan sampai bikin Nada nangis. Dia gampang banget baper.”
Semua tertawa kecil mendengar komentar Ayden.
“Jadi kapan nih acaranya?” tanya Dimas.
“Gue pikir malam sebelum hari ulang tahunnya. Biar dia gak nyangka sama sekali,” jawab Bara. “Gue bakal minta izin ke keluarganya juga. Gue yakin mereka setuju.”
Gisel dan Jessica saling berpandangan, senang melihat Bara begitu serius. “Oke, kita semua bakal bantu. Nada pasti suka banget.”
“Bagus,” kata Bara dengan senyum lega. “Ayo kita mulai bagi tugas, dan kita rapat lagi besok buat ngecek progresnya.”
Saat mereka bubar, Ayden berjalan di samping Bara dan menepuk pundaknya. “Semoga perasaaan Lo ke Nada, dibalas.”
Bara tersenyum kecil, tapi matanya penuh tekad. “Gue harap juga begitu.”
Ayden mengangguk. Dalam hati, dia mulai menerima hubungan Bara dan Nada, meskipun masih ada sedikit rasa protektif sebagai sepupu.
Sementara itu, Bara mulai merencanakan lebih detail tentang lagu yang akan ia nyanyikan, menu makanan, dan cara membuat momen tersebut benar-benar spesial untuk Nada. Tidak ada yang tahu bahwa ini adalah salah satu cara Bara menunjukkan perasaannya dengan lebih jelas. Dan ia berharap, saat hari itu tiba, Nada akan melihat betapa besar usahanya.