Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Perjodohan
Setelah puas bermain hujan, Aqila dan Alvano memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hangat meskipun baju mereka basah kuyup. Alvano menyalakan penghangat mobil, sementara tangannya sesekali membetulkan rambutnya yang masih basah.
Aqila duduk diam di kursi disamping alvano, tangannya memainkan ujung bajunya yang basah. Namun, di balik diamnya, bibirnya tak mampu menahan senyuman kecil yang sesekali muncul. Ia memikirkan kejadian di taman tadi. Cara Alvano membuatnya tertawa lepas, bagaimana pria itu mengajaknya bermain hujan tanpa canggung. Sesuatu dalam dirinya terasa berubah.
Dari sudut matanya, Alvano mencuri pandang ke arah Aqila. Gadis itu terlihat menunduk, tapi senyum kecil di wajahnya sangat jelas. Alvano tersenyum tipis. "Capek?" tanyanya dengan suara lembut, mencoba memecah keheningan.
Aqila menoleh cepat, wajahnya sedikit memerah. "Enggak kok, Kak. Aku malah senang," jawabnya dengan nada pelan, tapi tulus.
Alvano mengangguk, senyum di wajahnya tak hilang. "Baguslah kalau begitu. Aku cuma pengen kamu nggak sedih lagi," ucapnya, sedikit malu-malu.
Aqila tersenyum lebih lebar. "Terima kasih, Kak," katanya pelan. Ia sendiri tak menyangka Alvano bisa sehangat itu.
Mobil melaju pelan menuju rumah, sementara suasana di dalam dipenuhi kehangatan yang sulit dijelaskan. Sesekali mereka saling melirik, tapi buru-buru memalingkan wajah saat tatapan mereka bertemu. Dalam hati, keduanya merasakan sesuatu yang berbeda, tapi tak ada yang berani mengungkapkan.
Di rumah, suasana ruang keluarga tampak hangat. Papa dan Mama Alvano tengah berbincang santai di sofa. Dimas meletakkan cangkir tehnya di meja, lalu menoleh ke arah Ratna.
"Ma, ke mana perginya Alvano dan Aqila? Papa pulang tadi, tapi nggak melihat mereka," tanya Dimas.
Ratna tersenyum lembut. "Mereka pergi jalan-jalan, Pa. Mama yang suruh. Kasihan Aqila, pasti bosan kalau terus-terusan di rumah. Mama pikir, dengan pergi bersama, mereka bisa lebih dekat."
Dimas tersenyum mendengar ucapan istrinya. "Kamu memang pintar, Ma," pujinya santai.
Tiba-tiba, suara klakson klasik mobil Alvano terdengar dari luar rumah, memotong percakapan mereka. Ratna menoleh ke arah pintu. " Nah pa, itu mereka sudah pulang."
Pintu terbuka perlahan, dan langkah kaki terdengar di ambang pintu. Alvano dan Aqila masuk dengan tubuh basah kuyup. Rambut mereka masih meneteskan air hujan, dan wajah mereka tampak sedikit memerah, mungkin karena kedinginan atau rasa malu. Ratna dan Dimas menatap keduanya dengan terkejut.
"Astaga! Kenapa kalian basah kuyup seperti ini?" tanya Ratna, menatap keduanya dengan heran sekaligus khawatir.
Aqila tersenyum canggung. "Iya, Tante. Tadi kena hujan di taman," jawabnya, mencoba terlihat biasa saja.
Alvano menggaruk belakang kepalanya, mencoba menahan tawa. "Iya, Ma. Hujannya tiba-tiba deras, jadi basah deh," tambahnya.
Ratna menghela napas, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. "Ya sudah, kalian cepat ganti baju dulu. Jangan sampai sakit. Aqila, pakaianmu sudah Tante letakkan di kamar," ucapnya lembut.
"Iya, Tante. Terima kasih," jawab Aqila sambil sedikit menunduk.
"Baik, Ma," timpal Alvano singkat, langkahnya hendak beranjak ke kamar. Tapi suara Dimas menghentikan langkahnya.
"Vano," panggilnya serius.
Alvano berbalik, sedikit bingung. "Iya, Pa?"
"Setelah kamu ganti baju, temui Papa di ruang kerja. Papa mau bicara sesuatu," ucap Dimas dengan nada tegas, namun terkesan mendalam.
Alvano menatap ayahnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, Pa."
Dengan hati bertanya-tanya, Alvano melangkah ke kamarnya. Sementara itu, Aqila juga masuk ke kamarnya dengan pikiran melayang, mengingat senyum dan tatapan Alvano sepanjang perjalanan tadi. Hujan ternyata tak hanya membasahi tubuh mereka, tetapi juga menyirami benih perasaan yang mulai tumbuh di hati masing-masing.
🌸🌸🌸🌸🌸
Alvano duduk dengan kaku di kursi ruang kerja papanya. Sorot mata ayah dan ibunya serius, membuat hatinya sedikit berdebar. Ia merasa ini bukan pembicaraan biasa.
“Ada apa, Pa? Sepertinya penting sekali?” tanyanya heran.
Dimas mengangguk pelan, menatap putranya dengan pandangan penuh makna. “Ini memang penting, Van. Ini tentang masa depan kamu.”
“Masa depan aku?” Alvano semakin bingung.
Ratna ikut menimpali, “Benar, Van. Kami ingin bicara soal perjodohan.”
Perkataan itu membuat Alvano tertegun. Ia memandang kedua orang tuanya dengan alis terangkat. “Perjodohan? Maksud Papa dan Mama... aku akan dijodohkan?”
“Iya, Van,” jawab Dimas dengan nada mantap. “Papa ingin menjodohkan kamu dengan Aqila.”
Mendengar nama itu, Alvano terdiam. “Aqila?” tanyanya pelan, nyaris tak percaya.
Dimas mengangguk. “Papa ingin menepati janji Papa pada sahabat Papa,ayahnya Aqila. Sebelum dia meninggal, Papa sudah berjanji untuk menjaga Aqila. Dan sekarang Papa rasa ini waktu yang tepat. Dia gadis yang baik, Van. Cantik, lembut, dan sopan. Dia juga sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Papa ingin kamu menjaganya, seperti Papa menjaga janji Papa.”
Ratna ikut menambahkan dengan nada lembut tapi tegas, “Benar itu, Van. Kami melihat kalian berdua sangat cocok. Mama dan Papa juga nggak mau kamu jadi bujangan terlalu lama. Kamu sudah cukup umur untuk menikah, Van. Dan jujur saja, Mama ingin segera punya cucu. Papa dan Mama sudah tua, Van.”
Mendengar itu, Alvano semakin bingung. Ia diam, tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ia merasa ucapan orang tuanya ada benarnya. Aqila memang gadis yang baik. Tapi perjodohan? Menikah? Ia belum pernah memikirkannya sejauh itu.
Dimas memperhatikan wajah anaknya yang terkejut dan ragu. Dengan nada lebih lembut, ia berkata, “Papa nggak minta kamu jawab sekarang, Van. Kamu bisa memikirkannya dulu. Papa dan Mama nggak akan memaksa kamu kalau kamu memang merasa belum siap.”
Alvano menundukkan kepala, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Di dalam hatinya, ia tahu Aqila adalah gadis yang baik. Tapi apakah ia siap untuk melangkah sejauh itu? Perasaan ragu dan keinginan untuk melindungi Aqila berperang di dalam dirinya.
“Baik, Pa,” ucapnya akhirnya, suaranya terdengar pelan. “Aku akan memikirkannya dulu.”
Ratna tersenyum, merasa lega mendengar jawaban anaknya. “Itu yang Mama harapkan, Van. Pikirkan baik-baik. Dan ingat, ini juga untuk kebaikan kamu.”
Disisi lain, Aqila duduk di tepi tempat tidurnya, handuk kecil masih melingkar di tangannya untuk mengeringkan sisa-sisa air di rambutnya yang lembut. Ia menatap jendela kamarnya yang terbuka sedikit, membiarkan udara segar masuk ke dalam. Namun, pikirannya tak berada di sana.
Ia tersenyum kecil, mengingat kejadian di taman tadi. Wajah Alvano yang terlihat ceria ketika mengajaknya bermain hujan masih terbayang jelas. Tawa mereka yang terdengar di bawah hujan, langkah mereka yang berlari tanpa peduli basah, semuanya seperti potongan kenangan yang manis. Saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aqila merasa ringan. Seperti semua luka dan kesedihan yang ia pendam selama ini perlahan memudar.
“Dia benar-benar menyenangkan,” gumamnya pelan, tanpa sadar. Bayangan Alvano dengan senyum hangatnya, mata lembutnya, dan caranya melindungi Aqila terus memenuhi pikirannya. Ia merasakan detak jantungnya menjadi sedikit lebih cepat.
Namun, senyumnya perlahan memudar. Ia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. “Aqila, kenapa kamu terus membayangkan Kak Vano? Jangan bodoh, dia cuma baik karena dia kasihan sama kamu.”
Ia menunduk, menatap lantai dengan tatapan kosong. Hatinya mulai terasa berat. “Apa aku mulai menyukainya?” tanyanya pelan, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri.
Namun, detik berikutnya, ia langsung menepis pikiran itu. “Nggak, nggak mungkin. Aku nggak boleh suka sama dia. Aku cuma gadis biasa. Dia dan aku itu berbeda. Mana mungkin Kak Vano suka sama aku? Aku bukan seleranya. Dia pasti cuma merasa kasihan.”
Pikiran itu membuat hatinya semakin tenggelam dalam kesedihan. Wajahnya yang semula ceria kini berubah sendu. Ia sadar, meskipun ia mulai merasa nyaman berada di dekat Alvano, ia tidak berhak berharap lebih.
“Aku nggak pantas berharap lebih,” gumamnya lagi, sambil menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sesak yang tiba-tiba menghampiri. “Lebih baik aku nggak menyimpan perasaan ini. Aku nggak mau terluka lagi.”
Dengan perlahan, Aqila berdiri dan melipat handuk yang tadi ia gunakan. Ia mencoba mengalihkan pikirannya, meyakinkan diri bahwa Alvano hanya menganggapnya seperti keluarga. Tapi di sudut hatinya, ia tahu perasaan itu sudah mulai tumbuh, meski ia takut untuk mengakuinya.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Pagi itu, Alvano duduk bersandar di kursi besar di ruang kerjanya di kantor. Tangannya memegang sehelai kertas, tapi pikirannya melayang jauh. Ia tak bisa fokus, pikirannya terus kembali ke pembicaraan serius dengan ayahnya semalam.
"Menikahi Aqila?" batinnya bergema untuk kesekian kalinya. Gadis itu memang baik, lembut, bahkan lucu dalam caranya sendiri. Ia tak bisa memungkiri bahwa perlahan ia mulai merasa nyaman berada di dekat Aqila. Tapi di sisi lain, ia ragu. Apakah perasaannya cukup kuat untuk mengambil langkah besar seperti itu?
Lamunannya tiba-tiba dihentikan oleh suara keras di depannya. Sebuah tangan menghentak meja, membuat Alvano hampir melompat dari kursinya.
“Woi, lo ngapain ngelamun sih, Van!” suara itu memekakkan telinga.
Alvano menatap pria di depannya dengan kesal. Sosok tinggi tegap dengan wajah rupawan berdiri santai sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Lo ngagetin gue aja, Raka!” balas Alvano, mendengus pelan. Itu Raka, sahabatnya sejak kuliah yang sekarang bekerja di divisi pemasaran di perusahaan milik keluarga alvano.
Raka terkekeh, sama sekali tidak merasa bersalah setelah membuat Alvano kesal. “Serius, lo ngelamunin apaan sih? Dari tadi gue masuk lo kayak patung.”
Alvano mendesah, lalu mengusap wajahnya. “Gue lagi mikirin orang tua gue yang mau jodohin gue.”
Mendengar itu, mata Raka membulat tak percaya. “Apa? Lo dijodohin? Sama siapa?” tanyanya dengan nada terkejut, mencondongkan tubuhnya ke depan, jelas penasaran.
Alvano menghela napas panjang sebelum menjawab. “Sama seorang gadis pilihan orang tua gue.”
Raka mengangkat alisnya tinggi-tinggi. “Ya, salah lo sendiri, Van. Jomblo terlalu lama. Sekarang jadi dijodohin, kan? Salah lo juga, gue cariin pacar nggak mau. Padahal banyak cewek-cewek di luar sana yang ngejar-ngejar lo, tahu nggak? Lo kan tampan, punya pekerjaan mapan lagi. Tapi lo sama sekali nggak tertarik sama mereka.”
Alvano menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap sahabatnya dengan tatapan datar. “Karena gue nggak cocok sama cewek-cewek itu, Ka. Mereka nggak ada yang sesuai sama gue.Gue nggak peduli sama cewek-cewek yang nyari gue cuma karena tampan atau harta. Gue mau yang sederhana, Ka. Gue butuh seseorang yang bisa mencintai gue dengan tulus, bukan karena apa yang gue punya. Gue pengen seseorang yang bisa ngertiin gue, bukan cuma ngejar gengsi atau kemewahan.”
Raka tertawa kecil. "Ooo jadi itu alasan lu terus nolak mereka, Raka manggut manggut. Terus, soal gadis yang dijodohin sama lo ini, lo terima nggak?”
Alvano diam sejenak sebelum menjawab, “Belum tahu, Ka. Gue masih ragu sama perasaan gue.”
Raka menatap Alvano dengan penasaran. “Ngomong-ngomong, gadis yang mau dijodohin sama lo ini siapa? Anak temannya mama lo, atau gimana? Gue yakin pasti setara lah sama lo, ya kan?”
Alvano menggeleng pelan. “Nggak juga, Ka. Gadis itu namanya Aqila. Dia... dia anak dari sahabat papa gue yang udah meninggal. Kami baru ketemu beberapa hari lalu.”
Raka mendengarkan dengan seksama saat Alvano mulai bercerita singkat."Gue ketemu Aqila waktu itu... Di jalan. Gue hampir nabrak dia. Dia tiba-tiba muncul dan gue sempat terkejut, jadi gue ngerem mendadak. Itu yg kedua kalinya gue ngeliat dia karna sebelumnya gue pernah liat dia dikampus.” Alvano terdiam sejenak, mengenang kejadian itu. “Dia terjatuh, gue buru-buru nolongin dia. Ternyata dia itu anak dari sahabat papa gue, Ka. Gue nggak nyangka, dia punya masa lalu yang begitu pilu. Banyak hal yang dia alami. Dia udah nggak punya siapa-siapa ka, sebelumnya ia tinggal sama ibu tiri dan kakak tirinya, tapi mereka jahat. Dia diusir dari rumah dan sekarang dia tinggal dirumah gue. Papa gue ingin gue menikahi Aqila karna ia punya janji sama almarhum papanya Aqila buat jodohin kita, selain itu, papa gue ingin gue menjaga Aqila dan melindunginya"
Raka terdiam mendengar penjelasan Alvano, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja didengar. “Tunggu, jadi... papa lo bilang dulu dia udah janji sama almarhum papanya Aqila buat menjodohkan kalian berdua?” tanya Raka, masih terkejut.
Alvano mengangguk pelan, ekspresinya serius. “Iya, Ka. Papa gue bilang dulu mereka udah janji. Jadi, gue nggak bisa seenaknya nolak janji itu. Tapi di sisi lain, gue juga nggak mau buru-buru ngambil keputusan tanpa mikir.”
Raka terdiam, menatap Alvano dengan tatapan serius. “Tapi lo sendiri suka nggak sama dia?” tanya Raka, sedikit tergugah.
Alvano terdiam sejenak, matanya menatap kosong, seperti mencerna setiap kata.“Gue...gue nggak tau, Ka. Waktu gue ngeliat dia, gue selalu ngerasa kasian sama dia, hidupnya yang penuh luka buat gue selalu ngerasa ingin lindungin dia. Dan gue juga nggak tau kenapa saat gue sedang bersama dengan dia, gue ngerasa nyaman. Dia gadis sederhana, baik, lembut, berbeda dari cewek cewek yang deketin gue pada umumnya. Ada sesuatu yang beda setiap kali gue liat dia, tapi gue nggak bisa langsung bilang kalau gue suka atau nggak. Gue cuma... merasa pengen melindungi dia,” jawab Alvano, sedikit bingung dengan perasaannya sendiri.
Raka mengangguk pelan, mengusap dagunya sambil merenung. “Kalau lo ngerasa lo ingin ngejaga dan lindungin dia, kenapa nggak lo terima aja perjodohannya? bukan kah itu lebih baik” tanyanya akhirnya, menatap Alvano dengan serius.
**********
gimana nih, masih mau lanjut nggak ni ceritanya? kalau iya, tetap terus dukung cerita ini dengan like, vote and komennya ya.. man teman.. 🤗😉